Dosa Besar Itu Bernama Plagiarisme

Author : Adian Saputra | Tuesday, February 18, 2014 10:33 WIB

Ada seorang tokoh agama yang rajin menulis di koran tempat saya bekerja. Tulisannya bagus. Sampai suatu ketika, ada SMS masuk ke meja redaksi. Konten SMS memberi tahu bahwa tulisan terbaru tokoh agama itu sudah ada di sebuah laman daring di Jakarta. Sang redaktur opini kemudian mengecek. Dua opini pun diperbandingkan. Hasilnya jelas. Si tokoh yang menulis untuk koran kami memang menjiplak. Sanksi pun diturunkan. Honornya dibekukan dan setiap karyanya sekarang tidak bakal dipublikasikan. Ia masuk daftar hitam.
Berbilang tahun yang lampau, kejadian serupa sudah dimulai. Kali ini kawan kami sendiri di organisasi profesi pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Salah satu esainya ternyata menjiplak naskah yang ada dalam buku. Yang pertama kali tahu juga bukan redaktur opininya, melainkan pembaca koran ini. Sanksi pun jatuh. Kawan kami itu kami minta berhenti menjadi anggota ketimbang surat pemecatan kami terbitkan. Dunia media massa memang rentan dengan praktik penjiplakan atau plagiarisme.

Menjiplak memang dosa tidak berampun. Teknik copy-paste ini kini menjadi momok buat penjaga gawang tulisan kreatif di koran, entah itu opini, esai, kolom, dan resensi. Kini, seorang redaktur karya kreatif mesti waspada dan rajin memverifikasi, apakah karya yang akan ia turunkan ini asli gagasan si empunya ide atau malah hasil copy-paste tulisan ini. Pekerjaan yang tentu saja rumit. Tapi, inilah untungnya punya pembaca yang kritis. Para pelaku copas barangkali bisa merasa aman dalam hitungan hari begitu artikelnya nongol di koran. Barangkali ia akan aman, perilaku culasnya tak bakal diketahui orang, terutama redaktur surat kabar. Tapi yakinlah, dalam beberapa hari ke depan ada saja pembaca yang memberi tahu bahwa karya itu hasil menjiplak.

Mengapa orang menjiplak? Jawaban utamanya karena orang tersebut tidak punya kemampuan memadai untuk menghasilkan tulisan. Ia maunya instan. Pertama menulis langsung bagus. Padahal, proses kreatif itu butuh prosesnya sendiri. Mungkin berbilang hari, mungkin berbilang tahun, dan boleh jadi berbilang masa. Yang jelas, menjadi penulis yang baik butuh proses. Dan copy-paste bukan bagian dari proses itu. Itu perilaku culas yang dosanya dalam ranah jurnalisme bisa dibilang tak berampun.

Benarlah kata pribahasa: sekali lancung di ujian, seumur hidup orang tak percaya. Satu peribahasa yang ternyata tak berlaku buat para koruptor. Meski sudah divonis dan menjalani hukuman, masih saja mereka dipercaya memegang urusan publik. Alih-alih dicemooh, si koruptor yang ikut pemilihan kepala daerah malah menjadi kampiun. Hukuman di ranah media ternyata lebih berat ketimbang hukum pidana.
Lalu, bagaimana agar kita terhindar dari dosa besar bernama plagiarisme ini?

Pertama, yakin dengan karya sendiri. Sejelek apa pun karya, itu tulisan sendiri. Berbanggalah dengan karya sendiri. Soal apakah tulisan itu dipublikasikan di media, mendapat banyak tanggapan di blog sosial; itu soal lain. Yang penting, percaya diri saja dengan karya sendiri. Jangan mudah tergoda copy-paste meski barangkali sedikit yang tahu kalau itu karya jiplakan.

Kedua, banyak membaca. Orang yang banyak membaca akan terhindar dari plagiarisme. Sebab dengan membaca, ia memperoleh banyak input sebagai bahan untuk menulis. Orang yang tak rajin baca dan kepingin menjadi penulis, rentan dengan copy-paste ini.

Ketiga, rajin menganalisis. Kalau sudah rajin membaca, biasanya rajin menganalisis. Menghubungkan satu kejadian dengan kejadian lain, mengomparasi satu fakta dengan data lain. Dengan model berpikir ini, kita akan punya banyak bahan untuk menulis. Dan menghindarkan diri kita dari plagiarisme.

Keempat, berpikir soal nama baik. Berpikirlah bahwa perilaku buruk kita dalam ranah tulis-menulis akan membawa dampak jelek. Sayangilah nama baik kita. Plagiarisme adalah jembatan merusak nama baik. Sekali kita menjiplak, selamanya orang berpikir bahwa seluruh karya kita adalah hasil copas.

Kelima, jujur dengan karya orang lain. Ada kalanya naskah yang kita tulis mengambil ide dan pendapat penulis lain secara bulat-bulat. Jika itu yang terjadi, jujurlah pada diri sendiri. Tulislah bahwa ide itu kita nukil dari pendapat orang. Apalagi kalau istilah atau konten yang kita angkat memang dikenal secara umum. Semoga kita terhindar dari perilaku copas alias plagiarisme. Wallahualam bissawab.

Harvested from: http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/07/22/dosa-besar-itu-bernama-plagiarisme-578817.html
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: