<div class="\\"_5pbx" usercontent\\"="" data-ft="\\"{"tn":"K"}\\""><p> Kita tinggalkan sejenak hingar bingar dalam dukung mendukung Capres Cawapres yang akan berlaga pada Pilpres 2014. Meski \\'keramaian\\' tersebut wajar terjadi setiap lima tahunan, namun kali ini saya ingin mengajak para pembaca menengok kondisi Jakarta yang kian hari beban masalah makin berat. Kebetulan sebentar lagi warga Jakarta akan menyambut HUT Jakarta ke 487, jadi tulisan ini sekaligus dihadirkan untuk memetakan soal dan persoalan yang kini mendera Jakarta.</p><p> Pemahaman atau persepsi sebagian masyarakat dan pemangku kepentingan di daerah adalah menganggap JAKARTA sebagai baromoter kesuksesan pembangunan. Persepsi ini keliru adanya. Jakarta memang terlihat demikian dinamis tapi di sisi lain problematika kehidupan sosial di ibukota kian semerawut dan runyam. Berbagai persoalan mendera Jakarta mulai dari urbanisasi, anak terlantar, kepadatan penduduk dan bangunan, keterbatasan lahan yang tidak menyisakan LHT (lahan hijau terbuka), kemacetan luar biasa hingga perkiraan para ahli bahwa Jakarta akan tenggelam dalam waktu dekat (jika tidak diantisipasi secara cermat). Kondisi diatas diperparah lagi oleh ‘ulah\\' oknum penguasa dan pengusaha yang lebih mementingkan ‘fulus\\' dalam membangun Jakarta ketimbang antisipasi kasus sosial yang muncul dikemudian hari.</p><p> Urbanisasi merupakan kegiatan yang membuat membengkaknya tenaga kerja di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Disamping itu, jumlah pertumbuhan penduduk dan kendaraan pribadi demikian pesat sementara penambahan fasilitas jalan terbatas, sehingga terjadi ketidakseimbangan. Maka dapat ditebak apa yang akan terjadi yaitu kepadatan, kemacetan, kesemerawutan, dan tentunya ketidaknyamanan. Jika ditilik dari konsep/teori psikologi sosial maka kondisi masyarakat yang galau dan risau turut andil mempengaruhi pembentukan karakter manusia Indonesia yang bersifat serba instan dan menerabas</p><p> FENOMENA perilaku pengguna jalan di Indonesia amat menyedihkan. Kedisiplinan dan kepatuhan pada rambu dan tata cara berlalu lintas yang patut seolah dari hari ke hari mengalami degradasi. Memang tak dapat dipungkiri bahwa hal bisa terjadi akibat sistem transportasi massal memadai belum terwujud di negeri ini walau sudah lebih 68 tahun merdeka.</p><p> Ketidaknyamanan hidup dan tinggal di Jakarta ini patut dijadikan perhatian serius para pemangku kepentingan tidak hanya yang mengurusi Jakarta secara langsung, tetapi juga para pengambil kebijakan di tingkat nasional. Kerunyaman sosial yang menganga dan jelas-jelas nyata menghiasi kehidupan Jakarta di antaranya, kriminalitas (sadisme), korupsi dan komersialisasi jabatan, polusi, ketidakdisplinan berlalu lintas, banjir dan macet senantiasa akrab menyatu dengan ibukota kita ini. Kerawanan sosial cukup tinggi membuat menetap di Indonesia perlu ekstra waspada.</p><p> Kondisi ini membuat orang tidak aman dan tidak nyaman tinggal di Jakarta. Apalagi, para ahli dan pemerhati lingkungan telah memprediksi kemungkinan tenggelamnya ibukota kita ini akibat \\"tangan-tangan\\" kita yang menganiaya diri kita sendiri sehingga Jakarta kian runyam. Oleh karena itu jika tidak ada penegakan hukum yang ketat misalnya setiap bangunan (terlebih ruang publik) harus memiliki lahan serapan untuk menampung air hujan, maka kebanjiran akan tetap mengintai.
Juga bila tidak ada upaya pemerintah secara maksimal mewujudnyatakan transportasi masal (MRT) yang representatif, maka jangan mimpi macet dan kemacetan menghilang dari Jakarta. Kondisi di jalan dan ruang-ruang publik sungguh tidak menyenangkan. Oleh karena itu perlu diselesaikan persoalan-persoalan diatas terlebih dahulu agar Jakarta bisa menjadi lebih manusiawi, karena kehidupan tidak manusiawi muncul akibat pelayanan publik tidak diakomodasi dengan baik.
Salah satu usulan agar kepadatan Jakarta berkurang adalah dengan memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke kawasan terpadu diluar kota Jakarta misalnya di wilayah Jawa Barat. Dengan berpindahnya pemerintahan pusat beserta jajarannya ke wilayah luar Jakarta memungkinkan berkurangnya tekanan kemacetan, kesemrawutan dan kebisingan serta kepadatan, sehingga memungkinkan untuk menjadikan Jakarta lebih manusiawi.
*) Lahir dan besar di Jakarta kini tinggal di Malang