Dari Pulau Bunga ke Pulau Dewa

Author : Administrator | Tuesday, May 24, 2016 08:59 WIB
KOMPAS/HANDININGIlustrasi

 

Oleh: Chappy Hakim

Pada tahun 1961 ayah saya menulis sebuah buku yang diberi judul Dari Pulau Bunga ke Pulau Dewa.  Buku itu berisi semacam laporan perjalanan dari Pulau Bunga (Flores) ke Pulau Dewa (Bali).  

Perjalanan tersebut adalah sebuah tugas kedinasan dari Yayasan Kantor Berita Antara dalam meliput perjalanan dinas Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K),  pada kabinet Ali – Arifin (kabinet Ali Sastroamidjojo yang pertama), yang saat itu dijabat oleh Bapak MR. Muhammad Yamin.  

Perjalanan dinas Menteri itu sendiri dilakukan pada 24 Januari sampai dengan 2 Februari di tahun 1954.  Buku yang berujud “pocket-book”  diterbitkan oleh penerbit yang sangat terkenal di saat itu dalam urusan buku-buku bermutu yang berukuran saku,  Penerbit Djambatan namanya.   

Walaupun berangkat dari Jakarta, namun perjalanan dinas Menteri PP dan K  itu sendiri, hanyalah perjalanan yang dimulai dari Flores sampai dengan pulau Bali.  

Dari Flores sampai Bali dengan singgah di beberapa tempat, Menteri PP dan K beserta rombongan waktu itu menggunakan pesawat terbang khusus carteran, sebuah pesawat kecil bermesin dua,  de Havilland DH.114 Heron buatan Inggris.

Di akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980, ayah saya mulai mengumpulkan kembali buku-buku yang pernah ditulisnya untuk disimpan dalam lemari buku pribadi sebagai koleksi di rumah.  

Semua buku yang pernah ditulisnya, dengan mudah dapat dikumpulkan kembali, karena selain sebagian besar memang masih ada dalam arsip yang dikelolanya di rumah, beberapa buku lainnya masih mudah diperoleh di beberapa toko buku di Jakarta.  

Satu-satunya buku yang tidak berhasil dikumpulkan adalah buku yang berjudul Dari Pulau Bunga ke Pulau Dewa itu.  

Pada awalnya ayah saya menyimpan beberapa buku sebagai persediaan di rumah. Namun ternyata minat yang cukup besar dari teman dan kerabatnya  yang kerap datang ke rumah, telah menyebabkan pada akhirnya ayah saya sendiri tidak memiliki lagi buku itu. 

Sejak itulah ayah saya berusaha mencari kemana-mana termasuk ke jajaran toko buku bekas antara lain di kawasan Kramat Jakarta Pusat.  

Sampai akhir tahun 1980-an, ayah saya mulai mengeluh kepada siapa saja yang dianggapnya dapat membantu memperoleh kembali buku yang satu itu.  

Lebih kurang di tahun 1990 muncul teman ayah yang baru kembali dari Amerika Serikat mengabarkan kepada ayah saya bahwa tidak usah khawatir tentang buku Dari Pulau Bunga ke Pulau Dewa, karena paling tidak masih ada satu eksemplar yang tersimpan dengan baik di Washington DC.  

Buku itu tersimpan di Library of Congress , Washington DC Amerika Serikat, sebuah institusi budaya tertua milik pemerintah federal yang juga merupakan perpustakaan terbesar di dunia. 

Teman karib ayah saya berkata pada ayah saya dalam bahasa Belanda : “Uw boek bestaan nog steeds in  Library of Congress”.  Mudah-mudahan tidak salah tulis karena saya memang tidak bisa bahasa Belanda. 

Ayah saya cukup senang mendengarnya, walau kelihatan dari wajahnya  keinginan yang sangat besar  untuk tetap dapat melihatnya kembali.  

Saya sangat memaklumi, karena saat menulis buku tersebut, ayah saya telah menghabiskan banyak waktunya mencari referensi di perpustakaan yang terletak dalam Museum Gajah Jakarta Pusat.  

Referensi tersebut dibutuhkan dalam menuangkan tulisan-tulisan antara lain tentang Danau Kelimutu, Komodo, beberapa tentang perang Ubud yang saat itu hanya ada dalam literatur berbahasa Belanda di perpustakaan Museum Gajah. 

Demikianlah waktu terus berjalan dengan sangat cepat dan pada tahun 1992, saat saya mendapat promosi untuk jabatan Komandan Wing Taruna Akademi Angkatan Udara di Jogyakarta, ayah saya meninggal dunia.

Almarhum ayah saya dimakamkan di pemakaman Karet yang kemudian dipindahkan ke pemakaman Perintis Kemerdekaan di Tanah Kusir. 

Saya tidak pernah bisa melupakan wajah kecewa ayah saya yang telah begitu bersusah payah untuk dapat melihat dan memperoleh kembali , “Dari Pulau Bunga ke Pulau Dewa“ sebuah buku kesayangannya yang ditulisnya sendiri itu, dan tidak berhasil.

Pada saat saya meluncurkan sebuah buku tulisan saya sendiri di Jakarta pada tahun 2010, ternyata hadir pula  seorang bernama William Tuchrello. 

Dia memberikan kartu namanya dan saya sempat terperangah membaca bahwa dia adalah Director, Library of Congress, Southeast Asia, American Embassy Jakarta.  

Spontan saya langsung menanyakan kepada dia apakah saya bisa memperoleh keterangan bahwa buku ayah saya “Dari Pulau Bunga ke Pulau Dewa” yang dikatakan oleh temannya terkoleksi di Library Congress itu benar adanya.  

Dia memberikan waktu kepada saya satu minggu untuk mengecek ke Amerika dan akan segera memberitahukan kepada saya jawabannya. 

Tidak sampai satu minggu, saya di telepon oleh William yang mengatakan bahwa benar buku Dari Pulau Bunga ke Pulau Dewa tersimpan dengan baik di perpustakaan Library of Congress.   Betapa gembira hati saya mendengar kabar itu.

Singkat cerita, pada tanggal 24 Agustus 2012 dengan difasilitasi William Tuchrello saya akhirnya dapat tiba di Library of Congress di Washington DC dan diterima langsung oleh seorang Professor asal China yang mengepalai divisi Asian Collection.  

Sebuah perpustakaan besar dan megah yang menyimpan tidak kurang dari 140 juta judul buku.   Di situ saya diperlihatkan tidak hanya buku Dari Pulau Bunga ke Pulau Dewa, akan tetapi juga beberapa judul buku lainnya dari karya tulisan ayah saya.  

Khusus buku Dari Pulau Bunga ke Pulau Dewa saya diperkenankan untuk memfoto copynya di ruangan perpustakaan untuk dapat dibawa pulang ke Indonesia.  

Kini buku tersebut tengah saya salin ulang untuk dapat menerbitkannya kembali. Masih ada keraguan dalam proses ini karena apakah akan ditulis sesuai dengan ejaan aslinya saat ditulis pada tahun 1961, ataukah harus disesuaikan dengan ejaan yang kini sudah disempurnakan.  

Untuk hal ini saya masih membicarakannya dengan beberapa orang lain sebelum mengambil keputusan tentang hal tersebut.  

Kegembiraan saya melihat kembali buku ayah saya ini telah menyebabkan saya selalu menceritakan kepada siapa saja, terutama para pencinta, pembaca dan terutama  penulis buku dimana saja.  

Karena kerap saya bercerita berulang-ulang tentang hal ini, maka ada juga yang kemudian membuat beberapa orang menjadi keliru persepsi tentang hal itu.  

Keliru persepsi tentang pemahaman saya bahwa apa yang serba luar negeri itu hebat, semua apa yang serba  Amerika itu hebat.  

Sangat jauh dari itu, saya sama sekali tidak menganggap semua apa yang luar negeri itu hebat, semua apa yang Amerika itu hebat, sama sekali tidak. 

Saya hanya sekedar mengagumi saja betapa buku yang diterbitkan di Indonesia pada satu ketika, setelah sekian waktu berjalan dapat lenyap tidak ada bekasnya.  

Sementara dalam kurun waktu yang lebih dari 50 tahun berlalu saya dapat melihat buku tulisan ayah saya itu dalam keadaan “kelihatan masih baru” tersimpan dipelihara dengan rapi dan teratur di negara orang.  

Tidak hanya itu, karena menurut penjelasan dari asisten sang Kepala Divisi Asia di Library of Congress (LOC), begitu sebuah buku masuk dalam perbendaharaan LOC, maka dia akan tersimpan baik dan rapi sampai “beyond generation”.

Dia sempat memperlihatkan pula beberapa daun lontar bertuliskan aksara sansekerta lebih 100 tahun lalu dari Indonesia  yang dikoleksi disana. 

Saya sekedar mengagumi saja betapa penghargaan terhadap karya tulis di LOC sangat spektakuler. Mengagumi sambil mulai berkhayal bahwa satu ketika kita juga harus bisa menghargai karya tulisan kita sendiri untuk disimpan “beyond generation” di negeri sendiri.  

Mengkhayal alangkah malunya kita jika seterusnya tulisan-tulisan kita sendiri tidak ada yang menyimpannya dengan baik tetapi justru disimpan dan dipelihara dengan baik di negara lain. 

Teringat dan terngiang kembali  cerita Profesor Salim Said pada saat bergiat di Dewan Film Indonesia, beliau baru tahu bahwa arsip terlengkap dari semua film yang pernah dibuat Indonesia itu ternyata adanya tersimpan di Negeri Belanda.  

Betapa Profesor Salim Said mengatakan bahwa kita sendiri tidak memiliki atau menyimpan arsip film nasional selengkap dan serapi seperti yang disaksikannya di Negeri Belanda. 

Sayup-sayup kemudian muncul kembali kata-kata berkesan yang pernah saya baca entah dimana, “a wise man knows there is something to be learned from everyone”.  

Sejatinya kita memang harus dapat belajar dari siapa saja, di mana saja dan kapan saja dan pasti tanpa terbelenggu dengan pemahaman sesat bahwa  kagum terhadap sesuatu yang baik tidak harus kemudian berarti memiliki pemahaman bahwa apa yang serba luar negeri itu hebat.

Jakarta 23 Mei 2016

Editor : Wisnubrata
 
Harvested from: http://nasional.kompas.com/
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: