“DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
SEBUAH JANJI HAKIM PADA SANG PENCIPTA
Oleh : Wahyudi Kurniawan*)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut sudah sangat kita pahami bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Negara hukum dapat diartikan bahwa semua segi dan sendi kehidupan yang berlaku masyarakat harus berdasarakan pada norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat yang majemuk tentu akan melahirkan pemahaman dan pengertian tentang negara hukum yang berbeda-beda satu sama lain.
Salah satu pilar untuk bisa dikatakan negara hukum adalah adanya pengadilan yang merdeka, bebas, independen dan melahirkan putusan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di Indonesia, pelaksanaan pengadilan (kekuasaan kehakiman) tersebut telah diatur dalam sebuah Undang-Undang. Kekuasaan kehakiman yang dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman harus mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dan para pencari keadilan. Proses peradilan yang dilakukan diharapkan mampu memberikan keadilan bukan hanya kepastian hukum semata.
Kekeliruan atau kesalahan hakim dalam memutus perkara seperti yang saya sampaikan dalam pendahuluan diatas akan sangat melukai rasa keadilan, sangat merugikan para pencari keadilan dan akan melahirkan konflik konflik sosial yang tidak kita inginkan. Maka dari itu, putusan pengadilan dalam hal ini adalah putusan hakim harus mampu memberi rasa keadilan pada masyarakat.
Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jelas diterangkan bahwa “Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” mempunyai makna bahwa segala putusan hakim harus mampu memberikan rasa keadilan yang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa pada masyarakat. Makna Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini sangat luas dan penting, karena tidak hanya berkaitan dengan para pencari keadilan saja, namun juga erat kaitannya dengan Tuhan Yang Maha Esa sang pencipta hidup. Tidak saja melingkupi tanggung jawab hakim kepada pencari keadilan dan masyarakat namun secara spiritual juga melingkupi tanggung jawab hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dewasa ini terjadi fenomena yang luar biasa dalam penegakan hukum di Indonesia. Sering kita temukan begitu banyak putusan-putusan hakim yang dirasakan sangat merugikan rasa keadilan masyarakat. Banyak putusan hakim yang justru mengebiri rasa keadilan dalam masyarakat, dimana putusan hakim tersebut dirasakan sering tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan.
Keberpihakan putusan hakim yang cenderung merugikan rasa keadilan masyarakat tentu tidak bisa terlepas dari banyaknya pengaruh dan tekanan dalam proses peradilan. Pengaruh pemegang kekuasaan maupun pengaruh ekonomi merupakan salah satu alasan atau penyebab putusan hakim tidak berpihak pada yang benar.[1] Jika putusan hakim sudah terkontaminasi dengan kepentingan kepentingan ataupun motif lain, maka putusan hakim tersebut dapat dipastikan tidak akan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Tidak terpenuhinya rasa keadilan masyarakat tersebut, akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga pengadilan dan hakim untuk menyelesaikan suatu permasalahan atau persoalan hukum yang mereka hadapi. Bentuk ketidakpercayaan tersebut dapat kita lihat dalam masyarakat kita diantaranya adalah main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan, penghinaan terhadap pengadilan, sampai kekerasan terhadap aparat penegak hukum.
Gejala-gejala tersebut semakin menegaskan bahwa makna Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pedoman utama bagi hakim dalam mengambil setiap keputusan atau menjatuhkan putusan. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA adalah sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Makna Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu tentu tidak akan pernah bisa terlepas dari pemahaman tentang keadilan itu sendiri. Pemaknaan atau pemahaman tersebut sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan lingkungan masing-masing. Pemahaman keadilan bagi seorang petani di pesisir pantai tentu akan sangat berbeda dengan pemahaman seorang buruh pabrik di kota besar. Begitu juga pemahaman seorang sarjana pendidikan tentu akan sangat berbeda dengan pemahaman seorang sarjana hukum. Oleh karena itu penulis berupaya memberikan beberapa pemaknaan arti keadilan dari tokoh tokoh hukum di dunia.
Keadilan menurut Hans Kelsen adalah suatu tertib sosial tertentu dibawah lindungannya usaha mencari kebenaran bisa berkembang dengan subur. Keadilan saya karenanya adalah keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi dan keadilan toleransi.[2] Dalam kondisi lain, Hans Kelsen juga memberikan definisi keadilan dalam pengertian bermakna legalitas, suatu peraturan umum adalah adil jika ia benar-benar diterapkan kepada semua kasus yang menurut isinya peraturan harus diterapkan. Suatu peraturan umum adalah tidak adil jika diterapkan pada satu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. Hans Kelsen memberikan pengertian keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu tatanan hukum positif, melainkan dengan penerapannya.[3]
Sementara itu, M Soebagio dan Slamet Supriatna mengartikan keadilan sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban, dengan kata lain keadilan yang demikian tidak berarti hukum itu selalu menyamaratakan setiap orang.[4] Dalam pandangan Roscoe Pound, keadilan dilihat dari hasil-hasil kongkrit yang bisa diberikan kepada masyarakat. Ia melihat hasil yang diperolehnya hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.[5] Aristoteles memberikan pengertian bahwa keadilan diartikan sebagai kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak.[6]
Keadilan menurut penulis dapat diartikan sebagai persamaan perlakuan antara hak dan kewajiban yang melekat pada setiap manusia yang berdasarkan pada nilai-nilai yang hidup di masyarakat serta peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa adanya diskriminasi.
Dalam Pasal 197 ayat 1 sub a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana juga menyebutkan bahwa “kepala putusan yang dituliskan berbunyi ‘DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA’ tentu sangat selaras dengan apa yang dicantumkan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut semakin menguatkan makna bahwa setiap keadilan harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Makna kalimat tersebut haruslah benar-benar menjadi pedoman dan dasar setiap hakim dalam mengambil keputusan sebuah perkara tang ditangani. Memberikan putusan tentu tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada pimpinan atau atasan saja, melainkan harus mampu dipertanggung jawabkan kepada masyarakat umum, agama, dan tentu saja kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hakim sebagai salah satu elemen dalam Criminal Justice System, harus mampu membuat keputusan pengadilan yang seadil-adilnya.
Menurut Bismar Siregar, kata Demi bermakna sebagai kata sumpah bahwa apa yang diucapkan untuk dikerjakan itu mempunyai nilai tidak hanya bersifat lahiriah tetapi juga batiniah. Justru nilai batiniahlah yang sangat menentukan.[7] Ketentuan adanya pencantuman kalimat tersebut tentu tidak hanya formalitas belaka namun menjadi dasar filosofis dalam setiap pengambilan keputusan. Dasar filosofis tersebut merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dan pandangan hidup bangsa serta sebagai sumber dari segala sumber hukum yang ada di Indonesia.
Hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman memiliki peran penting dalam penagakan keadilan. Hakim dalam jabatannya harus mampu memberikan rasa keadilan dalam masyarakat. Bismar Siregar mengungkapkan “Undang-undang secara jelas menegaskan bahwa tanggung jawab hakim bukan kepada negara, bukan kepada bangsa, tetapi pertama kepada Tuhan Yang Maha Esa baru kepada diri”.[8]
Betapa mulianya posisi hakim dalam proses peradilan tentu sangat dibutuhkan seorang hakim yang memiliki integritas tinggi, loyalitas, dan tingkat keimanan yang tinggi pula. Seorang hakim harus juga memiliki kepribadian yang arif bijaksana dan tidak tercela, jujur, adil, profesional, memiliki atau ahli dalam bidang hukum karena semua keputusan hakim pasti akan membawa akibat yang tidak ringan.[9] Hakim dalam menjalankan tugasnya, memikul tanggung jawab yang begitu besar, sebab keputusan hakim sangat berdampak pada pencari keadilan. Apabila keputusan hakim tidak tepat atau tidak adil maka dampaknya akan sangat luar biasa. Seorang yang benar akan mendapatkan hukuman dan sebaliknya seorang yang salah akan memperoleh kebebasan.
Terlepas dari banyaknya faktor yang mempengaruhi putusan hakim, keputusan hakim yang tidak adil akan mengakibatkan penderitaan lahir dan batin para pencari keadilan yang bersangkutan sepanjang hidupnya.[10]
Didalam praktek, hakim dituntut untuk dapat mengejawantahkan hukum tidak hanya sekedar sebagai corong Undang-Undang, tapi mampu menenrjemahkan dan sebagai penyambung lidah hukum.[11] Hakim yang demikianlah yang mampu memberikan keputusan yang adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Sebagai seorang manusia biasa, hakim pasti tidak bisa terlepas dari sifat dasarnya yang subyektif. Begitu pula dalam mengambil keputusan, hakim kadang-kadang dipengaruhi oleh sifat haus kekuasaan, egoistik, kemunafikan dan sifat-sifat buruk lainnya yang dapat memperburuk citra hakim itu sendiri. Inilah tantangan berat seorang hakim dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Apabila berhasil mengalahkan sifat-sifat buruk tersebut, maka putusan-putusannya adalah putusan yang bernuansa keadilan dan apabila tidak berhasil, maka putusan-putusannnya tentu sangat bertentangan dengan rasa keadilan.
Menurut beberapa ahli, dalam praktek peradilan terdapat beberapa klasifikasi seorang hakim apabila dikaitkan dengan putusannya, antara lain :