Persaingan Capres Rawan Timbulkan Ketegangan Politik
Author : Humas | Monday, January 10, 2011 | Suara Karya - Suara Karya
JAKARTA (Suara Karya): Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya berpendapat, penentuan calon presiden pada Pemilu 2014 akan menimbulkan tensi atau ketegangan politik lebih tinggi dibandingkan Pemilihan Presiden 2009. Pasalnya, akan muncul figur capres yang baru.
"Figur lama sudah dimakan usia dan terkena aturan masa jabatan sehingga tidak mungkin lagi muncul di panggung Pemilihan Presiden Pilpres 2014," ujar Yunarto kepada Suara Karya di Jakarta, Minggu (9/1).
Sementara, figur Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri diyakini tidak turun lagi menyusul dua kali kekalahannya pada Pilpres 2004 dan Pilpres 2009. Bagi PDIP, kekalahan dua kali dalam pilpres sudah cukup jadi pelajaran dan pengalaman.
Menurut Yunarto, partai politik, seperti Partai Golkar, PDIP dan Partai Demokrat berlomba-lomba memoles capres yang akan diusung pada Pilpres 2014. "Konstelasi suara pada Pemilu 2014 tidak akan banyak perubahan. Tiga parpol, seperti Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDIP masih mendominasi suara sehingga membuka peluang untuk mengusung capres dari internal partainya," ujar dia.
Sementara itu, pengamat politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof Dr Mas`ud Said menilai wacana pencalonan "duet" Ani Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2014 seperti "dagelan" politik.
"Kalau keduanya digabungkan ya sangat sulit. Masalahnya siapa yang jadi calon presiden dan siapa yang jadi wakil presiden, apalagi berangkat dari gender yang sama. Tidak mungkin matahari bertemu matahari atau rembulan bertemu rembulan," kata guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UMM itu ketika menanggapi wacana "duet" Ani Yudhoyono-Megawati, di Malang, Minggu.
Selain itu, kata dia, Megawati merupakan mantan presiden sehingga tidak mungkin mau menjadi wakil presiden. Secara politis pun juga sangat berat untuk disandingkan.
Akan tetapi, menurut Mas'ud, jika keduanya berangkat sendiri-sendiri atau Ani Yudhoyono tetap dicalonkan dari Partai Demokrat (PD) dan tetap ingin berkoalisi dengan PDIP, maka pasangan yang terbentuk adalah Ani Yudhoyono sebagai RI-1 dan Puan Maharani sebagai RI-2.
Kalau koalisi pencalonan seperti itu, kata dia, baru namanya politik sesungguhnya, bukan politik "dagelan" seperti yang belakangan ini diwacanakan.
Reaksi Masyarakat
Namun demikian, menurut Mas`ud, bisa saja hal itu terjadi dengan tujuan keduanya (Ani Yudhoyono dan Megawati) hanya untuk check sound guna mengetahui reaksi masyarakat dalam menyambut Pemilihan Presiden 2014.
Ia mengakui, pada Pemilu 2009 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih menjadi figur capres yang pas dari Partai Demokrat, namun pada Pemilihan Presiden 2014 sudah tidak bisa dicalonkan lagi. "Kalau Partai Demokrat tidak bisa mencalonkan SBY lagi, Partai Demokrat harus punya penyangga dan penyangga terbesar itu adalah PDIP," katanya lagi.
Oleh karena itu, katanya, akan lebih baik Partai Demokrat mengambil tokoh muda sebagai calon wakil presidennya.
Sehingga, "duet" yang paling tepat kalau Partai Demokrat tetap ingin berkoalisi dengan PDIP adalah Ani Yudhoyono menggandeng Puan Maharani.
"Tapi itu kan masih lama, pasti partai-partai politik masih menggodok calon-calonnya yang bakal dimuculkan. Oleh karena itu wacana yang memunculkan nama Ani Yudhoyono-Megawati tersebut hanya sebagai check sound saja, pasti akan berubah," ujar guru besar Ilmu Pemerintahan UMM tersebut.
Sementara itu, Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Angelina Sondakh mengatakan, sesuai pesan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, pihaknya tidak akan membicarakan masalah calon presiden dari partai itu selama 2011-2013.
"Kami sudah `diwanti-wanti` oleh Ketua Umum Partai Demokrat, tahun 2011-2013 tidak bicara calon presiden dari Partai Demokrat, tahun tersebut merupakan tahun kerja partai untuk rakyat, kalau berbicara capres nanti pada 2014," katanya.
Pada Pemilu 2014, katanya, Partai Demokrat menargetkan sedikitnya meraih 30 persen suara. Target berdasarkan pada pemilu sebelumnya. Partai itu menjadi pemenang pemilu. Target 30 persen itu tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga tiap kabupaten dan kota. (Feber S)
Harvested from: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=270098
Shared:
Comment