DPR: Wakil Rakyat Politis

Author : Yswitopr | Thursday, October 02, 2014 10:58 WIB

Kiranya menarik untuk membaca fenomena yang sedang hangat, yaitu situasi politik yang terjadi di negara tercinta ini. Saya bukan seorang pengamat politik. Saya hanyalah seorang rakyat biasa yang gerah dengan berbagai fenomena yang sedang menaungi negeri ini. Adapun fenomena teranyar adalah peristiwa pemilihan ketua DPR dengan segala trik dan intriknya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa mereka yang duduk di DPR adalah wakil-wakil rakyat. Namanya saja Dewan Perwakilan Rakyat. Sudah tentu, keberadaan mereka adalah representasi rakyat. Tidak mengherankan jika karena kedudukan mereka sebagai wakil rakyat ada titel yang mereka sandang, yaitu anggota dewan yang terhormat. Sampai-sampai gedungnya pun ikut menikmati gelar itu.

Melihat segala tingkat polah anggota dewan yang terhormat itu dan sekaligus mengamati berbagai manuver-manuvernya, muncul sebuah pertanyaan yang ingin coba saya jawab dalam tulisan ini. Menyandang titel sebagai wakil rakyat, benarkah anggota-anggota dewan itu menjadi wakil rakyat?

Senyatanya, wakil rakyat adalah seseorang yang terpilih secara demokratis dalam sebuah pemilu. Wakil rakyat ini mengemban tugas yang sangat penting dan mulia yaitu menjadi penyalur dari aspirasi rakyat didalam ranah legislatif maupun eksekutif.Dengan posisi ini, sudah semestinya anggota dewan adalah delegasi-delegasi rakyat yang diwakilinya. Faktanya, kata wakil rakyat inilah yang sering menjadi mantra sakti. Ada keputusan: demi rakyat. Ada persoalan: kami kan wakil rakyat. Dalam konteks mantra sakti itu, kita boleh bertanya rakyat yang mana?

Jawaban atas pertanyaan ini kiranya dapat ditemukan dalam sepak terjang anggota dewan. Mewakili rakyat hanyalah sebuah slogan untuk menarik simpati. Pelan namun pasti, keterwakilan di DPR hanyalah keterwakilan secara politis dan bukan dalam arti yang sebenarnya. Artinya, ada pemilu untuk memilih wakil yang akan duduk di dewan. Ketika sudah terpilih, keterwakilan mengalami degradasi makna. Dan karena sifatnya yang demikian politis, kata wakil rakyat semakin menjauh dari esensinya. Sebagai wakil rakyat, mereka tidak lagi mendekat kepada rakyat tetapi justru semakin menjauh dan membangun tembok birokrasi yang seolah tidak tersentuh.

Jika sudah demikian, siapa yang kemudian diwakili? Partai politiklah yang mereka wakili. DPR yang semestinya mewakili kepentingan rakyat berubah fungsi menjadi perwakilan kepentingan partai politik. Padahal, setiap partai politik tentu memiliki kepentingannya masing-masing. Oleh karena itu, kegaduhan di gedung DPR yang agung itu sebenarnya bukan kegaduhan rakyat. Kegaduhan yang tercipta adalah akibat kepentingan partai politik yang saling bertabrakan. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat.

Mengapa bisa demikian? Ada banyak hal bisa disebut. Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan untuk mendukung gagasan itu. Namun saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal saja. Pertama, konsep keterwakilan itu sendiri. Di satu sisi, rakyat memilih. Ketika memilih ini, seolah-olah mereka memberikan kekuasaan kepada mereka yang menjadi wakil dan terpilih. Akibatnya, begitu selesai pemilihan, ada kesan terjadi perpindahan kekuasaan dari rakyat kepada yang mewakili. Akibatnya, wakil rakyat itu bebas melakukan apapun dengan dalih sebagai wakil rakyat. Di sisi lain, ada yang dipilih. Dan itu tunggal. Ketika sudah terpilih, keterwakilan menjadi demikian individualis. Akibatnya tidak ada kontrol dari konstituen.

Kedua, wakil-wakil yang terpilih itu adalah utusan partai politik dengan segala kepentingannya. Bahkan, ada banyak wakil yang tidak berasal dari daerah asal. Akibatnya tidak mengenal daerah yang diwakilinya. Pada sisi ini ada banyak imbas yang bisa terjadi. Setelah terpilih, ia berada dalam dilema: mewakili rakyat daerah pemilihannya atau mewakili partai politik yang mengusungnya. Sudah bisa dipastikan ada banyak wakil rakyat yang akan memilih untuk tunduk kepada partai politiknya. Hal ini disebabkan oleh praktek recall. Hal merecall ada pada partai politik bukan pada rakyat. Ada kesan, masa depan sesudah terpilih bukan lagi di tangan rakyat yang memilihnya. Rakyat tidak memiliki hak untuk mengganti wakilnya yang tidak membawa dan memperjuangkan aspirasi mereka. Hak itu ada di partai politik. Masa depan wakil rakyat ditentukan oleh partai politik. Mengingat biaya politik yang mahal, sudah barang tentu mereka akan mengekor kepada partai politik meskipun itu tidak sesuai dengan suara dan kepentingan rakyat.

Ketiga, timbal balik keterwakilan. Saya belum pernah mendengar ada wakil rakyat yang mempertanggungjawabkan mandat yang telah diberikan oleh pemilih kepadanya. Sama sekali tidak ada mekanisme rakyat meminta pertanggungjawaban atas mandat yang diberikan. Dan sebaliknya, wakil yang terpilih pun sama sekali tidak memberikan pertanggungjawaban yang diterimanya.

Dari sini saya berani menyimpulkan bahwa keterwakilan rakyat di gedung DPR bukanlah keterwakilan dalam arti yang sebenarnya. Keterwakilan yang terjadi hanyalah bersifat politis semata. Jika demikian, rakyat tidak bisa menuntut pertanggungjawaban apa pun ketika wakil-wakil rakyat yang terhormat itu tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi memperjuangkan kepentingan partai politik yang mengusungnya. Kalau pun mereka membuat gedung yang sakral itu menjadi demikian gaduh dan ramai, mungkin mereka sedang berebut roti, bukan memikirkan perut rakyatnya. Entahlah.

Harvested from: http://filsafat.kompasiana.com
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: