Diagnosa Autism lewat Tes Mengendus

Author : Administrator | Saturday, July 04, 2015 09:54 WIB
 

Akurasi identifikasi para peneliti terhadap anak-anak dengan autism lewat tes mengendus mencapai 81%


Diagnosa Autism lewat Tes Mengendus
Ilustrasi (independent.co.uk)

nationalgeographic-Sebagian besar manusia secara naluriah bernafas sedalam-dalamnya ketika bertemu dengan bau yang menyenangkan. Sebaliknya, mereka akan membatasi pernapasan mereka ketika bertemu dengan bau busuk.

Namun bagi anak-anak dengan autism spectrum disorder tidak dapat membuat pernyataan secara alami, ujar seorang ahli syaraf di Weizmann Institute of Science di Israel, Liron Rozenkrantz.

Rozenkrantz dan sejumlahpeneliti lainnya terlibat dalam sebuah studi yang menunjukkan bahwa kita dapat mendiagnosa autism lewat tes mengendus kepada anak-anak.

Dia dan rekan-rekannya melaporkan temuan tersebut dalam jurnal Current Biology.

Mereka menyajikan bau-bauan kepada 36 anak, baik yang menyenangkan maupun tidak. Dari aroma mawar, sabun sampai bau susu asam dan ikan busuk. 36 anak yang menjalani tes dibagi atas 18 anak didiagnosis mengalami autisme, 18 anak lagi tumbuh seperti biasanya. Dalam tes mengendus tersebut, para peneliti mengukur tanggapan mengendus mereka.

Anak-anak yang berkembang seperti biasa menyesuaikan penciuman mereka dengan cepat, sekitar 305 milidetik. Anak-anak dengan autism tidak dapat merespon dengan cepat. Tes mengendus bau ini sama seperti ketika anak-anak menonton film kartun atau bermain video games.

"Itu adalah respon semi-otomatis," kata Rozenkrantz. "Itu tidak memerlukan perhatian subjek."

Meski tidak mendapat diberitahu lebih dulu mengenai anak-anak yang mengalami autism, dalam tes mengendus tersebut para peneliti dapat mengidentifikasi mereka dengan ketepatan 81%.

Rozenkrantz dan para peneliti dalam studi ini berharap bahwa hal itu dapat digunakan sebagai penanda diagnostik untuk mendiagnosa autism pada usia yang sangat muda. "Ini adalah ukuran nonverbal, dan hanya membutuhkan pernapasan."

Meskipun studi menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, Rozenkrantz mengaku perlu studi lanjutan jangka panjang terhadap anak kecil.

(Ilham Bagus Prastiko/New York Times)

Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: