Kampanye pemilu di kampus masih diperdebatkan. Tapi kini sebuah keppres tentang kampanye pemilu sedang digodok. Isinya, antara lain melarang kampanye di kampus. ADA musik kampus. Ada pers kampus. Ada teater kampus. Semua itu boleh-boleh saja. Tapi, kampanye di kampus, tunggu dulu. Jangan-jangan ini bisa membuat rektor terjerumus. Mungkin, supaya tak terjerumus itulah para rektor lalu pasang kuda-kuda. Setahun sebelum Pemilu 1992 berlangsung, Juni 1991 lalu, para rektor bergegas menyatakan bahwa kampus tidak layak dijadikan ajang kampanye untuk kontestan peserta pemilu. "Saya tak mengizinkan kampus menjadi tempat kampanye," kata Rektor ITB Wiranto Arismunandar.
Menurut dia, semua kegiatan di kampus harus ilmiah, minimal menunjang kegiatan ilmiah. "Saya ingin mahasiswa belajar dengan baik, dan dosen mengajar dengan baik," kata Wiranto. Sikap serupa juga diperlihatkan oleh Rektor Universitas Gadjah Mada M. Adnan, Rektor Universitas Sriwijaya Amran Halim, dan Rektor Universitas Indonesia Sujudi: Tak setuju kampanye pemilu masuk kampus. Alasan lain dikemukakan Arma Abdullah, Rektor IKIP Yogyakarta. Katanya, kalau kampanye dalam kampus tak dilarang, mahasiswa akan mudah terpecah dalam kelompok-kelompok politik. Dari itu sudah terbukti pada masa Orde Lama "Kampus hiruk-pikuk oleh suasana kampanye sampai-sampai mahasiswa tak sempat kuliah," ujar Arma.
Dirjen Pendidikan Tinggi Sukadji Ranuwihardjo mendukung sikap rektor seperti Wiranto atau Arma. "Kampus memang bukan kancah politik praktis," katanya. Ia menolak anggapan bahwa kesepakatan para rektor yang menyatakan kampus tertutup untuk kampanye itu direkayasa oleh pejabat Departemen P & K. "Ini kesepakatan murnpara rektor," bantahnya. Lagi pula, seperti kata Menteri P dan K Fuad Hassan, soal boleh atau tidak boleh kampanye di kampus itu bukan urusan departemen yang dipimpinnya. "Kampus punya otonomi. Jadi, soal itu wewenang rektor," ujar Fuad. Ternyata, tak semua rektor sepakat menutup pintu bagi para kontestan pemilu. Universitas Muhammadiyah Malang, misalnya, malah membuka lebar-lebar pintu kampusnya untuk ketiga peserta pemilu. "Kami open terhadap partai mana pun," kata rektornya, Malik Fajar. Kalau ada suara-suara yang tak setuju kampanye pemilu di kampus, menurut Malik, itu karena rektornya dihinggapi ketakutan birokratis.
Padahal, mahasiswa bukan orang awam sehingga tak perlu khawatir kalau mereka nanti terpecah-belah. Kalau ada yang punya alasan seperti itu, "Naif. Lalu bagaimana mau melahirkan sarjana yang terdidik?" katanya. Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Jusuf Hanafiah dan Rektor Universitas Lambung Mangkurat H. Supardi juga punya sikap yang sama dengan Malik. Kontestan pemilu, kata Jusuf, boleh saja berkampanye di kampus. Syaratnya: penyelenggaraannya ilmiah. Ketiga kontestan yang ada -- PPP, Golkar, dan PDI -- juga harus bersedia melakukan kampanye di ruangan tertutup. Materi kampanye adalah hal-hal yang bersifat ilmiah, yang masih ada kaitannya dengan kegiatan akademis.
"Suasana kampanye seperti forum dialog," kata Supardi. Kampanye di kampus sebenarnya bukan barang baru. Di kampus IAIN Antasari Banjarmasin, pada 1977, pernah diadakan kampanye. Ketika itu, Golkar menampilkan Adam Malik (almarhum), PPP memunculkan Ridwan Saidi, dan PDI memajukan Sabam Sirait. "Mereka memaparkan program, dan menjawab pertanyaan mahasiswa. Forumnya dialogis," kata Anang Adenansi, anggota DPR RI dari Fraksi Karya Pembangunan asal Banjarmasin, yang setuju dengan beleid kampanye di kampus.
Kalangan luar universitas lainnya yang juga setuju kampus boleh jadi ajang kampanye adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Sarwono. "Jika saya jadi rektor," kata Sarwono, "akan saya undang ketiga kontestan dan saya suruh mahasiswa mengajukan berbagai pertanyaan." Menurut dia, memang kini masih ada sisa trauma masa lalu yang melihat setiap bentuk kampanye diidentikkan dengan agitasi. Padahal, kini zaman sudah berubah. "Lalu, apa sih yang ditakutkan?" ujarnya. Banyak mahasiswa yang tampaknya sepakat dengan Sarwono.
Menurut Jipi seorang mahasiswa ITB yang enggan menyebutkan nama lengkapnya karena "alasan keamanan", mahasiswa tak mudah dipengaruhi oleh siapa pun sehingga tak perlu waswas bakal terkotak-kotak akibat kampanye pemilu. Lagi pula, kampanye di kampus bisa dijadikan batu ujian bagi pemerintah apakah mahasiswa punya kesadaran politik. Para kontestan pemilu sendiri tampaknya siap bila diminta berkampanye di kampus.
"Kalau terjadi dan kami diminta, Golkar sudah siap," kata Wakil Sekjen Golkar Usman Hasan. Wakil Sekjen PPP YusufSyakir dan Sekjen PDI Nico Daryanto juga menyambut ide kampanye di kampus. Mendagri Rudini, yang menjabat Ketua Lembaga Pemilihan Umum, tampaknya tak mau larut dalam soal boleh tidaknya kampanye di kampus. Menurut dia, kampus bakal tertutup untuk kegiatan kampanye pemilu. Tapi, itu bukan berarti mahasiswa tak boleh kenal politik. Boleh saja mereka mengikuti, dan bahkan melakukan kampanye untuk kontestan tertentu. "Tapi, tempatnya di luar kampus," katanya. Sikap itu bakal tertuang dalam rancangan keppres tentang kampanye pemilu yang kini masih digodok. Isinya, antara lain, ketentuan bahwa gedung-gedung dan halaman sekolah, kantor pemerintah, dan tempat-tempat ibadah, tak boleh dijadikan ajang kampanye pemilu. Artinya, kalau rancangan keppres ini gol, kampus bakal bebas kampanye.