Sampah rumah tangga serta kotoran manusia yang seringkali dianggap sepele dapat dijadikan pupuk organik serta energi alternatif yang memiliki nilai ekonomis |
Yunus Fransiscus menunjukkan hasil pupuk organik dari feses atau kotoran manusia di dalam storage room Ubaya Training Center, Trawas, Mojokerto, Jawa Timur, Rabu (15/4). (VOA/Petrus Riski) (VOA) |
Kesulitan petani mendapatkan pupuk akibat kelangkaan maupun tingginya harga pupuk di pasaran, seringkali menyebabkan petani memilih beralih profesi dari bidang agraris ke perdagangan. Padahal dengan potensi sumber daya alam serta wilayah geografis yang sangat luas, Indonesia telah terbukti pernah menjadi negara swasembada pangan.
Kotoran manusia atau human excreta menjadi salah satu alternatif yang masih belum dilirik masyarakat, untuk dijadikan bahan baku pupuk organik yang berkualitas. Selain itu kotoran manusia juga dapat menghasilkan energi alternatif yang terbarukan berupa biogas. Menurut Direktur Pusat Studi Lingkungan Universitas Surabaya, Yunus Fransiscus, keberadaan limbah maupun sampah rumah tangga harus dapat dipahami oleh masyarakat sebagai sumber daya yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi, sekaligus kebaikan bagi lingkungan.
“Bagaimana yang namanya kotoran atau human excreta, atau kotoran dari manusia itu bisa kita pakai sebagai fertilizer dan sebagai biogas juga, jadi bisa dipakai untuk pupuk dan bisa dipakai untuk biogas. Katakanlah Surabaya memiliki 3,5 juta penduduk kurang lebih, kalau kita kumpulkan kotorannya, kita olah sedemikian rupa, itu akan menjadi sebuah bank atau sebuah aset yang sangat berharga dalam penyediaan pupuk organik dan biogas. Ditambah lagi Indonesia ini adalah negara agraris, kita sangat-sangat perlu yang namanya pupuk untuk mensuplai para petani dalam menjalankan aktifitas pertaniannya,” kata Yunus.
Yunus mengatakan bahwa gerakan mengolah sampah serta limbah manusia atau tinja oleh mayarakat sendiri, merupakan gerakan ekonomi biru yang dapat membangun perekonomian masyarakat. Edukasi dan sosialisasi untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap sampah maupun limbah manusia, merupakan kunci untuk melakukan perubahan yang lebih positif terhadap lingkungan maupun ekonomi masyarakat.
Yunus menekankan bahwa masyarakat harus menyadari tanggungjawabnya untuk menjaga serta melestarikan lingkungan secara sederhana, sehingga diperoleh keuntungan yang diharapkan.
“Kadangkala kita tidak perlu melibatkan teknologi baru tetapi paradigma yang baru, itu yang penting untuk dimajukan. Idenya adalah menstimulasi teman-teman untuk mulai berpikir apa yang bisa kita pakai dari sampah, jadi sampah tidak selalu memiliki arti negatif tetapi memiliki arti positif juga,” tambahnya.
Kunjungan peserta Kongres Blue Economy di Ubaya Training Center, Mojokerto, bertujuan melihat Pusat Pendidikan Olah Sampah milik Universitas Surabaya, yang telah mampu mengolah sampah organik dan kotoran manusia menjadi pupuk. Hal ini merupakan contoh konkrit penerapan konsep ekonomi biru, dimana kegiatan perekonomian dapat disinergikan dengan aspek lingkungan.
Youko Tomizuka, peserta Kongres Blue Economy asal Jepang mengapresiasi upaya yang telah dilakukan untuk mengubah sampah menjadi barang yang lebih bernilai ekonomi. Dirinya berharap model seperti ini dapat diterapkan oleh masyarakat di negara-negara lain.
“Ini adalah inisiatif dari akademisi di lembaga pendidikan. Dan yang kedua adalah, mereka melakukan perubahan terhadap alam, dan saya pikir kegiatan ini bisa disampaikan kepada masyarakat. Orang-orang mungkin menyadari bahwa mereka membuang limbah dan kurang menghargai alam, dan selanjutnya mereka berharap tidak lagi menciptakan sampah, dengan mengurangi sampah, mengurangi penggunaan yang dapat menimbulkan sampah, serta mendaur ulang segalanya. Pikiran orang harus diajak untuk mau berubah, ini yang ingin ditunjukkan,” katanya.
sumber: http://nationalgeographic.co.id