indra.tramp" |
KOMPAS.com - Era pemerintahan Presiden Joko Widodo diawali dengan kegaduhan politik pemilihan kepala Polri.
Hingga akhir tahun 2015, sejumlah kegaduhan terjadi mewarnai situasi politik di Tanah Air.
Kegaduhan muncul tidak hanya dari dalam pemerintahan, tapi juga dari gedung parlemen.
Berikut lima kegaduhan politik yang paling menyedot perhatian publik sepanjang tahun ini:
1. Budi Gunawan Kapolri
Tahun 2015 dibuka dengan kegaduhan tentang pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Jokowi mengusulkan pencalonan mantan ajudan Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri itu kepada DPR pada 9 Januari 2015.
Dalam hitungan hari, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Budi sebagai tersangka dugaan penerimaan gratifikasi.
Episode Cicak versus Buaya pun terulang. Polisi menetapkan dua pimpinan KPK sebagai tersangka. Budi juga mengajukan gugatan praperadilan atas status tersangka pada dirinya. Budi memenangi gugatan itu dan status tersangka dibatalkan.
Sementara itu, DPR menyetujui pencalonan Budi sebagai Kapolri. Akan tetapi, Jokowi urung melantik Budi sebagai pemimpin Korps Bhayangkara karena besarnya penolakan masyarakat terhadap Budi.
Jokowi kemudian mengajukan calon lain, yakni Komisaris Jenderal Badrodin Haiti. Setelah melalui proses uji di parlemen, Badrodin dilantik menjadi Kepala Polri. Adapun Budi akhirnya menjadi Wakil Kepala Polri.
2. Kriminalisasi KPK
Penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka memunculkan perlawanan dari lembaga kepolisian.
Di tengah kontroversi status Budi Gunawan, polisi menetapkan Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagia tersangka.
Samad ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen dan paspor atas nama Feriyani Liem tahun 2007.
Sebelumnya, beredar di internet foto Abraham Samad dengan seorang perempuan yang diketahui sebagai Feriyani di tengah ketegangan kasus Budi Gunawan. Abraham juga menjadi tersangka kasus penyalahgunaan wewenang.
Sementara, Bambang Widjojanto menjadi tersangka kasus keterangan palsu dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi tahun 2010 saat Bambang masih menjadi pengacara.
Abraham dan Bambang yang dikenal “galak” dalam penindakan kasus korupsi pun akhirnya lengser sebagai pimpinan KPK karena kasus hukum yang disangkakan pada keduanya.
Selain Abraham dan Bambang, penyidik KPK Novel Baswedan juga menjadi tersangka dalam kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian terhadap tersangka pencuri burung pada tahun 2004.
Hingga akhir 2015, kasus Bambang dan Abraham tak jelas kelanjutannya.
3. Hakim Sarpin, Budi Gunawan, dan Komisioner Komisi Yudisial
Sarpin Rizaldi, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta, memutuskan bahwa penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK tidak sah.
Putusan sidang praperadilan ini memutus kelanjutan kasus Budi Gunawan di KPK.
Putusan sidang praperadilan ini menuai beragam komentar dari berbagai pihak termasuk Komisi Yudisial (KY).
Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki dan Komisioner KY Taufiqurrahman Syahruri menganggap putusan Sarpin tidak lazim, kontroversial, dan melampaui kewenangan.
Sarpin menganggap pernyataan dua komisioner KY mencemarkan nama baiknya. Ia melaporkan keduanya ke polisi.
Suparman dan Taufiqurrahman pun menjadi tersangka. Kegaduhan belum usai. Kedua komisioner KY melaporkan balik Sarpin ke polisi dengan alasan yang sama: pencemaran nama baik.
Kasus Sarpin vs Komisioner KY yang bermula dari perkara Budi Gunawan belum selesai hingga akhir tahun ini.
4. Pimpinan DPR bertemu Donal Trump
Di semester kedua 2015, pimpinan DPR digoyang oleh dua kasus pelanggaran etika. Pada awal September 2015, Ketua DPR RI Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, diadukan karena pertemuan mereka dengan calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump, di New York.
Novanto dan Fadli tidak memenuhi dua panggilan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan atas kasus itu.
Di tengah wacana pemanggilan ketiga pada 19 Oktober 2015, tersiar kabar bahwa keduanya telah diperiksa secara diam-diam oleh dua pimpinan MKD, yakni Surahman Hidayat dan Sufmi Dasco Ahmad, pada 15 Oktober.
Hasil dari sidang tertutup MKD itu adalah Novanto dan Fadli divonis bersalah dan dianggap melakukan pelanggaran ringan.
5. Papa Minta Saham
Sepanjang November-Desember 2015, Novanto kembali menjadi sorotan setelah dilaporkan oleh Menteri ESDM Sudirman Said karena dugaan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden terkait renegosiasi kontrak karya PT Freeport Indonesia (PT FI).
Di media sosial kasus ini ramai diperbincangkan sebagai kasus papa minta saham, plesetan dari kasus penipuan mama minta pulsa melalui pesan singkat telepon selular.
Perkara ini muncul karena adanya rekaman pembicaraan antara Novanto, pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT FI Maroef Sjamsoeddin.
Dalam sidang terbuka MKD, Sudirman Said menyerahkan rekaman suara lengkap pertemuan itu sebagai bukti. Di hadapan MKD pula, Maroef menyebut rekaman itu ia buat untuk melindungi diri.
Novanto juga bersaksi di hadapan MKD, tetapi dalam sidang tertutup. Ia membantah tudingan Sudirman dan menyebut rekaman itu dibuat secara ilegal.
Ia akhirnya mengundurkan diri sebagai Ketua DPR.