PEJABAT baru di Indonesia identik dengan mobil baru. Meskipun mobil pejabat lama masih bagus, pejabat baru biasanya mendapat jatah mobil dinas baru. Begitu juga Jenderal Sutarman, dia langsung minta mobil dinas baru. Kapolri biasanya mendapat jatah Toyota Camry dan Nissan Teana, tapi ia malah minta Kijang Innova yang harganya lebih murah dari sedan yang biasa dipakai oleh kapolri dan pejabat setingkat menteri.
Inilah gebrakan Sutarman saat mengawali masa jabatannya. Sama seperti kapolri sebelumnya, selalu membuat kebijakan yang membuat mata publik terbelalak. Kapolri sebelumnya, tak lama usai dilantik, langsung menggebrak dengan menggelar operasi preman yang meresahkan masyarakat. Sutarman tidak lagi menggunakan mobil dinas sedan seperti Kapolri pendahulunya.
Kijang Innova yang yang harganya lebih murah, separo dari harga sedan keluaran tahun terbaru, akan digunakan oleh Sutarman mulai Desember mendatang. Kapolri memakai mobil dinas baru Innova berarti down grade beberapa tingkat karena mobil jenis ini biasanya jadi kendaraan dinas kapolres.
Sutarman tidak sedang menarik simpati atau bersensasi dengan menggunakan kendaraan dinas ëíbiasaíí tapi dia mau realistis menghemat anggaran Polri, yang konon selalu kekurangan. Harus ada langkah kongkret dengan penghematan, salah satunya dengan menggunakan kendaraan dinas yang lebih murah.Kalau jatah mobil dinas Kapolri turun beberapa tingkatan, lantas bagaimana dengan mobil pejabat di bawahnya?
Logikanya, kalau sekarang kapolri saja pakai Innova, tidak elok seandainya kapolda atau kapolres menggunakan kendaraan dinas yang sama. Tapi Sutarman buru-buru mengingatkan anak buahnya boleh menggunakan kendaraan sebelumnya.
Kapolda Jateng Irjen Dwi Priyatno rupanya ’’makmum’’, memilih tetap memakai mobil dinas lama, To≠yo≠ta Crown 2003. ìMasih nyaman digunakan. Saya pakai sampai Cilacap, enak-enak saja.’’ (SM, 4/12/13)
Persoalan keterbatasan anggaran Polri, mungkin masih bisa diperdebatkan, bukannya bisa minta tambahan? Meskipun anggaran tak cukup, Kapolri tidak perlu melakukan tindakan ’’drastis’’ seperti itu. Apakah sesungguhnya Sutarman ingin memberikan pelajaran kepada jajarannya untuk tidak hidup bermewah-mewah, hedonis?
Sorotan masyarakat terhadap Polri, baik institusi dan kinerjanya, sangat tajam. Sampai sekarang masyarakat masih belum bisa melupakan soal kasus rekening gendut para jenderal Polri yang membuat institusi ini jadi bulan-bulanan. Kasus ini membuat Polri menjadi kikuk manakala akan bertindak memberantas korupsi. Bagaimana mungkin memberantas korupsi kalau para jenderalnya bergelimang harta ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah.
Integritas Personel
Bukan hanya jenderal, banyak bintara tampil mewah. Terasa aneh, institusinya kekurangan anggaran tapi para pejabatnya punya rekening tidak wajar. Masyarakat ’’sudah biasa’’ menyaksikan para petinggi polisi, tidak perlu di tingkat mabes atau polda, di tingkat polres dan polsek saja sudah menampakkan kehidupan mewah. Seorang Kapolres misalnya, kendaraan dinasnya boleh saja Kijang Innova, tapi di garasi rumah dinas dan rumah pribadinya terparkir aneka mobil.
Ada mobil khusus untuk istri kapolres yang menjabat ketua Bhayangkari, ada mobil khusus untuk keluarga, dan kendaraan untuk antar-jemput anak-anaknya. Itu belum termasuk motor gede atau trail yang menjadi tren di kalangan para pejabat.
Kapolri mencoba menunjukkan hidup sederhana demi menghemat anggaran, maka jajaran di bawahnya harus,’’ siap, Ndan...’’, mengikuti. Kinerja Polri tidak ditentukan oleh seberapa mewah mobil yang digunakan, tapi integritas personelnya menjalankan tugas dengan baik.
Seperti diungkapkan Sutarman saat menjalani fit and proper test di Komisi III DPR, ada 12 program yang akan dijalankannya setelah menjabat kapolri. Di antaranya, penguatan integritas seluruh personel dalam menjalankan tupoksi, peran secara transparan dan akuntabel melalui pembangunan zona integritas pada sektor pelayanan publik, penegakan hukum, dan pengelolaan anggaran dalam rangka mencegah praktik KKN.
Implementasi dari program ini ditunjukkan oleh Sutarman melalui kesederhanaan, salah satunya dengan penghematan penggunaan anggaran pengadaan mobil dinas. Mencegah praktik KKN, terutama di internal Polri harus menjadi prioritas, karena bagaimana bisa menangani korupsi kalau yang menangani belum bersih dari korupsi. Selain itu ada program pengungkapan kasus korupsi dan kasus prioritas secara terkoordinasi dengan KPK dan Kejaksaan.
KPK dibentuk justru karena dua lembaga tersebut tidak mampu menangani secara tuntas kasus korupsi mengingat banyak personel dari dua lembaga tersebut yang terlibat korupsi.
Kalau Polri dan Kejaksaan bersungguh-sungguh memberantas korupsi maka tugas KPK akan lebih ringan. Polri pun tidak perlu mengeluh lagi kekurangan anggaran karena Jenderal Namratus (panggilan akrab dari ejaan nama Sutarman yang dibalik) mencoba menerapkan hidup sederhana. Anggaran bisa dimanfaatkan secara efektif untuk program Polri. (10)
— Husnun N Djuraid, dosen Universitas Muhammadiyah Malang