Tidak Satunya kata dan Perbuatan Elite Bangsa
Oleh Aries Musnandar
Pemerhati/Pengajar Kepemimpinan
Seorang yang pernah menuntut ilmu dan tinggal lama di Jepang mengatakan bahwa kelebihan sifat dan sikap bangsa Jepang adalah memiliki gengsi rendah tetapi rasa malu tinggi. Dengan karakter bangsa Jepang seperti ini mereka mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kita saksikan Negara Jepang kini termasuk Negara maju yang diperhitungkan oleh Negara maju lainnya. Kekuatan watak dan kepribadian bangsa Jepang seperti yang disebutkan diatas menjadikan Jepang bangkit dari keterpurukan negaranya usai Perang Dunia kedua. Para pemimpinnya berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merata. Rasa malu yang tinggi terutama manakala orang Jepang dipercaya untuk menjalankan tugas-tugas kemasyarakatan atau yang melibatkan banyak orang (publik).
Pejabat publik yang diberikan amanah untuk menjalankan tugas akan merasa malu apabila yang bersangkutan tidak mampu menyelsaikan tugas dengan baik. Manakala publik dan media massa menyoroti pejabat yang tidak pantas atau dianggap tidak etis maka serta merta sang pejabat akan muncul rasa malu dan biasanya ia akan mundur dari jabatan nya. Mereka (bangsa Jepang) sangat malu, jangankan terlibat masalah hukum disorot media massa atas perkataan yang kurang pantas bisa membuat ia dengan kesadaran yang tinggi meminta maaf dan langsung meletakkan jabatan. Kemudian ia tidak lagi ingin menjadi pejabat publik. Jadi Anda bisa bayangkan betapa tinggi rasa malu bangsa Jepang khususnya para elite pejabatnya.
Dilain pihak bangsa Jepang tidak mementingkan gengsi, misalnya apabila selaku pejabat publik ia memandang perlu untuk berempati terhadap pekerjaan anak buahnya sebagai petugas kebersihan, maka ia tidak sungkan-sungkan untuk suatu saat bekerja menjadi petugas kebersihan. Kegiatan blusukan dan bermacam aktivitas lain jika memang diperlukan akan segera dilakukan tanpa peduli status sosial yang disandangnya, tidak ada gengsi-gengsiaan. Seandainya ia telah berjanji atau melontarkan kata-kata dihadapan publik, mereka (pejabat) pantang menarik ucapannya, prinsipnya adalah satunya kata dan perbuatan. Meski diimingi jabatan yang lebih tinggi berada didepan mata ia tetap bergeming untuk memenuhi janjinya menyelesaikan tugas dengan baik. Ia akan malu kalau ternyata tidak dapat menyelesaikan tugas dengan baik sebagaimana sumpah atau janji yang diucapkan. Karakter seperti ini hampir merata dimiliki bangsa Jepang, mereka tidak hanya memiliki rasa malu tinggi tetapi juga tidak memiliki gengsi yang menghambat tugasnya dalam menyelesaikan pekerjaan.
Manusia bisa saja tidak memiliki gengsi tetapi rasa malunya rendah, jarang yang memiliki watak bagus keduanya seperti yang dimiliki bangsa Jepang. Dalam konteks di Indonesia persoalan gengsi masih melekat pada diri banyak elite pejabat kita. Ketika ada pejabat yang gengsinya tinggi maka pejabat itu lebih banyak minta dilayani ketimbang melayani serta biasanya pejabat ini lebih banyak memerintah dari pada turun langsung kebawah sebagai bagian dari kebiasaan yang dilakukan. Oleh karena itu ketika ada sedikit dari pejabat kita yang melakukan kegiatan tidak bergengsi seperti blusukan, tidak berjarak dengan rakyat, ikut membersihkan ruang publik bersama petugas kebersihan dan kegiatan semacamnya, maka pejabat itu akan disukai oleh rakyat banyak. Itu sebabnya elektabilitas pejabat itu menjadi tinggi.
Namun sayang, elite pejabat kita masih rendah rasa malunya. Ada pejabat yang disorot publik habis-habisan tetapi tetap saja tidak ingin mundur dari jabatan bahkan mengatakan bahwa jika mundur berarti melanggatr amanah rakyat. Singkatnya, banyak cara dan alasan untuk mempertahankan jabatannya tanpa rasa malu. Lalu banyak lagi elite pejabat yang rendah rasa malunya meski mungkin ada juga pejabat yang tidak gengsi tetapi rasa malunya rendah. Hal ini terbukti dengan ilustrasi sebagai berikut. Seorang pejabat yang belum menyelesaikan tugasnya dalam periode yang ditentukan lalu sudah loncat ikut kontestasi pemilihan kepala daerah yang lebih tinggi. Setelah memenangkan kontestasi tersebut, tidak lama kemudian dengan alasan mendapat mandat pimpinan partainya sang pejabat ini mengikuti kontestasi kepemimpinan berikutnya yang lebih tinggi. Padahal periode tugas yang diemban belum habis dan unjuk kerja yang diperlihatkannya pun belum sesuai janji ketika ia berkampanye dulu.
Di negeri ini begitu mudahnya orang ingkar dan berkhianat dengan janji dan ucapannya sendiri. Apa yang diucapkan ketika ia berkampanye mengikuti kontestasi dan apa yang diucapkan ketika ditayangkan media massa seolah dianggap angin lalu tak berbekas sedikit pun dalam dirinya. Serasa tak bersalah ia pun menganggap enteng ucapan-ucapan didepan publik selama ini yang diliput media massa untuk mewujudnyatakan berabagai janji yang pernah terungkap dalami periode masa baktinya.
Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan sang pejabat ini tidak memiliki rasa malu, tidak memberikan contoh keteladanan yang baik bagi rakyat. Etika, kepantasan dan persoalan moral dianggapnya persoalan sepele, tidak penting dan menjadi relatif sehingga dengan mudah ia berperilaku mencla mencle. Padahal, Bung Karno sang idola pejabat ini pernah mengingatkan bangsanya untuk menyatukan kata dengan perbuatan tetapi ternyata sang elite pejabat mengangkangi kata-kata bertuah "the big boss" nya sendiri.