(Antara/ Widodo S Jusuf)
|
VIVAnews - Pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia, Effendi Gazali mengajukan uji materi Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi. Dia menilai Pilpres setelah Pemilu legislatif merupakan pemborosan.
Effendi pun menggugat beberapa Pasal dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 yakni Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112.
Dalam permohonannya, Effendi beranggapan bahwa pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum, DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan Pasal 22E ayat 1 UUD 1945. Effendi menilai dengan dua kali pelaksanaan Pemilu, maka dana untuk menyelenggarakan pemilu akan menjadi lebih boros.
"Seharusnya dana itu digunakan untuk memenuhi hak-hak konstitusional lain warga negara," ujarnya di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, 20 Februari 2013.
Selain itu, dengan pemilu yang tidak serentak maka kemudahan warga negara untuk melaksanakan hak pilihnya secara efisien, terancam. "Hak pilih dan kemampuan berpolitik warga negara akan mengalami kerugian konstitusional jika Pasal-pasal dalam Undang-Undang ini masih diberlakukan," kata dia.
Jika pemilu presiden dan wakil presiden dengan Pemilu legislatif dilaksanakan secara serentak, maka pemilih akan menggunakan hak pilihnya secara cerdas dan efisien.
"Jadi kalau kita yakin memilih presiden tertentu, kita juga akan memilih calon legislatif dari partai yang sama dengan presiden yang kita pilih. Kita juga bisa memilih legislatif dari partai tertentu, dan memilih presiden dari partai lain. Itu hanya bisa terjadi kalau Pemilu presiden dan legislatif serentak," ungkap dia.
Keuntungan dari pemilu serentak lainnya adalah setiap partai politik bisa mengajukan calon presiden. "Atau partai-partai politik bisa bersama-sama mengusulkan, jadi tidak mesti satu partai satu calon presdien," tegas dia.