Ke manakah RSBI setelah dievaluasi?

Author : Humas | Thursday, September 23, 2010 20:00 WIB | Wawasan - Wawasan

POLEMIKtentang pendidikan khususnya masalah RSBI tak henti-hentinya bergulir, hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat luas semakin kritis dan peduli terhadap dunia pendidikan. Kementerian Pendidikan Nasional sampai dengan stakeholder sekolah hendaknya tidak menutup mata terhadap fenomena ini. Konsep sekolah berbasis RSBI selalu hanya dikaitkan dengan teknologi multimedia, pembelajaran berbahasa inggris, sarana fisik VIP dengan gedung mewah dan ber-AC. Eksklusivitas tersebut sangat dominan dibandingkan sekolah reguler, yang efeknya menimbulkan kastanisasi sosial seperti yang diungkapkan oleh Drs Suliswiyadi MAg, Ketua LP3M Universitas Muhammadiyah Malang (Wawasan, 4 September 2010).

Apakah hanya fasilitas yang menjadi daya beda RSBI? Selama ini masingmasing RSBI mempunyai patokan sendirisendiri dalam hal menarik dana, dampak tersebut dikarenakan Kementrian Pendidikan Nasional belum mengatur tentang dana yang boleh dipungut dari orang tua siswa.

 

Inilah sumber dari segala permasalahan RSBI. Interpretasi yang keliru terhadap RSBI menyebabkan bias dalam pelaksanaannya, antara lain kurikulum yang kurang jelas dan imej negatif masyarakat bahwa RSBI hanya bisa diakses oleh golongan menengah ke atas.

Kilas balik kualitas pendidikan kita yang terpuruk di tingkat internasional bahwa anakanak didik kita tahu tentang banyak hal namun hanya kulitnya saja. Hal itu disebabkan beban kurikulum yang terlalu padat melampaui batas tingkat berpikirnya.

Pencapaian cara berpikir dengan menghafal mendominasi proses pembelajaran selama ini, sedangkan cara berpikir analitis dan aplikasi terabaikan karena hanya bertujuan pada pencapaian target kurikulum. Hal ini kontradiktif dengan konsep pembelajaran di negara maju, misalnya di Jepang pembelajaran lebih ditekankan pada simulasi yang memancing anak untuk berpikir, bukan sekadar tahu dan paham tentang materi yang disampaikan guru.

Pelaksanaan RSBI selama ini salah kaprah, jika ditelisik lebih dalam hanya translate materi pelajaran ke bahasa inggris. Sungguh ironis, jika diibaratkan sebuah rumah direnovasi tetapi hanya dicat dengan warna berbeda. Jadi hanya ganti kulit tetapi isinya sama. Konsep RSBI hendaknya diterjemahkan sebagai perubahan mindset teaching bukan hanya sekadar fasilitas fisik yang bertaraf internasional, mengingat kondisi ekonomi masyarakat pada umumnya.

Orang tua yang anaknya pandai namun dari golongan menengah ke bawah sudah pasti ciut nyalinya untuk mendaftarkan anaknya di RSBI, padahal justru anak-anak pandai itulah aset bangsa yang sangat berharga.

Kemampuan berbahasa inggris dan komputer adalah karena faktor pembiasaan yang membungkus pendidikan bertaraf internasional, jadi bukan tujuan utama dari sekolah maju. Jika ikon mutu RSBI hanya dikaitkan hanya untuk mencapai kompetensi tersebut adalah bias yang harus diluruskan. Memang tidak dapat dipungkiri kompetensi berbahasa inggris dan komputer adalah persyaratan dasar untuk memasuki dunia kerja, dengan RSBI diharapkan sejalan dalam rangka mewujudkan life skill tersebut, akan tetapi tanpa RSBI pun kompetensi itu sebenarnya dapat dicapai oleh semua sekolah non-RSBI melalui program pembiasaan english day dan mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang sudah ada sejak Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) digulirkan tahun 2004.

