Cerita dari Aleppo: "Kami Merasa seperti Berada di Penjara'

Author : Administrator | Saturday, October 01, 2016 09:18 WIB


AFP/Ameer Alhalbi

 

Seorang pria berada di di tengah bangunan yang hancur akibat serangan udara Rusia di kawasan al-Kalasa, Aleppo.

Wajah indah Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah setelah ibu kota Damaskuskini telah luluhlantak akibat perang saudara yang telah berjalan lebih dari lima tahun.

 

Dahulu, pada era kekaisaran Ottoman, Aleppo terbilang kota terbesar ketiga setelah Konstantinopel dan Kairo.

Bentangan kota dengan bangunan bertingkat, serta wajah kota tua yang teduh,  telah berubah menjadi onggokan besar puing-puing.

Sebagian besar gedung di kota itu telah luluhlantak oleh bom atau roket.

Serangan terbaru menyasar kota itu Senin (26/9/2016) malam hingga Selasa (27/9/2016) dini hari, yang dikecam dunia karena dua rumah sakit besar hancur dan puluhan orang tewas.

Populasi kota yang sempat tercatat sekitar 2,3 juta berdasarkan sensus tahun 2014, pekan ini setidaknya tidak lebih dari 300.000 orang yang masih bertahan.

Wartawan The Guardian berusaha menghubungi beberapa warga kota melalui Skype dan WhatsApp untuk mengetahui kehidupan warga di bawah kepungan perang.

Menurut warga, bantuan tidak bisa masuk ke kota itu. Ancaman kelaparan meningkat. Komunikasi telepon yang sempat lancar, yang menbuat dunia luar tahu tentang Aleppo, kini mulai terganggu akibat terbatas atau rusaknya jaringan.

Aleppo telah menjadi identik dengan kehancuran dan kematian, bom barel, roket, peluru tajam, granat, kelaparan, dan rumah sakit yang hancur.

AFP

 

Serangan udara di sebuah pasar di Provinsi Idlib, Suriah, Sabtu (10/9/2016), telah menewaskan hingga 60 orang, sementara sedikitnya 45 orang tewas akibat serangan udara terjadi di Provinsi Aleppo. Serangan itu terjadi sehari setelah kesepakatan untuk mengakhiri permusuhan.

Para dokter dan petugas penyelamat berpacu untuk menyelamatkan ratusan nyawa setiap jam. Kehidupan menjadi kabur oleh darah, kematian, dan keputusasaan.

Namun, antara ledakan-ledakan dan pertempuran di jalan, ada lebih dari 200.000 warga sipil berusaha sekuat tenaga untuk menata kehidupan mereka secara normal di Aleppo timur.

Seperempat di antaranya adalah anak-anak.

Taksi, toko roti, tanaman air, dan kios di pasar, sekolah dan kegiatan amal, masih tetap dijalankan di Aleppo timur yang dikuasai pasukan oposisi sebelum serangan Senin malam itu.

Kehidupan warga kota yang sudah morat-marit akibat perang, semakin menderita setelah pasukan pemerintah melakukan pengepungan terhadap oposisi pada Juli lalu.

Seluruh aktivitas ekonomi, sosial, dan transportasi, berhenti. Koneksi internet sangat terbatas, dan komunikasi dengan dunia luar meredup.

Warga tidak bisa lagi saling mengunjungi, bahkan orang-orang yang melarikan diri terus meningkat sehingga jumlah warga yang bertahan semakin berkurang.

Di antara faksi bersejata yang bertempur di Aleppo timur adalah kelompok radikal, Jabhat Fateh al-Sham (yang sebelumnya dikenal sebagai Front al-Nusra), yakni sayap Al Qaeda di Suriah.

Aleppo timur sebenarnya adalah tempat tinggal yang tenang bagi para seniman, aktivis moderat, dan di sana banyak perempuan bekerja di lembaga amal dan mengajar di sekolah-sekolah.

Petugas pegiat kemanusiaan PBB menggambarkan situasi di Aleppo sebagai “kehidupan yang menakutkan, kejam dan tampa ampun”.

Persediaan makanan menyusut tajam, buah dan sayuran hilang lenyap, bahan bakar menipis.

Mobil-mobil telah menghilang dari jalan karena banyak yang hancur bersama pemilikinya akibat serangan bom.

Makanan dan bantuan medis tidak bisa masuk, tapi cerita horor bisa keluar di tengah koneksi internet yang terbatas.

Aleppo Media Center

 

Omran Dagneesh (5) duduk termangu di dalam ambulans setelah selamat dari serangan udara pemerintah Suriah di kota Aleppo.

“Saya terjaga dari tidur setelah bom jatuh di dekat apartemen saya. Anak-anak saya ketakutan dan mulai menangis dan berteriak,” kata Afraa Hashem, seorang ibu guru.

“Pintu dan jendela apartemen saya rusak akibat ledakan itu. Saya berhasil menenangkan mereka, lalu saya menyediakan kopi untuk suami dan menenangkan diri,” katanya.

“Anak-anak lapar, tapi kami tidak punya roti. Kami merasa seperti di terpenjara,” kata Hashem sambil mengatakan, banyak orang tewas dan terluka akibat bom di dekat apartemennya itu.

Pengeboman semakin intensif. Sekolah, rumah sakit, dan masjid jadi target. “Dua guru, rekan saya,  tewas dan lainnya luka-luka di kaki dan tangannya,” katanya.

PBB sebelumnya melaporkan, perang saudara di Suriah yang dalam beberapa bulan ini terfokus di Aleppo, semakin buruk karena lebih banyak menyasar warga sipil.

Menurut PBB, satu nyawa melayang dalam setiap 25 menit. Sementara itu, dalam pertempuran sehari pada Mei lalu, 200 orang tewas. Kehidupan terus menyusut.

Oleh Sekjen PBB, Aleppo telah berubah menjadi tempat yang jauh lebih buruk dari rumah jagal.

 

 
Editor : Pascal S Bin Saju

 

 


Harvested from: http://internasional.kompas.com/read/2016/10/01/09180521/cerita.dari.aleppo.kami.merasa.seperti.berada.di.penjara.
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: