Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra. |
KOMPAS.com - SETELAH melewati proses pencarian kandidat yang berliku, Minggu (26/10), Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan anggota kabinet di depan Istana Kepresidenan.
Pengumuman ini sekaligus mengakhiri spekulasi seputar nama-nama yang beredar sejak pasangan ini ditetapkan sebagai pemenang Pemilu Presiden 2014. Sesuai dengan karakter dasar keduanya, kumpulan pembantu presiden ini diberi nama Kabinet Kerja.
Melacak dinamika politik setelah penetapan JKW-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih, tenggat waktu enam hari untuk menentukan dan mengumumkan anggota kabinet dari pelantikan menjadi kebutuhan tak terelakkan. Bagaimanapun, dengan koalisi sejumlah parpol dan dalam posisi tidak mendapat dukungan mayoritas di DPR, tarik-menarik menjadi konsekuensi yang mesti diterima. Apalagi, demi merealisasikan gagasan menghadirkan menteri yang bersih dan bebas dari korupsi, JKW-JK juga memerlukan ”klarifikasi” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Selain kerumitan di sekitar pemilihan calon anggota kabinet, secara hukum, JKW-JK sangat tak mungkin mengumumkan kabinet hanya berjarak satu-dua hari dari pelantikan. Dengan adanya perubahan struktur kementerian, baik karena pemisahan maupun penggabungan, sesuai dengan Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, struktur baru perlu pertimbangan DPR. Meski hanya pertimbangan, dinamika politik yang terjadi, amanat Pasal 19 Ayat (1) itu jadi keharusan demi membangun komunikasi politik kondusif antara Presiden dan DPR.
Dengan berbagai kondisi ini, terlepas dari segala macam kontroversi di sekitar proses pengisian menteri, jarak enam hari dari waktu pelantikan terbilang cepat. Paling tidak, penilaian ini dapat dibenarkan merujuk limitasi dalam UU No 39/2008 bahwa presiden memiliki waktu 14 hari kerja menyelesaikan segala sesuatu terkait kementerian dan pengisian menteri sejak pengucapan sumpah dan janji. Karena itu, di tengah kontroversi yang muncul, yang paling ditunggu adalah bagaimana anggota kabinet memenuhi pohon janji yang disampaikan JKW-JK selama kampanye.
Di antara untaian pohon janji yang tertuang dalam Sembilan Agenda Prioritas JKW-JK adalah agenda hukum. Dalam agenda ini, JKW-JK berjanji akan memperkuat kehadiran negara dalam reformasi sistem hukum dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Membaca janji itu dan setelah mengetahui sosok anggota kabinet, terutama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, arah agenda pembangunan dan penegakan hukum akan menjadi salah satu titik sentral menilai Kabinet Kerja ke depan.
Politik legislasi
Apabila ditelusuri agenda penegakan hukum yang tertuang dalam visi-misi JKW-JK, pasangan ini menawarkan 42 agenda prioritas. Dari semua agenda itu, sekitar 25 persen terkait legislasi. Melihat perjalanan pembangunan hukum selama ini, perhatian besar terhadap politik legislasi menjadi sangat masuk akal.
Bagaimanapun, jika mau mengakui secara jujur, karut-marut wajah penegakan hukum salah satu penyebab utamanya masalah substansi hukum yang berasal dari agenda legislasi. Dalam ranah pemberantasan korupsi, misalnya, substansi hukum (legal substance) dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memberi kontribusi besar atas kegagalan menghentikan gurita praktik korupsi. Selain banyak yang kabur, substansi hukum mudah terjebak dalam pertentangan antara yang satu dan yang lainnya. Bahkan, sebagian pihak menengarai substansi demikian sengaja dibuat (by design) untuk memudahkan berkelit bagi mereka yang terjerat kasus korupsi.
Celakanya, dalam praktik, substansi hukum yang lemah bertaut dengan komitmen sebagian penegak yang tidak memihak kepada agenda penegakan hukum. Substansi hukum yang bermasalah tidak hanya memudahkan melakukan segala macam bentuk penyimpangan, tetapi juga memberi kesempatan luas kepada penegak hukum untuk ”menggorengnya” sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Karena itu, adanya komitmen JKW-JK memberantas mafia peradilan dan penindakan tegas terhadap korupsi di lingkungan peradilan tak mungkin dilakukan secara optimal tanpa memberikan perhatian serius soal legislasi. Sangat mungkin, untuk menjalankan agenda tersebut, akan dilakukan peninjauan ulang substansi sejumlah UU.
Soal legislasi menjadi begitu penting karena secara eksplisit JKW-JK berjanji untuk membentuk regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi. Dalam soal ini, dikemukakan regulasi yang akan dibentuk, di antaranya RUU Perampasan Aset, RUU Perlindungan Saksi/Korban, RUU Kerja Sama Timbal Balik (MLA), dan RUU Pemberantasan Transaksi Tunai. Bahkan, dari segi urgensi, meski tidak disebut eksplisit, agenda pemberantasan korupsi akan sangat terbantu jika segera hadir substansi undang-undang tentang pembalikan beban bukti atau pembuktian terbalik.
Selain soal tersebut, salah satu poin penting yang akan diprioritaskan dalam politik legislasi JKW-JK adalah menyediakan forum untuk melibatkan masyarakat dalam proses legislasi dan penyediaan akses terhadap proses dan produk legislasi. Komitmen menyediakan forum ini akan menjadi sebuah langkah maju dalam melembagakan partisipasi publik. Sejauh ini, peran serta masyarakat tak ubahnya seperti teriakan di tengah padang pasir. Padahal, UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan secara tegas menyatakan partisipasi merupakan hak masyarakat. Padahal, jika pada salah satu sisi partisipasi dikatakan sebagai hak masyarakat, di sisi lain penerimaan partisipasi menjadi kewajiban bagi pembentuk UU.
Banyak pihak percaya, jika forum itu terbentuk, suara masyarakat akan menjadi pertimbangan penting dalam pembentukan UU. Bilamana forum ini terbentuk, paling tidak pengalaman pemaksaan mayoritas politisi di DPR dalam pembahasan dan persetujuan RUU Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD tidak terulang lagi.
Meski demikian, forum tersebut harus dibuat dalam jangkauan yang lebih luas, yaitu tak hanya sebatas dalam pembentukan UU, tetapi juga dalam peraturan perundang-undangan di bawah UU. Bagaimanapun, partisipasi diperlukan pula dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat untuk produk hukum yang lebih rendah daripada UU.
Terkait dengan KPK, dukungan penguatan menjadi agenda mendesak. Sebagai salah satu titik sentral dalam memberantas korupsi, dukungan optimal dari pemerintah sangat dibutuhkan. Segala keterbatasan anggaran dan sumber daya lainnya mesti segera dipecahkan agar KPK bisa lebih optimal mengurangi laju praktik korupsi. Dalam negara dengan praktik korupsi yang masif, dukungan pemerintah (termasuk parlemen) menjadi tambahan energi luar biasa.
Seperti ditulis Jon ST Quah (2013), indikator untuk menilai dukungan (political will) pelaku politik atas lembaga anti korupsi, yakni anggaran seharusnya proporsional dengan jumlah penduduk dan rasio jumlah staf harus proporsional pula dengan jumlah penduduk.
Selain itu, Quah juga mengingatkan, lembaga semacam KPK mesti didukung produk legislasi komprehensif yang memungkinkan untuk lebih optimal dalam desain besar pemberantasan korupsi. Namun, untuk kebutuhan saat ini, agenda legislasi (berupa revisi) UU KPK harus dihitung betul dengan cermat. Bisa saja maksud baik untuk memperkuat KPK dengan cara merevisi UU yang ada, tetapi yang dihasilkan adalah pembatasan-pembatasan terhadap KPK. Bagaimanapun, meski sebagian anggota DPR adalah wajah-wajah baru, kekhawatiran banyak pihak akan upaya membatasi KPK sama sekali belum hilang.
Sebagai sebuah lembaga produk reformasi yang menjadi harapan besar dalam agenda pemberantasan korupsi, sikap yang harus dilakukan adalah menolak segala macam upaya yang dapat melemahkan KPK. Sikap demikian pun secara eksplisit dituangkan dalam visi-misi JKW-JK. Meski demikian, kewaspadaan pemerintah tak hanya terbatas pada upaya revisi UU KPK, tetapi juga terhadap semua produk legislasi atau RUU yang berpotensi memangkas kewenangan KPK.
Sekiranya memang memiliki komitmen untuk mempertahankan otoritas KPK, masyarakat tidak perlu takut dengan segala kemungkinan manuver di DPR. Sebagai salah satu pemegang kuasa legislasi, berdasarkan Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945, pemerintah dapat menarik diri dari pembahasan dan persetujuan bersama sebuah rancangan undang-undang (RUU) jika substansinya melemahkan KPK.
Institusi kunci
Dari sisi pemerintah, agenda pembangunan hukum dan penegakan hukum akan sangat ditentukan oleh institusi kunci, yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kejaksaan, dan kepolisian. Untuk soal-soal hukum secara umum, Menteri Hukum dan HAM akan menjadi salah satu kunci keberhasilan agenda hukum ke depan.
Ketika diundang Presiden Jokowi ke istana, Rabu (22/10), saya sempat mengemukakan bagaimana langkah strategis menanggulangi banyaknya aturan hukum yang tumpang tindih. Dalam kesempatan itu, saya sampaikan harus ada komitmen memperkuat kembali peran Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Intinya, Presiden harus memberikan dukungan politik yang kuat agar BPHN kembali menjadi dapur hukum nasional.
Bahkan, karena memandang tumpang tindih aturan menjadi salah satu penyebab utama karut-marut wajah hukum di negeri ini, saya sempat menawarkan agar fungsi BPHN dipindahkan ke kantor presiden. Dengan gagasan ini, semua peraturan perundang-undangan yang keluar dari pihak eksekutif harus lolos telaah substantif dari lembaga ini, terlebih dulu sebelum disahkan dan diundangkan.
Jika ini dilakukan, kemungkinan adanya substansi peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan bisa diminimalkan.
Tidak hanya itu, ihwal RUU yang sedang dibahas bersama di DPR dan/atau DPD, sebelum memasuki tahap paripurna untuk mendapatkan persetujuan bersama Presiden dan DPR, menteri yang ditunjuk mewakili presiden dalam pembahasan harus menyampaikan perkembangan terakhir. Penyampaian perkembangan dan perubahan substansi RUU perlu diketahui untuk menentukan apakah presiden akan menyetujui atau tidak sebuah RUU yang telah dibahas bersama.
Bilamana hal ini dilakukan, tidak ada lagi substansi RUU yang disetujui di luar pengetahuan presiden. Dengan demikian, presiden tidak perlu mengambil langkah tidak menandatangani sebuah RUU yang disetujui bersama atau menggunakan hak subyektif (dengan menerbitkan perppu) untuk mencabut keberlakuan sebuah UU. Paling tidak, cerita miring di sekitar persetujuan RUU Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD di ujung kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak terulang pada masa pemerintahan JKW-JK.
Sementara itu, untuk dua institusi kunci lain (kejaksaan dan kepolisian), yang perlu dipastikan adalah melakukan dan melanjutkan pembaruan internal. Bahkan, dalam konteks relasi dengan KPK, duet JKW-JK harus memastikan sinergi antara kepolisian dan kejaksaan dengan KPK. Jika hal itu dapat dipastikan, waktu ke depan kita tidak perlu melihat lagi terjadi perseteruan di antara lembaga penegak hukum. Di atas itu semua, para anggota kabinet perlu memastikan 42 agenda hukum prioritas terlaksana.
Hanya dengan cara itulah, harapan rakyat terus terpelihara. Selamat bekerja!