Jadi, jika Kementerian Pendidikan Nasional berkomitmen akan mengadakan reformasi pendidikan agar sejajar dengan kualitas internasional, kemudian dimunculkan RSBI dengan esensi kurikulum belum berubah hanya berlabel bahasa inggris dengan fasilitas fisik bertaraf internasional tentunya tidak akan berhasil meningkatkan kualitas lulusan yang diharapkan yaitu dapat berpikir logis, kristis, aplikatif, dan analitis seperti halnya dengan negara- negara maju. Apalah artinya lancar berbahasa Inggris namun cara berpikir dan intelektualnya tidak berubah.

Dengan RSBI yang berjalan sampai sekarang justru mengarah pada komersialisasi dunia pendidikan serta merupakan penyimpangan terbesar yang menghancurkan mentalitas anak-anak didik kita. Lebih parah lagi anakanak didik kita nantinya justru kehilangan karakter Indonesianya.

Evaluasi RSBI sudah berlangsung sejak bulan Juli 2010, masyarakat sangat berharap adanya pembenahan dunia sekolah secara umum, tidak hanya terkait dengan RSBI saja.

Kontrol masalah biaya dan pengadaan fasilitas fisik sekolah yang tidak urgen perlu menjadi salah satu sorotan utama. Pembenahan juga perlu dilakukan terhadap kurikulum, selama ini guru seperti dikejar target pencapaian kurikulum tanpa mengindahkan tingkat perkembangan intelektual anak didik.

Membelajarkan tidak dapat disamakan seperti memproduksi suatu barang, karena harus memahami proses tingkat berpikir anak. Kurikulum dan mindset teaching guru justru yang lebih penting untuk dibenahi daripada sekadar mengadakan fasilitas gedung megah dan mewah yang berasal dari dana yang ditarik dari orang tua siswa.

Alangkah rendahnya mental stakeholder sekolah jika mengadakan pembangunan fisik yang mewah hanya untuk menarik calon siswa dari golongan kaya yang akhirnya menjurus pada komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan.

Melengkapi fasilitas sekolah dengan memperkaya buku-buku perpustakaan dan media laboratorium lebih berarti daripada mengadakan gedung kelas yang megah dan ber-AC. Jika lulusan berkualitas maka dengan sendirinya pada masa yang akan datang pendapatan perkapita generasi berikutnya akan meningkat dan fasilitas kenyamanan sekolah akan terpenuhi secara bertahap tidak mendadak mewah yang menyebabkan orang tua terengah-engah untuk menyekolahkan anaknya.

Kurikulum RSBI yang diadopsi dari negara lain tidak dapat sepenuhnya dikembangkan di Indonesia mengingat karakter dasar yang berbeda. Kesalahan mendasar jika masingmasing RSBI mempunyai kiblat kurikulum satu arah dengan kurikulum negara lain, misalnya kurikulum Cambridge. Hal ini membuktikan Kemenetrian Pendidikan Nasional tidak mempunyai konsep pendidikan yang jelas. Belajar dari negara lain itu perlu, namun seharusnya hanya terbatas sebagai komparasi dan mengolahnya menjadi konsep pendidikan bertaraf internasional dalam batas-batas kultur budaya bangsa. Jadi tidak hanya mengikuti ke mana arah angin bertiup, yang menyebabkan ketidakjelasan pelaksanaan pendidikan.

Bagaimana negara lain dapat menciptakan pembelajaran yang humanistik dan menghargai proses perkembangan kognitif anak didik, itulah yang perlu dipelajari jadi bukan sekadar mengadopsi sepenuhnya kurikulum mereka.

Oleh karena itulah, pasca evaluasi RSBI nantinya Kementerian Pendidikan Nasional perlu menyusun formula kurikulum bertaraf internasional namun berkarakter kuat kultur budaya bangsa. Seiring derasnya arus teknologi informasi melalui intenet, bahasa Inggris dan komputer kini sudah tidak asing lagi bagi anak didik. Yohanes Eko Nugroho SPd Guru SMP Negeri 2 Ungaran Kabupaten Semarang.

Harvested from: http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=41563&Itemid=62
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: