Cerita Pilu Penjual Nasi Saeni dan Kritik Atas Intoleransi

Author : Administrator | Monday, June 13, 2016 06:01 WIB
screenshot video Kompas TVSeorang ibu menangis saat dagangannya diangkut petugas Satpol PP Kota Serang, Banten, Jumat (9/6/2016).

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Saeni (53), pemilik warung makan di Kota Serang, Banten, hanya bisa menangis ketika dagangannya disita aparat Satuan Polisi Pamongpraja PP Pemkot Serang, Jumat (10/6/2016).

Saeni dianggap melanggar aturan dalam Surat Edaran Pemerintah Kota Serang mengenai larangan warung buka siang hari di Bulan Suci Ramadhan sebelum pukul 16.00 WIB.

Dalam video hasil liputan Kompas TV, tampak Saeni menangis sambil memohon kepada aparat agar dagangannya tidak diangkut. Namun, tangisan ibu tersebut tak dihiraukan. Aparat tetap mengangkut barang dagangan Saeni.

Dalam razia itu, petugas juga menertibkan puluhan warung makan yang buka siang hari. Semua dagangannya disita.

Sementara itu, beberapa pemilik warung beralasan buka siang hari karena tidak tahu ada imbauan larangan buka siang hari di bulanRamadhan. Sebagian lagi buka warung karena butuh uang untuk menghadapi Lebaran. Tayangan itu pun tersebar luas di tengah masyarakat melalui media sosial.

Sosok Saeni menjadi bahan perbincangan di kalangan para netizen. Sebagian besar bersimpati kepada Saeni.

Salah seorang netizen yang tinggal di Jakarta bernama Dwika Putra berinisiatif melakukan penggalangan dana untuk membantu para penjual makanan yang dirazia Satpol PP tersebut.

Lewat akun Twitter-nya, Dwika mengajak netizen untuk menyumbang melalui nomor rekening miliknya.

"Pukul 24.00 WIB kurang kemarin, saya langsung cari ATM buat kosongin rekening saya, saya sisakan Rp 400.000. Saya sharenomor (rekeningnya) kalau ada yang mau donasi untuk ibu itu silakan," ujar Dwika saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (11/6/2016).

Dwika mengatakan dia hanya berniat membantu seorang ibu yang kehilangan mata pencahariannya, tidak mau berpikir mengenai peraturan daerah yang memuat aturan untuk warung nasi itu. Dia juga tidak peduli dengan masalah agama yang terkandung di dalamnya.

"Saya cuma lihat ibu itu kehilangan mata pencahariannya setidaknya hari itu. Lihat kejadian itu saya mau bantu," ujar Dwika.

Dwika pun menuturkan bahwa, upaya penggalangan dana mendapat tanggapan positif. Bisa dikatakan, netizen bersatu padu untuk membantu sang ibu. Per pukul 12.00 WIB, Minggu (12/6/2016), Dwika sudah menutup donasi tersebut.

Dalam laporannya yang terbaru, Dwika menyebutkan telah menerima sebanyak 2.427 donasi. Total uang yang terkumpul sebanyak Rp 265.534.758.

Rencananya, bukan hanya Saeni yang akan diberi bantuan. Bantuan juga akan diberikan kepada penjual nasi lainnya yang menjadi terkena razia Satpol PP.

Menuai Kecaman

Aksi Satpol PP Pemerintah Kota Serang yang menyita barang dagangan Saeni pun menuai kecaman dari beberapa pihak. Mereka juga mengkritik Surat Edaran larangan berjualan makanan pada siang hari saat Ramadhan yang dikeluarkan oleh Pemkot Serang.

Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Muhammad Syafi' Ali atau yang biasa disapa Savic Ali menilai bahwa larangan warung buka siang hari di bulan suci Ramadhan oleh Pemkot Serang justru bisa merusak citra agama Islam dan mengganggu iklim toleransi di masyarakat.

Dengan larangan tersebut, kata Savic, seolah-olah Islam dicitrakan sebagai agama yang selalu melahirkan paksaan bagi setiap orang.

"Ini memperburuk citra islam yang membuat seolah-olah Islam ini adalah agama yang selalu memaksa orang," ujar Savic saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (11/6/2016).

