SURYAMALANG.COM, LOWOKWARU - Wacana sanksi kerja sosial menjadi pembahasan seminar "Rekonstruksi Konsep Pembinaan Narapidana Berbasis Kerja Sosial" di Aula BAU Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rabu (25/5/2016).
Acara itu digelar oleh Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI). Sebagai pembicara Prof Dr Syaiful Bakhri, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kemudian Dr H Setiyono SH MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang.
Kemudian Prof Dr T Gayus Lumbun SH MH, hakim agung MA RI dan Dr Tongat SH MHum, Dosen FH UMM. Menurut Gayus, sanksi kerja sosial adalah pidana alternatif untuk mengurai lembaga pemasyarakatan (lapas) yang sudah overload.
Menurutnya, sanksi kerja sosial merupakan upaya menjunjung prinsip restorative justice.
"Napi masuk lapas sudah dalam kondisi sesak justru akan terjerumus pada kejahatan baru," kata dia.
Namun tidak semua hukuman bisa digantikan dengan pidana kerja sosial. Sebab di RUU KUHP, hukuman kerja sosial merupakan alternatif terakhir bagi hakim setelah mempertimbangkan jenis pidana lain.
"Syarat menjatuhkan hukuman kerja sosial juga sulit. Setidaknya hakim wajib mempertimbangkan pengakuan bersalah terdakwa," imbuhnya.
Ia menyebutkan di Pasal 79 ayat 1 RUU KUHP disebutkan batasan untuk bisa dikenakan sanksi kerja sosial jika pidana penjaranya tidak lebih dari enam bulan.
Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, I Wayan Kusmiantha Dusak sepakat jika pidana kerja sosial dijadikan alternatif dalam penegakan hukum di Indonesia.
"Kerja sosial bisa mengurangi dampak negatif pemenjaraan dan meminimalisir tindak kejahatan di Lapas," kata Wayan. Ada dua sanksi pidana kerja sosial yang pelaksanaanya diawasi oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) yakni konvensional serta non-konvensional.
"Yang konvensional seperti narapidana bekerja menyapu jalan tanpa digaji. Sedang yang non konvensional misalkan mantan lawyer. Boleh bekerja di firma hukum. Namun gajinya untuk negara," kata Wayan.