Ilustrasi - Sistem zonasi sekolah (Foto: saluy)
TIMESINDONESIA, MALANG – Pada 2017 silam, muncul kebijakan sistem zonasi untuk proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di berbagai tingkat sekolah. Kebijakan tersebut juga mengubah persyaratan penerimaan calon peserta didik sekolah negeri. Lantas apakah zonasi membawa perubahan positif dalam ruang lingkup pendidikan?
Menanggapi hal itu, pakar pendidikan asal Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. H. Akhsanul In'am, Ph.D mengatakan, sistem zonasi memiliki tujuan yang bagus. Yakni agar anak-anak dapat melakukan pembelajaran tanpa adanya unsur pilah-pilah berdasarkan kepintaran yang mereka miliki. Selain itu juga berefek pada pemerataan kualitas guru tanpa melihat popularitas sekolah.
Lebih lanjut, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) itu menegaskan beberapa hal yang harus diperhatikan dari sistem zonasi. Salah satunya yakni para pengajar harus mampu memberikan kwalitas pengajaran yang sama pada setiap sekolah, sehingga para siswa tidak merasakan perbedaan. Menurutnya, setiap sekolah akan memiliki input siswa yang bervariatif. Hal itu akan membuat pengalaman pendidik tidak jauh berbeda.
“Mereka harus mengajar dan mendidik siswa yang berbeda beda tingkat kecerdasannya. Para pengajar juga harus mampu memaksimalkan potensi siswa dan mendorong mereka di level terbaik. Hal yang perlu kita pahami adalah, sistem zonasi memiliki dampak positif dan negatif. Maka perlu adanya pengembangan dan perbaikan. Saya rasa, pada dasarnya setiap sekolah memiliki tingkat kwalitas pendidikan tak jauh berbeda. Tergantung dari kualitas pengajaran dan pendidikan yang diberikan oleh guru di setiap sekolah terkait,” terang Prof Akhsanul
Meski begitu, sistem zonasi ini tidak luput dari tantangan. Salah satunya tekait jarak sekolah bagi calon siswa. Misalnya saja saat siswa ingin bersekolah di sekolah A, meski berbeda zonasi karena lebih dekat dengan rumah. Namun karena kebijakan itu, mereka tidak bisa melakukannya dan malah masuk di sekolah yang jauh dari rumah karena dianggap masih di satu zonasi.
Beruntung, masalah ini sudah mendapatkan solusi dengan mengurangi persentasi penerimaan dari sistem zonasi. Yakni paling sedikit 70 persen untuk sekolah dasar (SD), 50 persen untuk sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Sehingga peluang calon siswa untuk bersaing di jalur reguler membesar karena kuotanya bertambah.
Kecurangan juga harus mendapat perhatian khusus. Menurut In’am, penitipan calon siswa ke para petinggi yang dilakukan sejumlah oknum harus ditiadakan. Sehingga persaingan sehat antar siswa dalam upaya masuk ke sekolah bisa tumbuh. “Semua sistem yang sudah dibangun ini akan sia-sia jika di dalamnya masih terdapat kecurangan-kecurangan yang merugikan sebelah pihak. Mari ajarkan nilai moral yang sesungguhnya kepada para penerus bangsa,” pungkasnya. (*)