Savic juga mengingatkan, Indonesia merupakan negara pluralistis yang masyarakatnya terdiri dari berbagai suku dan agama.

Mereka yang tidak beragama Islam dan tidak sedang berpuasa tentu membutuhkan makan pada siang hari Jika banyak warung dipaksa tutup, mereka yang tidak berpuasa akan kesulitan untuk mencari makanan.

"Saya kira ini juga akan merusak iklim toleransi. Ada banyak orang di indonesia butuh makan di siang hari karena misalnya mereka bukan beragama Islam atau tidak sedang berpuasa," ungkap dia.

Selain itu, dia juga mengatakan bahwa dengan adanya larangan tersebut, Pemkot Serang justru seolah meragukan keimanan umat Islam. Menurutnya, akan muncul anggapan bahwa dengan adanya warung yang buka menjadi pemicu seseorang untuk membatalkan puasanya.

"Ini masalah, menunjukkan seolah umat Islam itu keimanannya lemah sehingga jika ada warung buka seolah-olah membuat puasa menjadi batal. Apa mereka kira keimanan umat Islam itu hanya setebal kulit ari?" kata Savic.

Dia pun mempertanyakan dasar hukum Pemerintah Kota Serang dalam menerapkan aturan larangan warung buka siang hari di Bulan Suci Ramadhan.

Savic mengatakan bahwa tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia bisa menjadi dasar bagi peraturan daerah tersebut.

"Menurut saya itu tindakan yang tidak perlu. Pemkot Serang tidak punya kewenangan untuk menutup warung di bulan puasa. Dasarnya hukumnya apa? Kan tidak ada," tutur dia.

Sementara dalam hukum Islam, kata Savic, sama sekali tidak ada aturan yang melarang seseorang menjual makanan pada siang hari saat bulan puasa.

Jika alasannya toleransi, maka hal tersebut harus dilihat sebagai bagian dari seruan dakwah. Oleh karena itu tidak bisa dipaksakan.

"Pada dasarnya di Islam sendiri tidak ada larangan orang berjualan makanan di bulan puasa. Kalau mereka mengatasnamakan Islam, itu tidak ada dasarnya. Kalau mengatasnamakan toleransi, itu kan seruan dakwah jadi tidak bisa dipaksakan," kata Savic.

Sarat kepentingan politis

Savic memandang bahwa larangan warung buka siang hari di bulan suci Ramadhan oleh Pemkot Serang lebih bermuatan politis ketimbang urusan agama.

Menurut Savic, aturan tersebut terkesan sebagai bagian dari strategi politik sebuah kekuasan untuk memberi kesan kepada umat Islam agar disukai.

"Ini hanya strategi kekuasaan saja untuk merebut simpati masyarakat umat Islam supaya mereka disukai. Padahal di Islam sudah tidak ada aturan yang melarang orang jualan makanan saat bulan puasa," ujar dia.

Savic juga menyebut aturan pelarangan tersebut merupakan bagian dari unjuk kekuasaan yang tidak didasarkan pada upaya menciptakan situasi yang kondusif selama Bulan Ramadhan.

Pasalnya, upaya pelarangan yang dilakukan sudah melibatkan unsur-unsur kekuasaan aparatur pemerintahan, seperti satuan polisi pamong praja.

"Menurut saya aturan lebih kepada sebuah unjuk kekuasaan supaya dia terkesan islami. Saya juga tidak yakin kekuasaan yang melarang warung untuk buka ini Islami. Motifnya dasarnya lebih politik ketimbang agamawi," kata Savic.

Hal senada juga diutarakan oleh Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak. Menurut dia, kepentingan politis terlihat dari maraknya Surat Keputusan (SK) penutupan warung makan di daerah yang mendadak muncul menjelang bulan Ramadhan.

Dia mengatakan, biasanya kebijakan tersebut digunakan oleh sebagian kepala daerah yang seolah hendak menunjukan dirinya islami karena mengakomodasi kepentingan umat muslim di daerahnya.

"Padahal esensi puasa kan imsak, artinya menahan akan apa pun bentuk cobaan, dan bagi umat muslim yang punya keteguhan iman, menahan godaan dari itu semua merupakan esensi ibadah puasa," ujar Dahnil saat dihubungi Kompas.com pada Minggu (12/6/2016).

Harvested from: http://nasional.kompas.com/
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: