Healthy and Unique, Food Science and Technology of UMM Produces Noodles and Macaroni Made from Garut Tubers

Author : Humas | Monday, July 23, 2018 11:04 WIB

 

Laboratory of Food Science and Technology, Faculty of Agriculture and Animal Husbandry, University of Muhammadiyah Malang (UMM) created an innovative product made from tubers. They produce noodles and macaroni made from mixed cassava flour and Garut quintessence.  On Friday (20/7), The Head of Laboratory of Food Science and Technology UMM, Dr. Ir. Damat, MP said, “Noodles and macaroni are familiar for the Indonesian. The noodles that are consumed by Indonesian are made from wheat flour, but we have to import to produce it”.

Damat who is a lecturer of Food Science and Technology revealed that in 2018, Indonesia became the second biggest importer after Egypt. Indonesia exported 10 million tons of wheat. Based on the data released by the US Department of Agriculture, Indonesia is projected to become the biggest wheat importer in the next five years. in order to make Indonesia national food security stronger, an innovative product must be produced just like the food that people usually consume, for instance, making a product made by tubers to substitute wheat that has high economical value.

Damat said, “According to the statistic data, wheat consumption is increasing year by year. Let’s say, if we successfully develop this product that is made from tubers, at least ten percent growing in market, it will be great”. For your information, Damat is the initiator of bread free preservative. There are many kinds of tuber, such as sweet potatoes, cassava, and Garut tuber that has higher fiber that wheat has. Besides, sweet potatoes contain antioxidant, which is a compound that is needed to keep the body healthy.

Meanwhile, wheat flour contains gluten, which is used to make bread inflate. Unfortunately, this gluten is not good for some people. For people with autism, gluten will make them become hyper active. Damat explained, “For those who are intolerant with gluten, it will cause damage for microvilli as called celiac disease. If microvilli is in damage, the absorption or macronutrient absorption which is need by body will be disrupted and can cause malnutrition”.

In the future, Laboratory of Food Science and Technology plans to develop this product as a commercial product by forming special unit at UMM that accommodates all innovations from all UMM laboratories, so it will have economical values”. (lus)

Dr Ir Damat MP dan mie menunjukkan mie berbahan dasar tepung singkong dan umbi garut
          
Laboratoroium Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) Fakultas Pertanian Peternakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tengah mengembangkan berbagai produk inovatif berbasis umbi-umbian. Salah satu produk yang saat ini dikembangkan yakni mie dan makaroni yang terbuat dari campuran tepung singkong dan pati garut.  
 
“Mie dan makaroni merupakan jenis makanan yang banyak diminati masyarakat Indonesia. Trennya terus meningkat. Tapi yang perlu diketahui bahwa mayoritas mie yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia adalah dari tepung terigu yang berasal dari gandum. Sayangnya sampai hari ini seratus persen masih import,” terang Dr. Ir. Damat, MP, Kepala Laboratorium ITP UMM, Jumat (20/7).
 
Disebut dosen Ilmu dan Teknologi Pangan ini, pada tahun 2018 saja, import gandum masyarakat Indonesia diproyeksi sudah mencapai lebih dari 10 juta ton. Indonesia, kata Damat, menjadi importir gandum terbesar kedua setelah Mesir. Bahkan berdasarkan data yang dirilis Departemen Pertanian Amerika Serikat, lima tahun lagi Indonesia diproyeksi akan menjadi importir gandum terbesar di dunia. 
 
Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional yang kuat, sambung Damat, upaya untuk mengembangkan produk pangan berbasis sumber pangan lokal harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Selain itu, pemanfaatan umbi-umbian untuk mensubstitusi tepung terigu diketahui memiliki nilai potensi nilai ekonomi yang sangat besar. 
 
“Berdasarkan data statistik, tren konsumsi tepung terigu gandum dari tahun ke tahun terus meningkat. Katakanlah kalau kita berhasil mengembangkan produk umbi-umbian ini, tidak mesti lima puluh persen, cukup sepuluh persen kita kuasai pasar, nilainya sudah sangat luar biasa besar,” ungkap Damat yang juga menginisiasi roti bebas pengawet ini.
 
Ditilik nilai gizinya, beberapa jenis ubi-ubian seperti ubi jalar, singkong dan umbi garut diketahui memiliki kandungan serat lebih tinggi ketimbang gandum. Selain itu, pada ubi jalar misalnya, diketahui kaya antioksidan, yakni salah suatu senyawa yang sangat dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tubuh. 
 
Sementara itu, tepung terigu mengandung protein khas yang disebut gluten. Protein inilah yang membuat produk roti dapat mengembang baik. Namun bagi sebagian orang, keberadaan gluten ini justru dapat menimbukan efek negatif. Bagi penyandang autisme misalnya, mengonsumsi gluten secara berlebihan membuat pengkonsumsinya hiper aktif.
 
“Selain itu, bagi mereka yang intoleran terhadap gluten, keberadan gluten juga dapat memicu kerusakan jaringan mikrofili pada usus halus yang dikenal dengan penyakit celiac deases. Jika mikrofili rusak, maka absorpsi atau penyerapan makronutrien (zat gizi yang dibutuhkan tubuh, red.) akan terganggu, sehingga dapat berakibat malnutrisi,” terangnya. 
 
Kedepan, Lab ITP berencana menindaklanjuti produk ini untuk dikembangkan sebagai produk komersial. Yakni dengan segera membentuk unit khusus di UMM yang menampung segala inovasi dari sejumlah laboratorium yang ada agar bernilai ekonomis. (can/sil)
Dr Ir Damat MP dan mie menunjukkan mie berbahan dasar tepung singkong dan umbi garut
          
Laboratoroium Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) Fakultas Pertanian Peternakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tengah mengembangkan berbagai produk inovatif berbasis umbi-umbian. Salah satu produk yang saat ini dikembangkan yakni mie dan makaroni yang terbuat dari campuran tepung singkong dan pati garut.  
 
“Mie dan makaroni merupakan jenis makanan yang banyak diminati masyarakat Indonesia. Trennya terus meningkat. Tapi yang perlu diketahui bahwa mayoritas mie yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia adalah dari tepung terigu yang berasal dari gandum. Sayangnya sampai hari ini seratus persen masih import,” terang Dr. Ir. Damat, MP, Kepala Laboratorium ITP UMM, Jumat (20/7).
 
Disebut dosen Ilmu dan Teknologi Pangan ini, pada tahun 2018 saja, import gandum masyarakat Indonesia diproyeksi sudah mencapai lebih dari 10 juta ton. Indonesia, kata Damat, menjadi importir gandum terbesar kedua setelah Mesir. Bahkan berdasarkan data yang dirilis Departemen Pertanian Amerika Serikat, lima tahun lagi Indonesia diproyeksi akan menjadi importir gandum terbesar di dunia. 
 
Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional yang kuat, sambung Damat, upaya untuk mengembangkan produk pangan berbasis sumber pangan lokal harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Selain itu, pemanfaatan umbi-umbian untuk mensubstitusi tepung terigu diketahui memiliki nilai potensi nilai ekonomi yang sangat besar. 
 
“Berdasarkan data statistik, tren konsumsi tepung terigu gandum dari tahun ke tahun terus meningkat. Katakanlah kalau kita berhasil mengembangkan produk umbi-umbian ini, tidak mesti lima puluh persen, cukup sepuluh persen kita kuasai pasar, nilainya sudah sangat luar biasa besar,” ungkap Damat yang juga menginisiasi roti bebas pengawet ini.
 
Ditilik nilai gizinya, beberapa jenis ubi-ubian seperti ubi jalar, singkong dan umbi garut diketahui memiliki kandungan serat lebih tinggi ketimbang gandum. Selain itu, pada ubi jalar misalnya, diketahui kaya antioksidan, yakni salah suatu senyawa yang sangat dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tubuh. 
 
Sementara itu, tepung terigu mengandung protein khas yang disebut gluten. Protein inilah yang membuat produk roti dapat mengembang baik. Namun bagi sebagian orang, keberadaan gluten ini justru dapat menimbukan efek negatif. Bagi penyandang autisme misalnya, mengonsumsi gluten secara berlebihan membuat pengkonsumsinya hiper aktif.
 
“Selain itu, bagi mereka yang intoleran terhadap gluten, keberadan gluten juga dapat memicu kerusakan jaringan mikrofili pada usus halus yang dikenal dengan penyakit celiac deases. Jika mikrofili rusak, maka absorpsi atau penyerapan makronutrien (zat gizi yang dibutuhkan tubuh, red.) akan terganggu, sehingga dapat berakibat malnutrisi,” terangnya. 
 
Kedepan, Lab ITP berencana menindaklanjuti produk ini untuk dikembangkan sebagai produk komersial. Yakni dengan segera membentuk unit khusus di UMM yang menampung segala inovasi dari sejumlah laboratorium yang ada agar bernilai ekonomis. (can/sil)
Dr Ir Damat MP dan mie menunjukkan mie berbahan dasar tepung singkong dan umbi garut
          
Laboratoroium Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) Fakultas Pertanian Peternakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tengah mengembangkan berbagai produk inovatif berbasis umbi-umbian. Salah satu produk yang saat ini dikembangkan yakni mie dan makaroni yang terbuat dari campuran tepung singkong dan pati garut.  
 
“Mie dan makaroni merupakan jenis makanan yang banyak diminati masyarakat Indonesia. Trennya terus meningkat. Tapi yang perlu diketahui bahwa mayoritas mie yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia adalah dari tepung terigu yang berasal dari gandum. Sayangnya sampai hari ini seratus persen masih import,” terang Dr. Ir. Damat, MP, Kepala Laboratorium ITP UMM, Jumat (20/7).
 
Disebut dosen Ilmu dan Teknologi Pangan ini, pada tahun 2018 saja, import gandum masyarakat Indonesia diproyeksi sudah mencapai lebih dari 10 juta ton. Indonesia, kata Damat, menjadi importir gandum terbesar kedua setelah Mesir. Bahkan berdasarkan data yang dirilis Departemen Pertanian Amerika Serikat, lima tahun lagi Indonesia diproyeksi akan menjadi importir gandum terbesar di dunia. 
 
Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional yang kuat, sambung Damat, upaya untuk mengembangkan produk pangan berbasis sumber pangan lokal harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Selain itu, pemanfaatan umbi-umbian untuk mensubstitusi tepung terigu diketahui memiliki nilai potensi nilai ekonomi yang sangat besar. 
 
“Berdasarkan data statistik, tren konsumsi tepung terigu gandum dari tahun ke tahun terus meningkat. Katakanlah kalau kita berhasil mengembangkan produk umbi-umbian ini, tidak mesti lima puluh persen, cukup sepuluh persen kita kuasai pasar, nilainya sudah sangat luar biasa besar,” ungkap Damat yang juga menginisiasi roti bebas pengawet ini.
 
Ditilik nilai gizinya, beberapa jenis ubi-ubian seperti ubi jalar, singkong dan umbi garut diketahui memiliki kandungan serat lebih tinggi ketimbang gandum. Selain itu, pada ubi jalar misalnya, diketahui kaya antioksidan, yakni salah suatu senyawa yang sangat dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tubuh. 
 
Sementara itu, tepung terigu mengandung protein khas yang disebut gluten. Protein inilah yang membuat produk roti dapat mengembang baik. Namun bagi sebagian orang, keberadaan gluten ini justru dapat menimbukan efek negatif. Bagi penyandang autisme misalnya, mengonsumsi gluten secara berlebihan membuat pengkonsumsinya hiper aktif.
 
“Selain itu, bagi mereka yang intoleran terhadap gluten, keberadan gluten juga dapat memicu kerusakan jaringan mikrofili pada usus halus yang dikenal dengan penyakit celiac deases. Jika mikrofili rusak, maka absorpsi atau penyerapan makronutrien (zat gizi yang dibutuhkan tubuh, red.) akan terganggu, sehingga dapat berakibat malnutrisi,” terangnya. 
 
Kedepan, Lab ITP berencana menindaklanjuti produk ini untuk dikembangkan sebagai produk komersial. Yakni dengan segera membentuk unit khusus di UMM yang menampung segala inovasi dari sejumlah laboratorium yang ada agar bernilai ekonomis. (can/sil)
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image