Polisi berpakaian sipil mengarahkan pistol ke arah terduga pelaku di luar sebuah kafe setelah ledakan menghantam kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari 2016. Serangkaian ledakan menewaskan sejumlah orang, terjadi baku tembak antara polisi dan beberapa orang yang diduga pelaku. |
JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana membuat penjara khusus bagi terpidana kasus terorisme dinilai tidak cukup mengubah paham radikalisme.
Berkumpulnya para terpidana pada satu tempat yang sama dikhawatirkan membuat pengaruh radikal semakin kuat.
"Penjara tidak bisa mengubah, karena itu soal pemikiran. Bahkan, mengirim ulama untuk mengajarkan agama dan menggelar pengajian bersama juga kurang efektif," ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (18/1/2016).
Menurut Bonar, digabungnya para teroris dalam satu penjara yang sama bisa jadi akan melahirkan kelompok-kelompok radikal baru.
Bahkan, aksi teror dapat direncanakan dari dalam penjara.
Bonar mengatakan, yang terpenting adalah memisahkan para narapidana terorisme dari lingkungannya yang lama.
Saat keluar dari penjara, mantan napi kasus terorisme seharusnya dipindahkan dari tempat tinggal sebelumnya.
"Rencana membuat penjara khusus ini salah satu bentuk preventif, tapi yang lebih perlu adalah memotong pengaruh kelompok radikal pada dirinya," kata Bonar.
Sebelumnya, menanggapi wacana lapas khusus kasus teroris, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyatakan tidak setuju.
Menurut Kalla, akan sangat membahayakan jika para pelaku teror dikumpulkan dalam satu tempat.
Ia menilai, kasus pengeboman dan penyerangan di kawasan dekat Sarinah yang dilakukan residivis, pada beberapa waktu lalu, membuktikan bahwa ada sistem yang perlu diperbaiki.
Selain hukuman, Kalla juga menekankan mengenai perlunya rehabilitasi terhadap pelaku teror.