Nenek Asyani, (70), saat berada di rumahnya, Dusun Krastal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situbondo Jawa Timur, Selasa (17/3/2015). |
JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah lima bulan menjabat Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly menggulirkan wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang dinilainya diskriminatif terhadap para pelaku kejahatan korupsi, narkotika, dan terorisme. PP itu mengatur tentang pemberian remisi.
Menurut dia, hak pelaku kejahatan luar biasa tersebut untuk memperoleh remisi tidak boleh dibedakan dengan pelaku kejahatan biasa. (Baca: Remisi untuk Koruptor Jangan Disamakan dengan Maling Ayam)
"Ini menjadi sangat diskriminatif. Ada orang yang diberikan remisi, ada yang ditahan. Padahal prinsip dasar pemberian remisi pada Undang-undang nomor 12 tahun 1995 itu hak. Jadi napi punya hak remisi, punya hak pembebasan bersyarat, punya hak pendidikan untuk mendapat pelayanan. Hak itu ada," ujar Yasonna.
PP No 99 tahun 2012 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengatur syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat (PB) untuk terpidana korupsi, narkoba, terorisme, kejahatan HAM berat serta kejahatan transnasional yang terorganisasi. (Baca: Busyro: Koruptor Pantas Dapat Diskriminasi)
Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa untuk narapidana korupsi dapat diberikan remisi dengan syarat turut membantu penegak hukum untuk membongkar kejahatannya (whistle blower) dan telah membayar lunas uang pengganti serta denda sesuai dengan perintah pengadilan.
Wacana yang digulirkan Yasonna adalah mengubah persyaratan pemberian remisi untuk terpidana koruptor. Ia juga menyoroti aturan pemberian remisi bagi koruptor harus memperoleh persetujuan KPK atau kejaksaan sebagai pihak penyidik dan penuntut.
Koruptor memang harus didiskriminasi
Pernyataan tersebut menuai kecaman keras dari sejumlah pihak. Bahkan, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas menilai, koruptor memang harus didiskriminasi.
"Fakta menunjukkan terdapatnya jenis kejahatan khusus misalnya terorisme dan korupsi. Untuk kejahatan ini justru perlu didiskriminasi sebagai bentuk diskriminasi positif," kata Busyro.
Menurut Busyro, pemidanaan bagi pelaku korupsi adalah hal yang wajar. Ia pun mempertanyakan komitmen pemerintah yang ingin memberantas korupsi tetapi justru mengobral remisi.
"Dari teori pemidanaan, diskriminasi adalah wajar. Maka aneh jika pemerintah berkomitmen memberantas korupsi tapi tetap permisif dalam mengobral remisi untuk koruptor sebagai penjahat besar," jelas Busyro.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar menilai, pemerintah terlalu mengistimewakan koruptor jika merevisi PP tersebut. Menurut dia, pengetatan pemberian remisi yang diatur dalam PP tersebut telah menguntungkan koruptor. (Baca: Memiskinkan Koruptor Lebih Baik daripada Perketat Remisi)
"PP 99 sudah menguntungkan koruptor. Kalau mau revisi untuk apa? Kalau untuk memudahkan koruptor dapat remisi, ini namanya kejahatan berkedok hukum," kata Haris.
Menurut Haris, pelaku kejahatan korupsi sudah cukup mendapatkan keistimewaan dengan mendapatkan kamar yang layak, air bersih, dan menerima kunjungan keluarga.
Haris mengatakan, korupsi termasuk kejahatan luar biasa yang penanganan hukumnya juga harus luar biasa.
"Namanya penjahat ya memang harus didiskriminasi alias dikurangi haknya," kata Haris.
Ironi Nenek Asyani
Wacana pelonggaran pemberian remisi bagi pelaku kejahatan luar biasa ini menjadi ironi jika dibandingkan dengan nasib Nenek Asyani, warga Situbondo yang dituntut 15 tahun karena dituduh mencuri kayu jati di lahan milik Perhutan. Bahkan, pada tanggal 15 Desember 2014 lalu, Nenek Asyani bersama tiga tersangka lainnya, yakni Ruslan (23), Cipto (43), dan Abdus Salam (23), dijebloskan ke lembaga pemasyarakatan untuk menjalani proses persidangan. (Baca: Asyani, Gambaran Proses Hukum yang Timpang)
Setelah sekitar tiga bulan dibui, permohonan penangguhan penahanan Asyani bersama tiga terdakwa tersebut akhirnya dikabulkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Situbondo.
Dengan kondisi ini, Haris menilai, Yasonna kurang cermat melihat fakta sosial bahwa ada golongan yang lebih layak diberi keringanan hukuman dibandingkan para koruptor. (Baca: Nenek Asyani Takut Dihukum 15 Tahun Penjara)
"Ada ribuan orang lain yang disemena-menakan oleh hukum secara tidak adil. Dia (Yasonna) tidak kelihatan bekerja memperbaiki situasi ini. Malah ngurus koruptor," kata Haris.
Nawacita yang digadang-gadang Jokowi untuk memberantas korupsi dan menegakkan hukum pun dipertanyakan. Apakah pemerintah benar-benar serius membuat jera para koruptor?
"Nawacita itu cuma menghabiskan kertas dan tinta saja. Mimpi!" kata Haris.