Yangon (ANTARA News) - Presiden Myanmar Thein Sein mengeluarkan perintah gencatan senjata, yang akan berlaku sejak Sabtu, dalam pertempuran dengan pemberontak etnik Kachin.

Namun kelompok gerilyawan Kachin Independence Army (KIA) menyatakan bahwa mereka tidak akan begitu saja menerima tawaran gencatan senjata dari pihak pemerintah itu.

Pertempuran antara KIA dan militer Myanmar yang telah berlangsung selama 20 bulan itu membuat ribuan warga sipil harus kehilangan rumah dan mengungsi.

Pertempuran itu juga membangkitkan keraguan mengenai keseriusan pemerintah dalam menerapkan reformasi yang ditujukan untuk mengakhiri ketegangan etnik yang telah berlangsung selama beberapa dekade di Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma.

Pengumuman dari Komite Informasi negara mengatakan bahwa gencatan senjata akan mulai diberlakukan pada hari Sabtu pukul 06.00 pagi waktu setempat. Namun, hanya berlaku untuk angkatan bersenjata Myanmar Tatmadaw, di La Ja Yang yang merupakan daerah tempat terjadinya konflik paling keras.

"Untuk mengurangi ketegangan konflik bersenjata, kedua pihak harus segera menghentikan pertempuran. Kachin Independence Army diminta untuk menginstruksikan pada pasukannya agar tidak menyerang Tatmadaw," kata pengumuman tersebut..

Kepala tim negosiasi KIA, Sumlut Gam, mengatakan bahwa pengumuman pemerintah "terdengar sangat baik" namun KIA akan menunda diskusi mengenai usulan gencatan senjata dari pihak pemerintah Myanmar sampai Sabtu.

Sementara itu, juru bicara KIA yang berada di Thailan, Kolonel James Lum Dau, mengatakan bahwa posisi pasukan pemerintah saat ini hanya beberapa mil dari kota Laiza yang dikuasai kelompok pemberontak.

Lum Dau menilai posisi tersebut membuat pemerintah dapat merebut kantor pusat KIA.

"Usulan gencatan senjata itu palsu atau artifisial, sampai mereka kembali mengangkat senjata," kata Lum Dau kepada Reuters.

"Mereka berbicara mengenai perdamaian, namun pembicaraan itu hanya untuk menunjukkan niat palsu mereka kepada dunia. Ini tidak bermakna apa-apa," kata Lum Dau.

Pengumuman dari pemerintah muncul hanya satu hari setelah China mendesakkan adanya gencatan senjata sebagai respon atas peluru artileri yang terbang melintasi garis perbatasan pada Kamis.

Insiden tersebut merupakan yang kedua setelah peristiwa serupa juga terjadi pada Desember lalu.

Respon China tersebut menunjukkan ketidak-sabaran yang terus meningkat di Beijing terhadap sikap pemerintah Myanmar terhadap etnis Kachin.

Di sisi lain, Human Rights Watch dari New York pada minggu lalu menuduh pasukan pemerintah Myanmar telah menembaki kota Laiza tanpa prinsip diskriminasi sehingga menyebabkan tiga warga sipil tewas.

Amerika Serikat juga mendesakkan adanya gencatan senjata dan negosiasi perdamaian baru.