Merintis Jalan Penyatuan Ramadhan

Author : Administrator | Thursday, July 18, 2013 12:59 WIB

Pengurus Nahdatul Ulama memantau hilal dari lantai 32 pusat perbelanjaan Season City, Jakarta, Senin (8/7/2013). Kementerian Agama memutuskan awal Ramadhan 1434 H jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013. Keputusan diambil dalam sidang isbat di Kementerian Agama. | TRIBUN / DANY PERMANA

 

KOMPAS.com - Hingga tahun ini, perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan masih terjadi. Padahal, sepanjang tiga hingga empat dasawarsa terakhir, Badan Hisab dan Rukyat (BHR) Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengupayakan kalender Hijriah tunggal yang diterima semua pihak. Seperti yang kita saksikan dalam Ramadhan 1434 H. Apa yang terjadi? Apakah kinerja BHR dan MUI dalam mewujudkannya tidak maksimal? Ataukah penyatuan kalender Hijriah hanyalah utopia, sekedar angan-angan dan harapan di hati sanubari umat Islam Indonesia tanpa ada harapan bisa terwujud?

Saat Kesepakatan Cisarua 2011 tercapai, konstelasi penetapan awal Ramadhan dan hari raya sudah cukup jelas. Seluruh ormas Islam menyepakati bahwa otoritas penetapan ada di tangan Menteri Agama. Mayoritas ormas, kecuali dua, juga menyepakati “kriteria” imkan rukyat revisi sebagai patokan sementara, sebagai sebuah titik temu (kalimatin sawa), meski harus mengorbankan sisi ilmiahnya.

Namun, semua pihak menyadari kesepakatan itu takkan berjalan sebelum setiap ormas menjalankan mekanisme internalnya guna mengesahkannya lewat forum tertinggi yang dimiliki.

LAPAN dan RHI

Akan tetapi, pasca Kesepakatan Cisarua, mereka yang terlibat justru masih saling menunggu sembari terus melanjutkan polemik tentang keabsahan hisab vs rukyat dalam berbagai kesempatan.

Dibutuhkan sebuah keberanian memunculkan terobosan baru, terobosan radikal yang mampu mengikis lapisan-lapisan pemahaman yang selama ini menutupi retakan-retakan di dasar penetapan awal Ramadhan dan hari raya versi masing-masing ormas. Terobosan tersebut idealnya mampu menciptakan situasi di mana mereka yang memedomani rukyat akan tetap menggunakannya dengan leluasa. Demikian juga pengguna hisab akan tetap bisa menggunakannya dengan nyaman.

Namun, di atas semuanya, baik menggunakan hisab atau rukyat, maka hasil akhirnya akan sama. Dalam konteks inilah kebutuhan akan sebuah kriteria ilmiah dan berterima bagi Indonesia di masa depan menjadi hal yang mutlak.

Sebuah kriteria yang ilmiah tentu saja harus berdasar pada fakta sains yang sudah melalui data-data rukyat, khususnya yang valid dan reliabel. Sebuah kriteria yang ilmiah juga harus mampu mendefinisikan hilal dengan jelas dan tidak bisa seperti yang selama ini terjadi, sehingga memiliki perbedaan tegas terhadap fase atau status-status Bulan yang lainnya.

Analoginya seperti waktu-waktu shalat. Meski seluruh waktu shalat hanya bergantung kepada kedudukan Matahari, namun kita dengan mudah membedakan waktu Dhuhur dan ‘Ashar ataupun antara waktu ‘Ashar dan Maghrib, karena batas-batasnya cukup jelas. Hal serupa pun diharapkan bisa diterapkan pada hilal, sehingga batasnya terhadap fase Bulan sabit ataupun terhadap Bulan pasca konjungsi non-hilal (yang hingga saat ini belum terdefinisi) menjadi jelas.

Fakta sains yang sudah berhasil dihimpun hingga saat ini mengindikasikan, saat berstatus hilaal, bukan hanya posisi Bulan dan Matahari yang menentukan, namun juga sifat optis atmosfer Bumi dan batas sensitivitas mata manusia. Dalam hal ini, hilal boleh dikatakan memiliki analog (qiyas) dengan cahaya fajar senyata (fajar shadiq) maupun cahaya senja senyata (syafaq). Masing-masing adalah penentu awal waktu shalat Shubuh dan Isya’. Menafikan atmosfer sama saja dengan menganggap waktu shalat Shubuh dan Isya’ tak perlu ada.

Sebagai konsekuensi lanjutan dari fakta sains ini, ada situasi di mana kedekatan posisi Bulan terhadap Matahari serta pembiasan dan hamburan/serapan cahaya Bulan oleh atmosfer yang mencapai maksimumnya saat Bulan menempati cakrawala membuat gemerlap cahaya sabit Bulan kalah jauh dibanding benderangnya cahaya langit senja (yang berasal dari Matahari) saat Matahari terbenam.

Dalam situasi tersebut, lengkungan sabit Bulan takkan teramati, meski di siang bolong sebelumnya lengkungan sabit Bulan itu sudah terlihat lewat teknik observasi khusus.
Fakta-fakta sains ini yang kemudian perlu diterjemahkan lebih rinci menjadi kriteria.

Jika merujuk model matematis yang baku, cukup banyak variabel yang harus dimasukkan dalam upaya membentuk kriteria yang paling dekat dengan kondisi senyatanya. Namun, dalam batas-batas tertentu yang terjaga akurasinya dan tetap diperkenankan secara ilmiah, variabel-variabel tersebut dapat diminimalisir sehingga kriteria dapat disederhanakan hanya berdasarkan elemen geometris Bulan.

Namun, dalam hal ini perlu dicermati riset Bradley Schaefer (1996), yang menyimpulkan bahwa sebuah kriteria tak bisa hanya terdiri dari satu variabel. Sebab, konsekuensinya kriteria itu bakal memiliki zona ketidakpastian sangat besar hingga melingkupi sekujur Bumi.

Padahal, sebuah kriteria yang baik harus memiliki zona ketidakpastian sekecil mungkin secara statistik.  Oleh karena itu, kriteria yang baik seyogyanya terdiri dari minimal dua variabel yang masih saling terkait.

Usulan-usulan kriteria yang baru guna menyubstitusi “kriteria” imkan rukyat revisi sebenarnya sudah ada. Thomas Djamaluddin (2009) misalnya, mengusulkan kriteria LAPAN dalam bentuk: beda tinggi Bulan-Matahari lebih kurang 4 derajat dan elongasi Bulan-Matahari lebih kurang 6,4 derajat. Kriteria ini berpangkal dari kriteria Ilyas yang diperluas yang digabungkan dengan data elongasi terkecil menurut ICOP.

Di sisi lain, Ma’rufin Sudibyo dkk (2009) juga mengusulkan kriteria RHI yang terdiri dari beda tinggi Bulan-Matahari (aD) dan selisih azimuthnya (DAz) sebagai pertidaksamaan kuadrat: aD leih kurang 0,099 DAz2 – 1,490 DAz + 10,382. Kriteria ini didasarkan atas data RHI hingga kini dan menawarkan juga batas yang jelas antara hilaal dengan Bulan sabit, yang terjadi pada beda tinggi Bulan-Matahari ? 10 derajat.

Peta jalan

Dengan data dan usulan kriteria penyubsitusi sudah tersedia, bagaimana langkah-langkah menuju penyatuan kalender yang diidam-idamkan itu? Di sinilah Susiknan Azhari menawarkan langkah-langkah yang menarik untuk ditindaklanjuti, dengan mengambil analogi pada perumusan kompilasi hukum Islam yang kini mendasari ketentuan-ketentuan pernikahan dan pewarisan bagi Umat Islam di Indonesia.

Dengan eksistensi empat mazhab Sunni di Indonesia, yakni Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi, awalnya terasa sangat sulit bahkan nyaris mustahil untuk mengompilasi pokok-pokok pernikahan dan pewarisan karena setiap mazhab memiliki pendapatnya masing-masing. Namun, dengan upaya sungguh-sungguh, berkelanjutan, dan dalam koridor yang jelas, kompilasi tersebut pada akhirnya berhasil diwujudkan dan menjadi panduan bagi semua.

Alur semacam itu patut ditiru untuk menyatukan kalender Hijriah di Indonesia. Yang penting, ada naskah akademik yang bisa dibahas dan dikembangkan bersama secara berkelanjutan.

Selain itu, juga dibutuhkan peta jalan (road map) dengan target-target yang jelas dan deskriptif untuk membawa langkah penyatuan ini sampai sejauh mana. Dengan sifat kalender yang elitis (top down).

Dalam arti, warga sebuah ormas pada umumnya bakal mengikuti apa yang diputuskan elit-elitnya, maka upaya penyatuan dengan peta jalan dan pembahasan berkelanjutan ini menjadi lebihs ederhana. Karena cukup dengan mempertemukan elit-elit setiap ormas secara rutin untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi dalam membicarakan daftar masalah yang hendak dikaji dan dipecahkan bersama-sama.

 

Harvested from: http://ramadhan.kompas.com/read/2013/07/18/1001075/Merintis.Jalan.Penyatuan.Ramadhan.
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: