Pasal 1 PP No.74 Tahun 2008 memberikan definisi tentang Guru bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama, mendidik,mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi. Bahan-bahan atau patokan atau norma-norma apa saja yang digunakan oleh para pendidik itu untuk melakukan aktivitasnya sebagai pendidik, pengajar,pembimbing, pengarah, pelatih, penilai dan pengevaluasi telah tercantumkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun sebelumnya di rumah berdasarkan pedoman atau arahan Kurikulum kita yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam konteks ini kita melihat fungsi utama atau peran utama Guru sebagai pengajar di kelas adalah mengajarkan hal-hal yang bernilai secara teoritis dan praktekum kepada para siswa tersebut. Atau dengan kata lain bahwa apa yang diajarkan oleh para guru kita di kelas adalah tentang nilai-nilai kebenaran baik nilai-nilai kebenaran ilmu pengetahuan (scientisme) maupun nilai-nilai kebenaran menurut iman (fideisme). Nilai-nilai kebenaran yang diajarkan tersebut seringkali lebih banyak diajarkan secara teoritis. Itulah gambaran proses pembelajaran para siswa kita di sekolah-sekolah kita saat ini, mulai dari tingkat TK hingga SMA/SMK dan sederajatnya. Pada saat ulangan dan ujian tiba, para siswa kita berjuang untuk belajar dengan tekun agar pada saat ujian atau ulangan mereka dapat menjawabi soal-soal tersebut secara tepat dan benar.Seringkali mereka merasa bahwa belajar rajin saja tidak cukup namun harus dibarengi dengan usaha lain yang sering sangat khusuk misalnya dengan berdoa bersama-sama untuk memohonkan rahmat dan bantuan serta berkat Allah agar nantinya mereka bisa mengerjakan soal-soal itu dengan benar pada waktunya. Doa bersama selain belajar dengan tekun merupakan kegiatan yang selalu dilakukan setiap tahun manakala UAS/UAN akan tiba. Memang tak seorang pun dapat melarang kegiatan tersebut, apalagi dengan berdoa bersama dan memanjatkan permohonan itu, para siswa kita dapat semakin mendekatkan diri mereka kepada Sang Khalik, sebuah usaha yang positif dan sering didukung oleh orang tua/wali bahkan para guru dan kepala sekolah mereka sendiri. Kebenaran teoritis scientisme dan kebenaran teoritis iman memang perlu usaha keras. Kerja keras itu terutama dan pertama-tama untuk mengharmonisasikan kedua kebenaran itu sendiri yakni kebenaran ilmu dan kebenaran iman yang harus berjalan bersama-sama dan beriringan dan saling melengkapi. Kebenaran ilmu tidak boleh mengklaim dirinya sebagi yang paling benar, demikian juga kebenaran iman tidak boleh mengklaim dirinya yang paling benar. Kebenaran ilmu mendukung kebenaran iman dan sebaliknya kebenaran iman harus mendukung kebenaran ilmu. Para siswa dan guru yakin kebenaran ilmu pengetahuan dan kebenaran iman yang tersaji dalam soal-soal ujian yang disusun oleh guru atau oleh Depdikbud merupakan harga mati bagi kesuksesan para siswa itu sendiri. Kebenaran iman dan kebenaran ilmu yang tersaji dalam soal-soal itu dapat mendatangkan kesejahteraan lahir dan bathin kepada para siswa, bila mereka menjawabnya secara tepat dan akhirnya karena jawaban tepat itu mereka dinyatakan lulus ujian. Di dalam soa-soal yang disusun hendaknya diupayakan bahwa 2 kebenaran itu yakni iman dan ilmu berjalan seiring dan saling melengkapi dalam suasana yang harmonis. Namun soal-soal ujian bisa mendatangkan kesusahan dan kesulitan seumur hidup bila mereka menjawabnya salah dan kemudian karena salah jawab, maka akan berakibat fatal yakni tidak lulus ujian. Untuk mengikuti ujian seperti itu, memang butuh persyaratan yang berat, tak semudah membalikkan telapak tangan. Peserta ujian sering harus