Lazuarna Rahmawati
Mahasiswa Fakultas Ekonomi (Akuntansi) Universitas Muhammadiyah Malang
SEKARANG zaman edan. Ya seedan-edannya perilaku manusia yang pandai dalam memotensikan kodrat lahiriahnya. Maksud dari coretan ringan ini tak lain langsung mengarah ke sebuah kata ’selingkuh’. Selingkuh hanya sebuah kata yang dulunya sangat ‘dijijikkan’ oleh etika sosiologis masyarakat kita.
Tapi ya itu dulu. Sekarang sudah tidak lagi sepertinya. Perilaku manusia yang kini malah dapat merusak kodratnya selaku makhluk yang terlahir bermoral dan bernilai-nilai dasar luhur. Parahnya, perilaku selingkuh itu dikomersilkan oleh orang yang tak lain juga
yang pada dasar nuraninya tak ingin adanya perselingkuhan.
Media terutama televisi, pun menjadi corong “penyosialisasian ” perilaku perselingkuhan itu. Sebut saja, mulai dari sinetron, lagu-lagu hingga program yang sengaja membuat dramatisasi perselingkuhan. Kemasan itu luar biasa indahnya. Ditambah lagi bumbu lagu-lagu yang syarat akan muatan syair-syair lagu cinta yang hampa makna.
Dampaknya, penonton yang kurang pondasi pendidikan, jelas terhanyut. Lama kelamaan sajian perselingkuhan yang tak jarang malah diperankan artis-artis idola, membuat penonton menjadikan itu mungkin sebagai perjalanan hidup mereka ke depan.
Penulis ingin berbagi sekelumit nilai sosiologis yang sepertinya mulai tertinggalkan. Tetapi nilai dasar inilah sepertinya yang mesti kembali disosialisasikan guna membendung arus edannya perselingkuhan itu. Memang, nilai ini oleh sebagian orang terkesan kolot. Tapi tetap jitu kok.
Sosialisasi nilai dasar, seperti bagaimana seorang anak diperkenalkan terlebih dahulu dengan nilai-nilai agama yang dibarengi dengan dasar-dasar edukasi seksologi.Tetapi tentunya yang memperkenalkan ini idealnya adalah orang tua sendiri, yakni nuclear family (keluarga inti), dan bukan dari luar.
Harapan dari dua praktik nilai dasar agama dan edukasi seksologi itu, di mana sang anak sejak awal sudah memiliki fondasi bagaimana ketakutannya akan dosa bila melakukan perselingkuhan. Sementara itu, edukasi seksologi yang diperolehnya dari orangtua bahkan dilengkapi di sekolah berupa pengetahuannya tentang organ seks yang dimiliki oleh sang anak.
Misalkan, bila anak tersebut perempuan, maka organ seksualnya itu dengan sadar dan mengerti akan mampu mengundang berahi lawan jenis. Oleh karenanya, supaya bagaimana tidak mengundang lawan jenis.
Tapi tentunya dua hal yang penulis ingin sosialisasikan tersebut tentulah akan signifikan bila orangtua sebagai stock of knowledge atau gudang pengetahuan akan ke semua itu benar-benar mapan dimiliki orangtua.