Author : Biyanto Dosen UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim | Friday, December 09, 2016
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim
RABU, 7 Desember 2016 pagi, gempa dahsyat berkekuatan 6,5 Skala Richter (SR) mengguncang Pidie Jaya, Aceh. Bencana tersebut menjadikan provinsi yang dikenal sebagai Serambi Mekkah ini rawan gempa.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan akan terjadi gempa susulan dengan kekuatan yang lebih rendah di sekitar Pidie Jaya. Hingga kini jumlah korban meninggal akibat gempa di Pidie Jaya mencapai 97 orang (KORAN SINDO, Kamis 8 Desember 2016). Jumlah ini diperkirakan terus bertambah karena masih banyak korban yang belum ditemukan.
Selain korban meninggal, juga ada ratusan korban luka-luka. Guncangan gempa juga mengakibatkan rusaknya infrastruktur kota, perkantoran, tempat ibadah, dan rumah penduduk.
Jika melihat rentetan musibah berupa banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung merapi, negeri ini sangat rawan bencana. Dalam waktu yang hampir bersamaan, sejumlah daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah juga dilanda banjir akibat luapan Sungai Bengawan Solo.
Rasanya sudah tidak terhitung berapa banyak kepala keluarga yang harus kehilangan tempat tinggal, harta benda, pekerjaan, gagal panen, dan bahkan anggota keluarganya. Tidak itu saja, bencana juga menghadirkan trauma yang mendalam bagi korbannya.
Termasuk warga Pidie Jaya dan sekitarnya yang trauma dengan bencana susulan berupa tsunami. Perasaan traumatik ini sangat beralasan karena Aceh pernah mengalami bencana tsunami yang menelan korban hingga ratusan ribu jiwa pada 26 Desember 2004 silam.
Rentetan musibah di negeri ini mengharuskan semua orang siap menghadapi bencana. Apalagi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengingatkan bahwa masih ada 21 dari total 68 gunung berapi yang tersebar di Nusantara berpotensi menghadirkan bencana.
PVMBG juga menyebut sejumlah rawan gempa. Itu berarti bencana alam berpotensi terjadi di sejumlah daerah. Dalam menghadapi rangkaian bencana inilah komitmen kita terhadap nilai-nilai kemanusiaan dipertaruhkan.
Jika merujuk pada kejadian sebelumnya, sebagai bangsa kita selayaknya berbangga. Tampak sekali bahwa nilai-nilai kegotongroyongan, kebersamaan, kedermawanan, dan empati sosial masih terjaga.
Tengoklah komitmen kemanusiaan saudara kita ketika terjadi musibah tsunami (Aceh, Mentawai), gempa bumi Bantul (Yogyakarta), banjir bandang Wasior, Manokwari (Papua Barat), letusan Gunung Merapi Sleman (Yogyakarta), dan banjir tahunan di daerah-daerah sekitar aliran Sungai Bengawan Solo.
Semua elemen masyarakat seperti tanpa komando melakukan aksi kemanusiaan. Dengan tanpa pamrih mereka menyumbangkan apa pun yang dimiliki untuk meringankan saudaranya yang tertimpa musibah. Kita juga menyaksikan relawan dari ormas turun langsung membantu korban bencana.
Berbagai kelompok anak muda mengumpulkan bantuan dari sumbangan pengguna jalan. Bahkan siswa dari sekolah juga turut menyumbang dengan tulus. Reaksi spontan berbagai elemen masyarakat menunjukkan betapa budaya gotong-royong yang menjadi ciri khas bangsa tidak tergerus oleh zaman.
Bencana alam juga telah menjadi media kelompok elite dan aktivis partai politik (parpol) untuk meraih simpati rakyat. Hampir semua parpol dan elite turun gunung untuk menunjukkan empatinya. Bahkan tidak jarang kita melihat ada aktivis parpol yang hilir mudik membawa bendera dan aksesori partainya sekadar untuk menunjukkan komitmen kemanusiaan mereka kepada rakyat yang sedang ditimpa musibah.
Sejumlah LSM dalam dan luar negeri serta relawan kampus juga tidak mau ketinggalan. Mereka bahu-membahu untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan. Selain menghimpun bantuan, mereka juga mendistribusikan berbagai kebutuhan korban bencana.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bencana alam merupakan tragedi kemanusiaan. Bencana alam tidak pernah pandang bulu. Bencana alam menerjang semua orang, tidak peduli etnik, agama, kaya dan miskin, pribumi dan nonpribumi, orang baik dan orang jahat, anak-anak dan orang tua, serta laki-laki dan perempuan.
Semua berpotensi menjadi korban bencana alam. Karena merupakan tragedi kemanusiaan, maka yang dibutuhkan adalah aksi-aksi kemanusiaan. Dibutuhkan tindakan cepat dan nyata dengan memobilisasi sumber daya untuk memberikan bantuan bagi yang tertimpa bencana.
Masyarakat di lokasi terjadinya bencana jelas sangat membutuhkan bantuan. Untuk sementara waktu, biarkanlah elit politik menjadikan bencana alam sebagai alat mengkritisi kebijakan pemerintah dan meraih simpati masyarakat.
Abaikan juga para ahli agama dengan logika teologisnya mengaitkan bencana alam dengan perbuatan dosa manusia. Begitu juga ahli ilmu alam yang meneliti faktor pemicu terjadinya bencana.
Semua penjelasan itu penting agar kita mampu melakukan koreksi total dalam menjalani kehidupan sehingga lebih dekat dengan Tuhan. Tragedi bencana alam juga menyadarkan kita betapa penting menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan alam sekitar.
Tapi sekali lagi yang mendesak dilakukan adalah menumbuhkan rasa empati sosial dalam bentuk tindakan nyata. Mari kita buktikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan masih melekat pada setiap anak bangsa.
Dalam Alquran dikemukakan ajaran yang sangat menyentuh hati nurani umat manusia. Allah SWT menyatakan bahwa barang siapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang itu telah membunuh orang lain, juga bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia membunuh manusia seluruhnya.
Sebaliknya dikatakan bahwa barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya (QS Al-Maidah: 32). Kalam Ilahi ini menunjukkan betapa penting menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan dengan cara memberikan pertolongan pada mereka yang tertimpa bencana alam.
Dengan menggunakan bahasa yang menyentuh nilai-nilai kemanusiaan, Allah menyamakan upaya menyelamatkan diri seseorang seperti menyelamatkan seluruh umat manusia. Sebaliknya, jika kita mengabaikan keselamatan seseorang, berarti sama dengan membunuh manusia secara keseluruhan.
Dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai komitmen bersama, rasanya bencana alam yang terjadi di penjuru Tanah Air bisa menjadi media untuk menyatukan seluruh elemen masyarakat. Semua orang harus bersatu padu melakukan aksi-aksi kemanusiaan untuk menolong saudara yang tertimpa musibah tanpa melihat latar belakang agama, etnik, dan golongan.