lulus dalam pelajaran selama 6 tahun dan 3 tahun dan melalui proses kenaikan kelas dan ujian semester yang memberatkan dan perlu ketekunan. Banyak dari antara para siswa karena tidak tahan dengan beratnya ujian semester itu, akhirnya meninggalkan sekolah sebelum Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Akhir Nasional diadakan. Pada masa tua atau pada masa di mana sangat dibutuhkan sebuah Ijazah tamat sekolah, barulah sering muncul rasa penyesalan yang dalam dari para mantan siswa tersebut, mengapa mereka tidak selesaikan sekolahnya. Saya sering menemukan rasa penyesalan itu terhadap beberapa calon kepala desa di kampung-kampung. Secara fisik mereka dinyatakan bisa sebagai calon kades, namun dari segi Ijazah mereka tidak bisa menjadi Kades karena persyaratan Kades haruslah seorang dengan Ijazah SMP ke atas. Syair sebuah puisi mengatakan, apa guna kusesalkan, menyesal tua tidak berguna. Maka mengikuti ujian dan lulus ujian merupakan harga mati bagi para peserta ujian itu, sebuah harga yang sangat menentukkan masa depan para siswa seumur hidup. Itulah kesadaran yang bagus. Namun bila para siswa tidak memiliki kesadaran tersebut, sering mereka berpikir jawaban-jawaban dalam soal-soal ujian itu tidak bermakna dan berguna bagi masa depan mereka, tentu ini pemikiran yang salah sekali. Sekolah-sekolah kita di tanah air menerapkan bahwa memilih kebenaran teoritis merupakan sebuah tuntutan yang mutlak. Memilih kebenaran teoritis dalam ujian-ujian sering penuh pengorbanan baik pengorbanan waktu, material dan tenaga. Karena Ini menunjukkan harga kualitas-kualitas hidup yang kita anuti sebagai sebuah bangsa yang besar yang mengutamakan nilai dan norma-norma dalam hidup bersama. Kebenaran teoritis memungkinkan manusia muda yakni para siswa ini memiliki spirit dan roh untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang. Spiritualitas atau semangat hidup yang mewarnai kehidupan yang berkualitas selalu berdasarkan sebuah spirit kebenaran teoritis yang diperolehnya melalui sistem persekolahan dan ujian-ujiannya. Maka para siswa berupaya untuk mengejar tingkat kepintaran dan kecerdasan yang tinggi. Kecerdasan dan kepintaran merupakan faktor yang membuat para siswa ini bisa bertumbuh secara baik dan memiliki masa depan yang bagus pula. Sebab kecerdasan para siswa ini akan tetap namun kesalehan akan hilang. Pendidikan yang menitikberatkan pada kesalehan pribadi sering berakhir dengan kegagalan. Namun bila pendidikan menekankan kecerdasan, daya kritis yang tajam dan didukung oleh iman, maka mereka akan memiliki masa depan yang bagus pula. Maka perlu sebuah pendidikan iman dengan format teologi, ilmu tentang Allah yang mendasari pemahaman hakiki para siswa yang diperoleh melalui refleksi, sharing Kitab Suci. Bahwa sering Allah berbicara lewat pengalaman hidup manusia, lewat bacaan-bacaan, lewat keluarga, lewat kesaksian hidup orang perorang/tokoh. Lewat konsep teologi, para siswa yang belajar tentang Tuhan akan memahami bahwa Allah sering berbicara kepada manusia bukan hanya lewat Kitab SuciNya saja. Namun Allah sering keluar dari konteks Kitab SuciNya dan berbicara melalui tradisi gereja, tradisi budaya, keluarga, komunitas hidup bakti dan kesaksian hidup tokoh-tokoh tertentu. Unsur fideisme memungkin daya kerja akal atau intelektual menjadi lebih banyak ditekankan dalam ilmu agama juga dalam ilmu-limu pengetahuan murni (scientisme) tersebut. Di mana melalui ilmu-ilmu itu, mula-mula kebenaran teoritis diberikan secara intensif dan terus-menerus. Sebab kita percaya bahwa melalui kebenaran teoritis itu manusia akan bertumbuh menjadi pribadi yang baik dan benar dalam