Author : Mohamad Sobary Esais, | Monday, March 20, 2017
Mohamad Sobary
Esais,
Anggota Penggurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi dan Promosi,
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat kesehatan.
Email: dandanggula@hotmail.com
KAPAN dunia ini bebas dari dilema moral? Mengapa begitu banyak langkah penting di dalam hidup ini selalu diliputi dilema? Mengapa kita harus berani mengambil pilihan buruk, yang dilematis, tidak nyaman, dan tak bisa dihindarkan sama sekali? Mengapa dalam situasi sulit ini kita tak bisa mengambil jarak, untuk bersikap netral?
Jawaban yang bisa membuat perasaan agak sedikit tenteram tak bisa ditemukan. Mengambil sikap netral bukan hanya terlalu mewah bagaikan kaum intelektual yang tinggal di menara gading, tetapi lebih buruk dari itu: sikap netral itu terkutuk. Hidup mungkin tak menghendaki sikap kebanci-bancian yang tak jelas seperti itu.
Pada mulanya Resi Bisma tak ingin sama sekali turut campur tangan dalam Baratayuda, perang antarkeluarga Barata. Dan dia bukan orang lain. Di dalam dirinya mengalir darah biru keluarga Barata. Dia pangeran yang menolak untuk duduk di atas tahta Astina.
Dia merasa posisinya sulit. Turut berperang di pihak Kurawa berarti membela kejahatan. Membantu kekuatan Pandawa berarti membela lima cucunya untuk menghancurkan seratus cucunya yang lain. Di Talkanda, padepokannya, dia termangu-mangu menyadari betapa sulit posisinya.
Tapi ketika Resi Seto turun ke medan Kurusetra sebagai senapati Pandawa, Bisma mengamuk. Banyak prajurit mati di tangannya. Dia ngeri. Inilah perang. Orang harus membunuh, sesuatu yang dihindarinya, atau dibunuh. Dia tahu dia tak bisa mati, tak bisa dibunuh, kecuali dia rela atas kematiannya.
Melihat Bisma membunuh begitu banyak prajurit, Seto tak bisa menahan diri. Dia mengamuk dan menuduh Bisma buta terhadap darma, buta terhadap kebenaran.
”Aku tidak buta, Seto,” jawabnya.
”Tapi mengapa kau membela Kurawa? Apa kau tak tahu bahwa dalam perang ini Kurawa yang salah, Pandawa yang benar? Mengapa salah dan benar kau campuradukkan seperti orang buta?”
”Apa bukan kamu yang buta? Baratayuda ini perang antarkeluarga Barata dan kau orang asing. Mengapa kau campur tangan? Aku turun ke medan laga untuk mencegahmu, menolak campur tangan asing dalam urusan keluarga ini.
”Keluarga Pandawa itu cucuku, bukan orang lain. Aku membalas jasa mereka yang sangat besar. Apa rohaniwan seperti kau buta bahwa membalas jasa itu darma hidup?”
” Kau bukan trah Barata. Aku tak rela negeriku dirusak oleh kepentingan asing. Aku tak membela Kurawa, tapi membela negeriku dari kerusakan yang kau timbulkan.”
***
Dan pertempuran pun berlanjut. Tapi ini bukan cerita mengenai peperangan, melainkan cerita tentang dilema dalam kehidupan. Kisah perang kita akhiri di sini. Tapi keruwetan dilema kita lanjutkan.
Saya membela petani tembakau dan menulis buku, reinkarnasi dari disertasi, yang judulnya tetap sama: Perlawanan Politik dan Puitik Petani Tembakau Temanggung, bukan karena menutup mata dari kebenaran lain. Dunia kesehatan menilai tembakau sumber penyakit. Merokok dapat menyebabkan kanker, pertumbuhan janin, impotensi, dan banyak penyakit lain. Saya tak melawan kebenaran dunia kedokteran.
Itu kebenaran yang bertahan bertahun-tahun. Tapi ketika tiba-tiba saja, tanpa temuan baru di bidang penelitian kedokteran, diumumkan: merokok membunuhmu, timbul keraguan saya. Apa dalil keilmuannya maka merokok bisa membunuh? Ini bukan dalil ilmiah yang digali dari kegelapan rahasia dunia dengan susah payah. Tapi kelihatannya lebih patut disebut dalil politik yang lahir dari dunia yang terang-benderang.
Ada Wanda Hamilton, orang Amerika, yang menulis buku tipis yang mendunia, Nicotine War, yang intinya menyatakan hiruk-pikuk dunia menolak rokok pada dasarnya perang dagang biasa. Jadi bukan usaha kemanusiaan yang tulus untuk menata kesehatan. Di dunia dagang tak ada ketulusan, juga tak harus berkiblat pada kebenaran. Berbohong malah dianggap kebajikan hidup.
Banyak manusia di dunia tak memahami keruwetan ini. Mereka hanya percaya satu hal: kesehatan masyarakat itu penting. Ada apa di balik isu itu, mayoritas orang yang percaya tadi tak tahu-menahu. Ini tidak adil. Banyak orang, banyak lembaga penelitian, banyak wartawan, yang menerima uang dalam jumlah dahsyat untuk membantu mereka membunuh tembakau.
Saya sebaliknya. Pada umur 58 tahun saya belajar merokok. Dua putri saya marah, istri saya juga marah. Tapi begitu mendengar pernyataan saya di media, bahwa bagi saya merokok itu satu-satunya pilihan politik, dan karena itu merokok merupakan simbol sekaligus bahasa perlawanan, mereka diam. Dan saya merokok secara halal.
Apakah status ”halal” di sini tanpa gangguan yang hadir dalam bentuk dilema moral? Ada pihak yang menganggap merokok itu haram. Di kalangan NU, fatwa itu dilawan. Hanya kekuatan besar yang bisa membikin haram apa yang tak haram. Ini kekuatan dunia dagang yang sudah disebut memiliki sumber dana luar biasa untuk membasmi tembakau dari muka bumi.
Membasmi? Seperti mereka dulu membasmi kopra kita yang dituduh sumber lemak jenuh yang menjadi penyakit? Tapi kemudian komoditas kopra itu dimonopoli? Simbol dan bahasa perlawanan ini saya bawa tiap saat. Bolehlah tembakau dianggap bisa menimbulkan gangguan kesehatan seperti disebut di atas. Tapi merokok membunuhmu? Saya ragu.
Pernah saya menulis: ”Merokok Tak Membunuhmu. Merokoklah.” Sangat boleh jadi merokok membunuhmu itu ada hubungan dengan perang dagang, yang siap membiayai segala jenis penelitian dan pemberitaan. Bloomberg Initiatives yang terang-terangan mengumumkan kepada dunia siapa, lembaga apa, dan negara mana yang dibiayainya membuat jengkel. Kepentingan asing ini merajalela dan mengadu domba kekuatan-kekuatan dalam negeri yang berbeda pandangan tentang tembakau dan produk olahannya.
Saya tak melawan dunia kedokteran, tapi saya merokok –kalau lagi mau– demi membangun simbol dan bahasa perlawanan terhadap campur tangan kepentingan asing, seperti Resi Bisma melawan Resi Seto dalam Baratayuda tadi.
Bisma tak dilahirkan kembali, tetapi kepentingan –juga yang jahat dan kelam– lahir terus-menerus dan abadi. Lalu tiba-tiba aku menjadi seperti Resi Bisma tanpa rencana, tanpa keinginan, tetapi aku jalani, kadang dengan rasa lelah dan gelisah: apakah aku jujur seperti Resi Bisma, mahayogi yang suci itu?