KOMPAS.com -Sosok perempuan dengan mata gelap dan jilbab hitam panjang tergambar dalam banyak poster kampanye untuk mendorong Pemerintah Swiss menghentikan proses naturalisasi tak terkendali.
Namun, sesungguhnya reklame yang disebarkan ke seluruh negeri terkait referendum pada Minggu mendatang itu, mau menunjukkan kekhawatiran akan bertambahnya jumlah penduduk Muslim di negeri itu.
"Itulah sesungguhnya upaya yang mereka lakukan," kata Pius Walker, yang memimpin proyek reklame dari agensi iklan Walker AG yang berpusat di Zurich.
"Ini adalah hal yang sangat, sangat menakutkan yang terjadi di sini," sambung dia, seperti dikutip AFP, Jumat (10/2/2017).
Salah satu isu yang diangkat dalam referendum hari Minggu mendatang, -peristiwa terbaru dalam sistem demokrasi langsung di Swiss, adalah apakah cucu imigran berhak mendapatkan percepatan dalam proses kewarganegaraan.
Sejuah ini, Pemerintah dan para wakil rakyat di parlemen, serta partai-partai politik sepakat dengan proposal tersebut.
Mereka memandang, anak yang dilahirkan di Swiss, yang memiliki kakek-nenek yang juga dilahirkan di negeri itu atau memegang kartu izin tinggal, bisa melewatkan sejumlah tahapan untuk mendapat paspor Swiss.
Berdasarkan sebuah penelitian yang lakukan Departemen Imigrasi Swiss, saat ini diperkirakan ada 25.000 orang yang masuk dalam kualifikasi generasi ketiga tersebut. Sebanyak 60 persen di antaranya adalah keturunan Italia.
Namun, kampanye yang terjadi menentang penghitungan tu. Kelompok nasionalis sayap kanan dari Partai Penduduk Swiss (SVP) telah membuat pernyataan tegas, keberadaaan warga Italia bukan persoalan.
"Dengan generasi pertama atau kedua, siapa dari generasi ketiga yang akan menjadi orang asing?" ungkap anggota parlemen dari SVP Jean-Luc Addor dalam sebuah opini yang diunggah ke situs mereka.
"Mereka akan akan berasal dari wilayah Afrika, Suriah atau Afghanistan," tegas dia.
Bukan pembuat poster
Kendati menjadi salah satu pihak yang bersikap tegas atas kekhawatiran dalam referendum, namun secara formal SVP mengaku tak terkait dengan poster kampanye bergambar wanita berhijab tersebut.
Kampanye itu digelar Komite Anti Pemberian Fasilitas untuk Kewarganegaraan, yang ternyata didukung oleh banyak anggota senior SVP.
Selama ini, anggota SVP tidak asing dengan kampanye diskriminatif, terutama di tahun 2009 saat mereka mampu melarang pembangunan menara masjid baru.
Kendati demikian, kampanye berseberangan dengan umat Muslim yang digelar SVP, dinilai tak diterima oleh arus utama politik Swiss.
Pandangan ini diungkapkan Sophie Guignard seorang peneliti dari Institut Ilmu Politik di Universitas Bern.
"Bagi sebagian besar politisi dan juga jurnalis, poster wanita berjilbab itu merupakan bentuk serangan terhadap kaum Muslim," ungkap Guignard kepada AFP.
Namun, dia menambahkan, kondisi itu bukan berarti kampanye ini tak akan berhasil.
Polling terakhir dari the gfs.bern institute menunjukkan 66 persen warga mendukung dimudahkannya proses perolehan kewarganegaraan.
Sementara, ada 31 persen yang menentang dan hanya tiga persen yang belum menentukan sikap.
Kemudian, jajak pendapat dari perusahaan media Tamedia pun menunjukkan hasil yang hampir sama. Ada 55 persen yang mendukung dan 44 persen menolak.
Perolehan suara bagi kubu yang menolak menunjukkan peningkatan 10 poin dibandingkan polling terdahulu.
Perkembangan itu tentu tak dapat dikesampingkan, terlebih jika melihat menghangatnya isu dan perdebatan pemberian kewarganegaraan di Swiss dan hubungannya dengan Islam.
Editor |
: Glori K. Wadrianto |