kehidupannya sendiri. Ketepatan realistis sering menjadi "utang" yang harus ditebus atau dibayarkan oleh para siswa kita setelah mereka tamat sekolah. Setelah mendapatkan Ijazahnya para siswa harus berupaya mewujudnyatakan pengetahuan teoritisnya dengan praktek nyata. Itulah yang saya maksudkan dengan ketepatan realistis itu. Dalam ketepatan realistis itu, pengetahuan realistis harus menjadi berguna dalam kehidupan hariannya, teristimewa dalam pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi, rohani dan kebutuhan-kebutuhan yang relevan. Misalnya pengetahuan akan teori tentang komputer dan internet akan menjadi tidak berarti bila manusia tidak memiliki internet dan mulai bekerja melalui internet itu. Sebab internet adalah teknologi komunikasi dan Informasi yang berbasis pada komputer harus dikuasai demi kehidupan dalam dunia masa sekarang ini.Demikianpun belajar tentang makanan dan minuman bergizi, tentang kesehatan, kehidupan yang aman, penemuan-penemuan baru tentang ilmu dan iman juga perlu selalu diusahakan dan dilaksanakan demi kemajuan peradaban dan demi kualitas-kualias hidup manusia. Nilai-nilai agama yang mengajarkan tentang partisipasi sosial-religius juga perlu diwujudkan. Belajar bukan berarti untuk hidup sendiri dan egoistis di dalamnya. Namun belajar juga demi sebuah tujuan lain yang kita kejar yakni kehidupan bersama yang penuh persaudaraan, saling memperhatikan dan saling menolong, agar tercipta kehidupan bersama dalam dunia yang adil dan saling menghormati antar sesama manusia sendiri satu terhadap yang lain. Jadi ketepatan teoritis dan ketepatan realitas adalah 2 buah pandangan yang berbeda. Pandangan terotis bersifat menghafal dalil-dalil terori ilmu baik ilmu pengetahuan maupun ilmu tentang agama (Tuhan). Sedangkan ketepatan realistis adalah ketepatan yang harus diwujudkan oleh para siswa. Atau perwujudan ketepatan ilmu dan ketepatan yang nyata/realita. Ketepatan realitis lebih kepada perwujudan ilmu-ilmu teoritis yang telah diperolehnya dalam bangku sekolah atau bangku kuliah. Belajar bukan hanya untuk mengetahui saja. Namun setelah orang mengetahui, orang perlu mewujudkannya dalam praktek setiap hari. Itulah yang dimaksudkan dengan ketepatan teoritis dan ketepatan realistis tersebut. Setelah tamat sekolah dan akan memulai bekerja dan mewujudkan pengetahuan teoritisnya yang telah diperoleh di sekolah, seseorang harus mengikuti testing masuk yang ketat. Testing masuk menjadi PNS merupakan salah satu persyaratan tersebut. Di mana melalui testing masuk yang dilakukan secara teoritis para calon ditest kemampuan teoritisnya untuk menyelesaikan hal-hal yang bernilai secara teoritis. Bila dinyatakan lulus Test maka peserta akan diterima dan mulai bekerja untuk mewujudkan impian dan pengetahuan teoritis yang dimilikinya. Jadi panggilan untuk berpikir dan merealisasikan ide-ide dan gagasannya merupakan panggilan yang terus berlangsung seumur hidup. Selagi hidup dan berada di dunia manusia akan terus bergumul dengan pemikiran-pemikiran teoritis untuk kehidupan nyatanya. Sebuah premis filsafat tua menyatakan Cogito ergo sum yang berarti saya berpikir maka saya berada. Berpikir merupakan aktivitas yang menyatakan keberadaan saya. Atau dengan kata lain saya akan selalu berada baik di dunia maupun diakhirat oleh aktivitas berpikir dan aktivitas esensi dan eksistensi iman saya yang akan berlangsung hingga ke keabadian. Eksistensi iman saya akan terus berlangsung hingga ke keabadian sebagai bentuk waktu tanpa akhir: Di dalam keabadian tak ada waktu dan di dalam waktu tak ada keabadian.
__________________________________________ |
Sumber: http://blasmkm.com |