Ekonomi Liberal versus Ekonomi Syariah (2)

Author : Aries Musnandar | Wednesday, September 10, 2014 10:03 WIB

(mengkaji-cermati persoalan ekonomi umat)

Nilai-nilai ekonomi liberal bertumpu pada kebebasan, tidak boleh ada proteksi, survival from the fittest, mekanisme pasar bebas dalam era globalisasi, kapitalisasi usaha dan berbagai prinsip lain yang merupakan jargon-jargon utama dalam ekonomi liberal. Berangkat dari ciri khas dan karakteristik ekonomi liberal tersebut, sesungguhnya ekonomi liberal bukanlah sistem ekonomi yang tepat untuk memupuk kebersamaan, berkeadilan, gotong royong dan kesetiakawanan sesama warga masyarakat. Niat dan orientasi pelaku sistem ekonomi yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Barat ini semata-mata ingin mendapatkan keuntungan maksimal, kebutuhan terpenuhi, keinginan terpuaskan dan keberhasilan selalu dikaitkan dengan sesuatu yang kongkrit bersifat kebendaan (materialsme).

Menurut prinsip ini semakin Anda kaya semakin Anda dianggap bahagia atau disebut masyarakatnya sebagai manusia sukses. Hitung-hitungan kesuksesan selalu diukur dari kepemilikan harta dan oleh karenany dimata masyarakat dinilai berada pada kelompok status sosial tinggi diantara kumpulan masyarakat lainnya. Sehingga prinsip-prinsip ekonomi liberal ini dapat memicu dan memacu manusia untuk menjadi kaya, sekaya-kayanya dan memiliki prestasi tinggi setinggi-tingginya agar Anda dapat dianggap oleh masyarakat penganut cara pandang liberal ini sebagai manusia sukses.

Orientasi orang-orang yang berada dalam cengkeraman ekonomi kapitalis ini adalah duniawi belaka karena mereka tidak percaya dengan agama yang dapat mengurusi masalah dunia, oleh karena itu sesungguhnya ekonomi liberal akan berhasil apabila dibarengi dengan implementasi sekulerisme (seakan-akan menjadi agama baru mereka) yakni suatu ajaran yang memisahkan antara nilai-nilai (dogma dan doktrin) agama dengan aktivitas kehidupan mereka termasuk dalam aktivitas ekonomi. Agama tidak boleh mencampuri urusan manusia di dunia dari berbagai aspeknya seperti ideologi, politik, sosial budaya termasuk ekonomi. Bagi mereka agama bukan pemecah masalah kehidupan manusia di dunia, bukan solusi permasalahan manusia dan malah dapat menghambat aktivitas manusia untuk berkarya dimuka bumi secara bebas dan merdeka. Agama dibatasi pada hubungan ritual langsung kepada Tuhan dan tidak diikutsertakan dalam menumbuh-kembangkan ilmu pengetahuan karena berdasarkan bukti sejarah kalangan agama kerap keliru serta merusak mekanisme keilmuan sebagaimana pernah terjadi pada peristiwa Galilei Galileo.

Dalam perjalanan sejarah keilmuan Barat telah dapat dibuktikan bahwa kalangan agamawan dengan segala keyakinan yang dimilikinya ternyata lebih banyak menghambat berkembangnya kreativitas ilmuwan ketimbang menjadi sumber inspirasi para ilmuwan. Semua ilmu yang berkembang di Barat termasuk ilmu ekonomi liberal bersifat "bebas nilai" dalam arti tidak memiliki nilai-nilai (agama) tertentu, tidak berpihak dan netral yang dipercaya telah berhasil mengantarkan kemajuan sains dan teknologi seperti sekarang ini. Oleh karena itu, niat, orientasi, motivasi dan atau landasan perilaku manusia dalam sistem liberal ini telah membentuk worldview tersendiri yang bebas dari pengaruh nilai-nilai keagamaan tertentu. Namun demikian, kehidupan yang mereka jalani bukan berarti tidak memiliki norma, nilai-nilai moral dan etika.

Spiritualisme yang dibangun dalam masyarakat liberal saat ini tetap berlandaskan akal sehat (kekuatan aqliyyah) semata tanpa bimbingan wahyu Illahi (dalil naqliyyah). Dalam sistem ekonomi liberal pemilik modal mempunyai peluang besar untuk menjadi lebih kaya lagi, sementara bantuan terhadap mereka yang tidak memiliki modal dari pemegang kekuasaan (pemilik modal) tetap dalam koridor hitung-hitungan ekonomis dan hal ini sudah merupakan hal lumrah yang dikenal dengan istilah "taken for granted".

Kepedulian atau belas kasih dalam membantu sesama lebih didasarkan pada patokan hati nurani yang dimiliki mereka tanpa tentunya bimbingan dalil naqliyyah. Seperti diketahui bahwa setiap manusia normal senantiasa memiliki hati nurani dan dengan hati nurani itu manusia dapat menjalankan juga fungsi-fungsi spiritualismenya yang mengedepankan nilai-nilai moral dan etika. Oleh karena tidak mengenal ayat-ayat Allah maka dalam mewujudnyatakan fungsi hati nurani bisa saja mereka bersetuju dan menaruh perhatian pada bisnis yang bersifat spekulatif (judi dan sejenisnya), karena usaha yang dijalankannya tidak perlu dan tidak ingin bersandar pada nilai agama tertentu.

Persetujuan dan keberpihakan pada kegiatan bisnis perjudian tersebut merupakan salah satu bentuk penggunaan hati nurani manusia yang tidak dibimbing dan terbimbing oleh wahyu Illahi. Dalam koridor agama sangat jelas petunjuknya bagi manusia dalam beraktivitas ekonomi dan bisnis yang melarang perjudian. Meski mengandung implikasi sosial dan personal, namun mudharat dari kegiatan bisnis ini lebih besar dari pada manfaatnya. Wallahu'alam . . . (bersambung)

Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: