Drama Politik Kaum Hipokrisi yang Tak Kunjung Henti

Author : Hendra Mulyadi | Friday, October 03, 2014 09:38 WIB

“Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung,biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membencipolitik. Si dungu tidak tahu bahwa, dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.” (Bertolt Brecht)

Bertolt Brecht adalah salah seorang penyair jerman, penentang keras kediktaktoran rezim Hitler (Nazi). Dewasa ini, ada fenomena baru dikalangan generasi muda, sebuah slogan, mungkin. Para generasi muda khususnya mereka yang mengecap pendidikan diperguruan tinggi di berbagai kota besar Indonesia, oleh mereka banyak sudah wadah-wadah, organisasi, kelompok, atau komunitas diluar kampus (ekstra kampus) dibangun. Kelompok-kelompok tersebut dibangun dengan berbagai latar belakang yang berbeda, entah itu kelompok kedaerahan, keagamaan, kekeluargaan, ataupun kesukuan dan sebagainya.

Didalam kelompok-kelompok kecil tersebut, tidak begitu banyak mahasiswa yang terlibat. Mereka yang terlibat, tentu juga dipengaruhi oleh berbagai banyak hal. Namun, kondisi tersebut merupakan suatu kemajuan dari upaya mengaktualisasikan dirinya didalam kehidupan mahasiswanya, tidak peduli faktor apa yang mempengaruhinya.

Namun, ketika kalangan mahasiswa tersebut diajak untuk mendiskusikan soal kondisi sosial dan politik daerah terlebih soal kondisi bangsa ini, mereka justru mengatakan bahwa kelompok mereka (mahasiswa) tersebut bukan kelompok yang dibangun untuk membicarakan politik. Seolah-olah politik seperti racun yang berbahaya. Memang tidak semua dari mereka yang berjalan kaku yang terbentur dengan aturan-aturan formal kelompoknya. Jika disinggung soal sense of crisis mereka melakukan pembelaan, namun tetap saja bersikap ambigu, dan cenderung naïf.

Disamping kelompok tersebut, ada kelompok-kelompok mahasiswa yang begitu getol berbicara soal politik, tetapi cukup pragmatis dan cenderung oportunis. Diluar dari kelompok-kelompok tersebut, ada kelompok independen, mereka adalah kelompok-kelompok diskusi, kelompok minoritas yang secara konsisten mempertahankan independensinya dari pengaruh kepentingan politik. Namun, kelompok tersebut tidak sedikit mengalami hambatan ataupun kendala, entah itu terbatasnya kalangan mahasiswa yang terlibat, ataupun persoalan-persoalan lain, karena mereka meletakkan nilai-nilai perjuangannya berdasarkan nilai-nilai kebersamaan (kolektif kolegial).

Di hongkong, belakangan ini telah terjadi gelombang demonstrasi yang cukup besar dan konsisten. Mereka secara Konsisten memperjuangkan hak penuh terhadap proses pemilihan langsung. Pada 1998 negara Inggris menyerahkan kedaulatan hongkong terhadap Tiongkok. Hingga saat ini, masyarakat hongkong merasakan ketidaknyaman terkait demokrasi palsu yang diciptakan tiongkok. Hingga akhirnya, para masyarakat pro-demokrasi memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan turun ke jalan, melalui pemboikotan pusat-pusat perekonomian dunia.

Saat ini, pasca 16 tahun reformasi, kita seolah-olah diingatkan kembali pada kediktaktoran rezim orde baru. Pada masa itu, tentu peran mahasiswa atau pun pemuda begitu besar. Gerakan-gerakan moral tersebut seolah semakin memudar. Pada 2012 terjadi gelombang demonstrasi yang cukup besar, terkait penolakan kenaikan harga bbm, gerakan tersebut cukup membekas hingga pemerintah membatalkan niatnya tersebut . Di tahun 2013, wacana kenaikan harga bbm kembali menjadi polemik, dan disambut dengan gelombang demonstrasi, namun kenaikan harga bbm tidak terbendung dan berlaku hingga saat ini.

Peranan kelompok mahasiswa/pemuda tersebut patut diapresiasi, melalui gerakan-gerakan moral yang telah dibangun,ditengah arus modernisasi saat ini,tentu tidak sedikit dari mereka yang dengan sadar mengorbankan waktu, tenaga, pikiran bahkan materi. Tentu mereka adalah manusia-manusia yang sadar, bahwa perubahan tidak akan pernah terjadi, jika sekiranya mereka hanya duduk dan terbuai dengan teori-teori di ruangan kelas mereka.

Tentu mereka sepakat dengan Bertolt Brecht, dan sadar bahwa kaum buruh, anak yang putus sekolah, kaum miskin kota, pedagang-pedagang kecil, para lanjut usia, dan kita, tidak akan mendapatkan perbaikan hidup yang layak jika tidak melakukan perlawanan terhadap penguasa-penguasa yang culas, yang mementingkan dirinya maupun golongannya.

Belakangan ini, konstelasi politik dalam negeri mengalami pergolakan begitu tinggi. Drama politik kembali dipertontonkan oleh elit-elti politik (kaum hipokrisi). Tiada hal lain selain kekuasaan yang diperebutkan. Kontestasi politik tersebut diperankan oleh 2 kubu (kekuatan politik) dalam bentuk koalisi, ada yang menamakan dirinya Koalisi Indonesia Hebat dan yang lainnya menamakan diri Koalisi Merah Putih. Mereka menamakan koalisi yang mereka bangun begitu puitis, dan seolah-olah begitu nasionalis.

Pasca pilpres 2014, kontestasi politik menjadi begitu sengit. Pilpres yang dimenangkan oleh koalisi Indonesia hebat, seakan menciptakan dendam tersendiri bagi koalisi merah putih. Mulai dari gugatan soal hasil pilpres, revisi UU MD3, hingga pengesahan RUU Pilkada, yang mengembalikan pilkada kepada DPR.Pengembalian Pilkada terhadap DPR tentu merupakan sebuah dekadensi demokrasi. Hal tersebut tentu menegaskan bahwa demokrasi yang telah dibangun, dan sedang bertumbuh telah dicederai oleh egosentris para kaum hipokrisi. Banyak reaksi penolakan yang muncul, hingga wacana untuk melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Memang pada kenyataannya, pemilihan langsung, tidak menelan biaya yang sedikit. Banyak praktek-praktek kotor yang terjadi, entah itu politik uang, kampanye hitam, dan lainnya. Namun tidak bisa dipungkiri dengan diberlakukannya pemilihan langsung, Indonesia telah tumbuh sebagai Negara yang menjunjung tinggi demokrasi, walaupun masih dalam proses pembelajaran menuju Negara demokrasi yang dewasa.

Seolah-olah gerakan reformasi yang tidak sedikit menelan korban, bahkan masih ada 13 aktivis hingga saat ini belum ditemukan dan dinyatakan hilang, seakan proses tidak mendapat perlakuan yang bijak dari para penyelenggaraNegara kita.Pengesahan RUU Pilkada telah menjadi bukti, bagaimana mereka-mereka yang haus kekuasaan rela menodai demokrasi itu sendiri.

Apa yang bisa kita harapkan dari mereka?. Tentu harapan masih tetap dan akan ada, terlebih munculnya kepemimpinan populis yang diperlihatkan Jokowi, bersama koalisi Indonesia hebat, dan dengan dukungan relawan, kita tentu menaruh harapan terhadap perbaikan bangsa kedepannya. Namun, tidak mutlak dan tidak ada jaminan yang konkret dari mereka. Disatu sisi dukungan koalisi mereka melalui parlemen yang kurang memadai, di sisi lain, oknum-oknum dalam lingkaran koalisi mereka masih memiliki catatan hitam masa lalu, dan tidak menjamin bahwa mereka akan berjuang secara total demi kepentingan rakyat. Bahkan kaum hipokrisimengatakan bahwa politik itu dinamis dan fleksibel.

Kita hanya bisa berharap pada gerakan-gerakan yang dibangun berdasarkan moral, berdasarkan keterpanggilan kita terhadap perbaikan nasib bangsa. Kepada para pemuda/i, mahasiswa/i, kaum cendikiawan, dan manusia-manusia Indonesia yang tetap dan masih rindu terhadap perubahan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Kita masih memiliki hak untuk memperjuangkan hak kita.

Harvested from: http://politik.kompasiana.com
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: