Bendera Negara Islam Indonesia (NII) berupa simbol bulan bintang di atas dasar warna merah putih, hampir tak pernah berkibar. Namun jejak gerakan ini timbul tenggelam, dan kini seantero negeri kembali digegerkan oleh rentetan peristiwa yang diduga kuat berkaitan dengan NII. Teror bom buku dan rencana bom di Serpong, Tangerang, mengiringi geger aksi hipnotis, cuci otak, dan penculikan mahasiswa di kampus-kampus. Pepi Fernando, dalang teror bom itu, sudah ditangkap. Para korban cuci otak pun memberi kesaksian.
Dua dari empat mahasiswa Universitas Airlangga sebagai korban cuci otak, mengaku telah menyetor dana untuk “perjuangan NII” masing-masing Rp 30 juta. Sementara enam mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang tekor Rp 100 juta. Menurut catatan, mahasiswa ITB paling banyak direkrut oleh jaringan NII. Sasaran dan metode perekrutan melalui tiga cara, yaitu pendekatan dari pintu ke pintu untuk masyarakat umum, lewat iming-iming pekerjaan untuk kalangan buruh, dan melalui kegiatan diskusi untuk mahasiswa di kampus.
Konon, gerakan yang diproklamasikan oleh Sekarmadji Kartosuwirjo itu sekarang beranggotakan 360 ribu orang (160 ribu di Jakarta dan 200 ribu di luar Ibu Kota). Menurut pengamat terorisme, Sidney Jones, teror bom oleh Pepi dan aksi cuci otak merupakan dua hal yang berbeda. Dua gerakan ini mencerminkan faksi-faksi dalam NII. Pepi diduga anggota Faksi Tahmir yang bergerak di bidang teror. Sedangkan penculikan dan cuci otak merupakan penipuan oleh Komandemen Wilayah (KW) 9 yang dipimpin oleh Panji Gumilang alias Abu Toto.
Di lain pihak, para pimpinan NII membantah keras penggunaan cara-cara hipnotis, cuci otak, dan kekerasan dalam perekrutan anggota. Presiden NII Sensen Komara menegaskan, NII tidak pernah menjaring anggota lewat hipnotis dan cuci otak. Menteri Perencanaan Pembangunan Lukman Hakim menyatakan, NII tidak pernah memaksa orang untuk menjadi anggota, sebaliknya mengajarkan akhlak yang baik dan tidak bermusuhan. Fakta dan keterangan yang berbeda ini menimbulkan dugaan NII telah dimanfaatkan atau ada stigmatisasi NII.
Kesimpulan yang tepat masih harus diperkuat bukti-bukti. Ketiadaan bukti perbuatan makar membuat kepolisian belum bisa membawa NII ke ranah hukum. Penindakan baru dilakukan atas pelaku teror dan kriminal seperti penculikan. Namun, alat negara wajib menjamin rasa aman masyarakat. Karena itu, pemerintah perlu mencegah dan mengatasi jatuhnya korban lebih banyak. Begitu pula pimpinan perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk melindungi jiwa dan talenta mahasiswanya. Caranya bukan dengan membakar lumbung.
Kegiatan diskusi dan pembinaan keagamaan di kampus tidak boleh hilang, justru harus ditingkatkan. Konon, pelaku cuci otak tidak akan merekrut mahasiswa yang sudah aktif dalam kegiatan lain. Diskusi dan pembinaan mental sebaiknya lebih terintegrasi dalam kegiatan akademik yang melibatkan seluruh mahasiswa. Orang tua juga tidak perlu panik, waspada saja kalau anaknya minta uang dalam jumlah besar. Mahasiswa sudah bisa berpikir rasional. Mereka cukup diingatkan untuk memahami persoalannya dan lebih berhati-hati.