Metrotvnews.com, Oita: Decak kagum dan standing applaus dari penonton mewarnai pergelaran drama cerita rakyat Malin Kundang di Kampus Ritsumeikan Asia Pacific University (APU) di Beppu, Oita, Jepang.
Salah satu penonton kehormatan yang mengungkapkan kekagumannya adalah Duta Besar Indonesia untuk Jepang Muhammad Lutfi yang baru pertama kalinya menonton pertunjukan putra-putri Indonesia dalam perhelatan tahunan Indonesian Week, Jumat (28/6), seperti dilaporkan pewarta foto Media Indonesia Panca Syurkani.
“Tidak ada kata-kata yang dapat mengilustrasikan bagaimana bangganya saya sebagai Duta Besar Indonesia melihat pertunjukan yang sangat luar biasa”, ujar Lutfi. “Bangga sekali menjadi orang Indonesia”, tegasnya.
Azamat, seorang mahasiswa asal Uzbekistan yang sudah ketiga kalinya menonton Grand Show Indonesian Week, juga mengungkapkan kekaguman yang sama. “Jujur, penampilan ini sangat bagus, bahkan lebih bagus dari yang saya bayangkan, akunya.
“Hingga tahun ketiga saya berkuliah di sini, saya tak pernah melewatkan acara ini karena mereka selalu menampilkan yang berbeda dan selalu berimprovisasi tahun demi tahun. Tahun ini adalah yang terbaik”.
Kekaguman yang tercipta bukan tak beralasan. Penampilan gemilanglah yang membuahkan itu semua. Kisah Malin Kundang tak disajikan telanjang seperti kisah aslinya. Namun benang merah cerita tentang anak yang durhaka kepada ibunya tetap dijaga agar pesan yang disampaikan tidak keluar jalur.
Antusiasme penonton terlihat dari antrean yang sudah mengular sejak pukul 13.00 waktu setempat meski pertunjukan baru dimulai pukul 19.00. Bahkan para penonton yang tidak hanya pelajar dan alumni APU, tetapi juga penduduk lokal, bergeming dan tetap bertahan di garis antrean meski di tengah guyuran hujan.
Pentas drama diawali dengan pengantar dari pembawa acara yang menjelaskan dirinya akan bertindak sebagai pemandu dari awal hingga akhir cerita dan merunut satu-persatu peraturan yang harus ditaati penonton. Di antaranya, larangan membuat suara gaduh dan menggunakan telepon seluler selama pertunjukan berlangsung.
Belum selesai seremoni pembuka, tiba-tiba suara gaduh terdengar dari bangku penonton di baris depan sebelah kiri. Petugas keamanan berhamburan dari segala penjuru mengamankan si pembuat gaduh. Sambil terus meronta, si biang kerok digiring keluar ruangan.
Saat akan keluar dari pintu tengah sebelah kanan, tiba-tiba muncul sebuah tangan mengenakan sarung tangan putih mendorong tubuh si pembuat onar. Tak lama, sesosok tubuh berperawakan tinggi tegap namun bertingkah gemulai mengenakan ikat kepala Bali dan wajahnya setengah bertato muncul dan memberikan pelajaran kepada si penonton hingga kehilangan kesadarannya.
Ternyata, kegaduhan tersebut merupakan bagian dari skenario pertunjukan. Pembawa acara yang mengaku bertindak sebagai pemandu cerita dari awal hingga akhir pementasan, tak tahu ke mana perginya sejak keributan terjadi.
Nyatanya, si pria gemulailah yang menjadi pemandu cerita selama pementasan drama berlangsung. Seluruh penonton ternyata berhasil kena tipu.
Indonesian Week adalah salah satu program yang merupakan bagian dari program tahunan di APU bernama Multicultural Week atau minggu multi budaya. Setiap perkumpulan pelajar dari negara masing-masing diberikan kesempatan selama seminggu untuk memperkenalkan budaya di areal kampus.
Untuk itulah para pelajar Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan Ritsumeikan Asia Pacific University Indonesia Society menggelar pentas budaya bertajuk Indonesian Week setiap tahun guna memperkenalkan keanekaragaman budaya yang menjadi kebanggaan Indonesia.
Dengan mengusung tema Indonesia for Everyone, Indonesia Week 2013 ditutup dengan pentas drama cerita rakyat Sumatra Barat, Malin Kundang, yang diracik dengan sejumlah pergelaran seni dan budaya khas Indonesia seperti tari tradisional, peragaan busana daerah, dan alat musik yang pastinya juga khas Indonesia.
Setelah sukses mengelabui para penonton, 19 penari berpakaian merah dan kuning menyala dipadu celana hitam berkain keemasan serta keperakan berjajar rapi, bergerak harmonis mengikuti ritme tabuhan rebana dan nyanyian merdu menarikan tari saman. Sekitar 700 lebih penonton yang memadati Gedung Millenium Hall APU terperangah dan seakan tak mau berkedip agar tidak melewatkan sedikitpun gerakan tari yang menakjubkan tersebut.
Penampilnya pun spesial, tidak hanya para pelajar Indonesia, namun juga berkolaborasi dengan pelajar asing asal Jepang, Korea, dan Lithuania yang tetap terlihat apik menarikan tarian khas Aceh itu.
Tak hanya menari, sesekali mereka juga bersahut syair di sela mengatur nafas dan ritme gerakan agar tetap harmonis.
Sejumlah tari daerah juga ditampilkan untuk merebut hati penonton di sela kurang lebih tiga jam pertunjukan berlangsung. Tarian tersebut adalah tari piring asal Sumatra Barat, tari rentak besapih asal Jambi, tari renggong manis asal Betawi, dan tari kecak asal Bali. Sedangkan alat musik yang dimainkan yaitu alat musik khas Manado, Kolintang, yang dimainkan bersama alat-alat musik modern dalam sebuah band.
Tentu saja setiap penampilan tetap melibatkan pelajar dari berbagai negara sesuai dengan salah satu maksud dan tujuan acara yang menjadikan Indonesian Week sebagai sarana mempererat persahabatan antar sesama pelajar Indonesia dan internasional.
Meski bukan mengusung konsep drama musikal yang setiap pemain bernyanyi selama pementasan, selingan tarian, nyanyian, peragaan busana daerah dan musik tetap apik diselipkan di sela-sela cerita.
Contohnya, tari piring ditampilkan saat cerita dimulai untuk menggambarkan suasana tempat cerita berlangsung, yaitu Sumatra Barat. Lalu tari rentak besapih dimainkan saat seorang saudagar kapal menawarkan orang-orang kampung, termasuk Malin untuk turut berlayar dengan kapal.
Sukses menaklukan bajak laut yang berusaha merebut kapal sang saudagar, Malin disuguhi tarian renggong manis untuk merayakan kemenangan yang disusul dengan peragaan busana tradisional Indonesia koleksi si saudagar untuk memersilahkan Malin memilih baju yang pantas untuk dikenakan karena ia telah diangkat menjad kapten.
Tidak hanya busana tradisional, lima peragawan dadakan yang muncul secara dramatis menembus properti tembok di sudut kiri panggung, lima wanita cantik gemulai juga menjadi perawagati sehari memeragakan busana tradisional Indonesia saat saudagar kapal menawarkan Malin untuk mempersunting satu dari kelima wanita rupawan tersebut.
Di penghujung cerita, tari kecak menjadi pengantar kutukan ibunda Malin yang mengutuk anaknya menjadi batu karena telah durhaka tidak mengakui dirinya sebagai ibu.
Editor: Henri Salomo Siagian