SBY Jangan Lagi Salah Pilih Menteri

Author : Humas | Saturday, October 01, 2011 | Suara Karya - Suara Karya

JAKARTA (Suara Karya): Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diingatkan untuk lebih cermat dan teliti dalam memilih figur menteri di kabinetnya sehingga di kemudian hari tidak lagi dilakukan bongkar pasang menteri. Apalagi sisa waktu tiga tahun masa pemerintahannya mengharuskan SBY serius dan berfokus memperbaiki kinerja pemerintahnya.

Peringatan ini disampaikan pengamat politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Muhajir Effendi, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) untuk Indonesia Ray Rangkuti, dan anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Arief Budimanta, di Jakarta dan Malang, Jawa Timur, Jumat (30/9).

 

Sementara itu, Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto menyatakan, penilaian terakhir para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II dilakukan pada 5 Oktober 2011.

Kuntoro Mangkusubroto menyatakan, penilaian terakhir para menteri KIB II dilakukan pada 5 Oktober 2011. Ia menambahkan, penilaian tersebut merupakan evaluasi rutin yang dilakukan oleh UKP4 terhadap para menteri setiap tiga bulan sekali.

"Tanggal terakhir dari evaluasi kinerja itu tanggal 5 Oktober. Beberapa hari setelah itu, semua akan dilaporkan kepada Bapak Presiden," ujarnya.

Namun, Kuntoro tidak bisa memastikan apakah perombakan kabinet yang dijanjikan oleh Presiden Yudhoyono dengan demikian baru bisa dilakukan setelah 5 Oktober 2011.

"Saya tidak mengatakan begitu. Saya mengatakan bahwa laporan kinerja para menteri dan kepala lembaga terakhir masuk ke UKP4 tanggal 5 Oktober pukul 23.55 malam," katanya.

Kuntoro belum bersedia mengungkapkan hasil penilaian kinerja para menteri karena evaluasi yang terus berjalan. Menurut dia, UKP4 menyoroti setiap bidang di seluruh kementerian, yang termasuk dalam rencana aksi pembangunan nasional, serta upaya penghilangan sumbatan dalam mencapai sasaran pembangunan.

"Hampir semua bidang yang ada dalam rencana aksi itu menjadi sorotan UKP4. Tidak ada yang khusus kecuali hal-hal yang memang ada dalam program debottlenecking kami," ujarnya.

Muhajir mengatakan, jangan hanya menyalahkan menteri yang kinerjanya menuai kegagalan selama membantu Presiden.

Menteri-menteri yang dinilai gagal dalam mengemban tugasnya, menurut dia, bukan sepenuhnya kesalahan menteri bersangkutan. "Karena itu, jangan lagi salah memilih menteri," kata Muhajir.

Ia menambahkan, kriteria pengangkatan seorang menteri tidak menggunakan kriteria yang objektif atau bisa diukur, tetapi berdasarkan komitmen politik dengan para pendukungnya.

Muhajir, yang juga Rektor UMM itu, mengemukakan, pengangkatan seseorang menjadi menteri selama ini juga tidak didasarkan kepada profesionalisme atau prestasi yang telah dicapai seseorang sesuai bidang yang diamanahkan kepadanya.

Paling tidak, tutur dia, kriteria objektif yang menjadi landasan atau acuan untuk menentukan seorang menteri ada empat, yakni prestasi, dedikasi, loyalitas, profesional, dan tidak tercela (bersih).

Hal sama dikemukakan Ray Rangkuti. Dia mengatakan, sebenarnya, ketika muncul wacana perombakan kabinet, hal tersebut bisa menjadi momentum untuk memilih menteri yang memenuhi kriteria objektif.

Hanya saja, menurut dia, jika itu dilakukan Presiden SBY, maka akan berpengaruh terhadap stabilitas politik dan ekonomi. "Saat ini, memang menjadi pilihan sulit untuk mengangkat (memilih-Red) menteri-menteri yang memenuhi kriteria objektif. Siapa pun presidennya, akan sulit," katanya.

Ray Rangkuti berharap agar reshuffle dilakukan dengan efektif sehingga terjadi perubahan yang meningkatkan harapan. Untuk itu, Ray Rangkuti menyarankan Presiden SBY untuk lebih hati-hati dan cermat dalam memilih seorang menteri.

"Jangan sampai di kemudian hari terjadi lagi reshuffle kabinet sehingga memunculkan anggapan di publik, telah terjadi kesalahan dalam memilih menteri," ujarnya.

Ia mengatakan, pengawasan yang terjadi saat ini hanya diperuntukkan bagi menteri. Padahal, di departemen yang terjadi kasus suap atau korupsi, meskipun dilakukan staf, mengindikasikan bahwa menteri tidak melakukan pengawasan dengan baik.

Hal lain yang harus menjadi pertimbangan agar reshuffle memberikan peningkatan harapan adalah profesionalitas. Ray juga menyepakati adanya pertimbangan norma sosial yang tidak patut dalam isu reshuffle ini. "Menteri yang melakukan poligami atau selingkuh juga dapat di-reshuffle," katanya.

Pendapat berbeda disampaikan Arif Budimanta. Ia mengatakan, perombakan KIB II harus dibarengi perubahan paradigma. "Kalau bicara reshuffle tanpa perubahan paradigma adalah it`s nothing," katanya.

Arif, yang juga sebagai Direktur Eksekutif Megawati Institute, menyebutkan, saat ini paradigma yang dipegang pemerintah tak jauh dari paradigma neoliberal.

Menurut dia, reshuffle kabinet tak dapat menyelesaikan persoalan bangsa tanpa perubahan ideologi. Pemerintah pun harus kembali pada konstitusi dalam mengelola negara dengan baik.

"Kebijakan, produksi, dan properti jauh dari harapan UUD 1945 yang merupakan instrumen sebuah bangsa untuk mengelola negara," kata Arif, yang juga anggota Komisi XI DPR.

Ia menuturkan, persoalan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah bukan persoalan keahlian para pembantu presiden (menteri) yang tidak sesuai dengan bidangnya, melainkan persoalan ideologi.

"Selama tiga puluh tahun di masa prareformasi, menteri adalah ahli di bidangnya, tapi malah menjerumuskan Indonesia. Biarpun seorang ahli, tapi bila paradigma ekonomi tidak merujuk pada konstitusi, maka percuma saja," tuturnya.

Ia menambahkan, persoalan reshuffle jangan hanya menjadi "sinetron", karena akan menimbulkan sinyal negatif bagi pasar dan memberikan kesempatan bagi pemburu rente untuk bekerja.

Sementara itu, Menko Kesra HR Agung Laksono mengatakan, bersikap sabar menunggu pengumuman reshuffle kabinet. "Pak SBY sudah mengatakan sebelumnya bahwa reshuffle akan dilaksanakan Oktober. Jadi, tunggu saja," kata Agung Laksono di ruang kerjanya, Jumat (30/9).

Agung Laksono, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar ini, mengatakan, evaluasi terhadap kementerian di bawah Kemenko Kesra dilakukan oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

"Kemenko Kesra tidak melakukan evaluasi, tetapi hanya mengingatkan saja terkait penyerapan belanja modal kementerian yang masih rencah," kata Agung.

Ditanya soal telepon genggamnya apakah selalu diaktifkan, Agung menjawab, selalu on. "Siap menunggu telepon dari Istana. Tetapi, kalau malam, ya mati," kata Agung sambil tertawa.

Sementara itu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, saat ini pelaku ekonomi dan pasar tidak reaktif dalam menghadapi isu reshuffle.

"Tidak benar pelaku pasar tidak tenang karena ada isu reshuffle. Mereka sudah cukup kuat dan tangguh untuk bekerja dengan baik dan tidak terpengaruh pada isu-isu seperti itu," ujar Hatta Rajasa.

Ia menambahkan, pelaku pasar seharusnya tetap tenang, karena kalaupun reshuffle jadi dilakukan, tentunya untuk perbaikan kinerja kabinet, sehingga kondisi perekonomian diharapkan menjadi lebih kondusif.

"Saya telah mengecek ke pelaku pasar, apalagi isu ini kan isu perbaikan, ya tentunya seharusnya makin tenang. Jadi, kenapa mesti tidak tenang?," katanya.

 

Hatta juga tidak terlalu mengkhawatirkan kondisi dan tekanan perekonomian global kepada pasar modal. (Tri Handayani/Kartoyo DS)

Harvested from: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=287884
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: