SELAMA ini, aparat hukum baik polisi maupun jaksa, memiliki kewenangan luar biasa untuk menentukan apakah sebuah kasus harus dilanjutkan hingga pengadilan atau tidak. Terlepas kuat atau tidaknya bukti, polisi dan jaksa memiliki kekuasaan untuk men-tersangkakan dan menahan seseorang. Untuk itulah, muncul usulan membatasi kekuasaan tersebut dengan dirancangnya RUU HPP. Seperti apa?
Komisi Hukum Nasional (KHN) mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) ke pemerintah. Berdasarkan RUU tersebut, HPP akan memiliki wewenang untuk menetapkan atau memutuskan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, bahkan penyadapan yang dilakukan polisi atau jaksa.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy O. S. Hiariej mengatakan bahwa berdasarkan Pasal 17 KUHAP, penangkapan dan penahanan dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga kuat melakukan suatu tindak pidana. Sehingga polisi dan jaksa harus yakin bahwa seseorang yang dicurigai adalah pelaku kejahatan yang sesungguhnya.
"Demikian pula dalam penanganan narapidana di lembaga pemasyarakatan (Lapas)," kata Eddy dalam diskusi bertajuk HPP Dalam Konteks Sistem Peradilan Pidana di Hotel Bidakara, Rabu (27/11).
Namun dalam proses pengadilan dan penyelidikan yang terjadi, Eddy melanjutkan bahwa aparat penegak hukum belum dapat memenuhi hak-hak para tersangka yang menjalani proses penyelidikan. Oleh sebab itu, diperlukan suatu perangkat hukum yang dapat menjamin hak-hak tersangka atau terdakwa selama masa pemeriksaan hingga kelancaran proses di tingkat penyidikan hingga penahanan.
Dalam pemaparannya, Eddy menjelaskan bahwa HPP akan memiliki wewenang untuk membatalkan atau menangguhkan penahanan, serta menentukan sah atau tidaknya proses penangkapan hingga penahanan yang dilakukan oleh aparat hukum. Selain itu, HPP dapat memutusakan pemberian ganti rugi atau rehabilitasi bagi warga negara yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah.
”HPP dapat memutuskan layak tidaknya suatu perkara naik ke pengadilan dan menentukan pelanggaran terhadap hak tersangka apapun lainnya yang terjadi selama tahap penyidikan," ujar Eddy.
Adapun ketentuan beracaranya, Eddy menjelaskan dengan gamblang bahwa proses kerja HPP tidak jauh berbeda dengan hakim pada umumnya. Namun HPP akann memberikan putusan yang relatif cepat yaitu, maksimal 5 hari terhitung sejak menerima permohonan.
"Dalam memutus permohonan tersebut, HPP semua berkas yang relevan, kalau perlu memanggil saksi dan alat bukti yang relevan," pungkas dia.
Kewenangan dan tugas yang dimiliki HPP tersebut, tambahnya, tidak akan mengganggu proses penyidikan di kepolisian maupun di kejaksaan. "HPP tidaklah menunda proses penyidikan," imbuhnya.
Ketua Tim Penyusun RUU KUHAP, Andi Hamzah mengatakan bahwa tugas HPP yang diatur di dalam RUU itu akan mempercepat proses penyidikan yang dijalani oleh tersangka atau terdakwa. "Hakim yang bertugas nanti akan jemput bola ke lapas-lapas, memeriksa tersangka atau terpidana," kata Andi.
Dia juga menegaskan bahwa HPP tersebut bukanlah sebuah lembaga, namun merupakan penambahan peran hakim dalam meningkatkan kinerja hakim. "HPP ini berasal dari hakim-hakim biasa, tidak perlu merekrut hakim lagi," tukasnya.
Namun, Andi mengakui bahwa tantangan yang dihadapi dalam memberlakukan HPP tersebut adalah sulitnya mencari hakim yang terpercaya. "Masalahnya hakim yang jujur agar HPP ini tidak disalahgunakan dan tidak mudah disogok saat mendatangi tersangka," ujar dia.
Sebelumnya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, HPP yang diperkenalkan dalam RUU tersebut belum mampu memberikan jawaban yang mendasar atas keadaan yang selama ini terjadi. ”RUU itu pada dasarnya tidak berbeda dengan lembaga praperadilan yang hingga kini masih berjalan,” tutur Anggara Wahyu, Ketua ICJR beberapa waktu lalu.
Menurutnya, problem yang terjadi selama ini di bawah konsep praperadilan tidak lagi terulang di masa mendatang. "Salah satu masalah yang penting adalah pemberian wewenang penuh kepada penyidik untuk penetapan tersangka. Pemberian wewenang mutlak dalam hal penetapan tersangka tanpa ada peninjauan dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan justru akan mengulangi masalah yang terjadi saat ini dalam lembaga Praperadilan," kata Anggara.
Menurut ICJR konsep HPP tersebut masih sama seperti praperadilan yang memberikan kewenangan absolut kepada penyidik untuk menentukan keterpenuhan bukti permulaan yang cukup untuk menentapkan seseorang menjadi tersangka, dan bukti yang cukup untuk melakukan penahanan.
"Absolutnya kewenangan ini pada akhirnya menyebabkan kewenangan penyidik tidak dapat dikontrol, termasuk dalam menentukan pengenaan penahanan terhadap seseorang," ujarnya lebih lanjut.
ICJR memandang, setiap upaya tahapan proses dalam sistem peradilan pidana harus melalui peninjauan oleh pengadilan (judicial scrutiny) termasuk terhadap upaya paksa yang dilakukan penyidik. (ris/dod)