Seluruh hutan rimba sedang gundah gulana. Raja Singa sang penguasa sudah tidak mau lagi menjadi raja hutan. Sudah tua, ingin berhenti dari kesibukan dunia. Mendamba hidup tenang bersama anak cucu menghabiskan hari tua di istana dekat tepian danau yang asri,tenang dan jauh dari hiruk pikuk urusan dunia. Madep pandito ratu,banyak ibadah mensucikan diri dari dosa-dosa masa lalu. Mumpung masih ada sisa usia. Mumpung namanya masih harum dan di hormati para binatang sebangsanya. Itu tekadnya tak boleh di ganggu siapa-siapa.
Tapi para penghuni hutan sepeninggal raja singa justru gonjang ganjing, kisruh. Perebutan tahta sudah di depan mata. Yang merasa kuat dan berpengaruh saling tebar pesona dan unjuk kuasa. Para Buaya, macan, banteng, gajah dan garuda bersiap-siap merebut singgasana. Setelah kasak kusuk kesana kemari dan saling jegal satu sama lain akhirnya calon raja tinggal dua saja. BANTENG dan GARUDA. Banteng punya pengaruh di daratan serta air dan garuda punya pengaruh di pepohonan dan udara. Para binatang besar lainya milih milih kepada siapa mereka akan memberikan dukunganya.
Untuk memuluskan jalan menujun istana para calon raja punya berbagai cara. Salah satunya membentuk pasukan juru bicara. Dari kalangan garuda selaku juru bicara terpilih burung Beo, dan dari daratan kelompok calon raja banteng para bebek jadi tukang bicaranya. Itu pilihan tepat. Burung beo memang paling pintar menirukan suara majikanya dan bebek juga selalu bunyi kwek-kwek tak akan berubah ubah suaranya.
Pagi, siang,sore dan malam burung beo terbang berkeliling rimba raya menirukan isi pesan burung garuda. Demikian juga para bebek keluar masuk hutan berpindah pindah mulai dari lahan kering, lumpur sampai di sungai dan danau mengajari para penghuni hutan agar bisa berbunyi “KWEK”. Riuh gadus suara beo dari pepohonan dan suara bebek dari daratan. Bising dan membosankan. Penghuni hutan sebenarnya tidak nyaman. Beo dan bebek berebut saling menjelek-jelekkan calon raja sainganya. Entah bohong atau omong kosong. Tidak peduli benar atau bukan. Semua di suarakan demi mencari dukungan. Kalau ada yang beda pendapat dan tidak mendukung maka para beo dan bebek akan ramai-ramai memuntahkan suaranya kepada asal suara yang berbeda itu. Bila perlu mulut si beda suara tadi di carikan getah karet dan di rekatkan, sekuat kutanya.
Kegaduhan hutan rimba nusantara itu terdengar hingga macanegara ,memacing datangya dua ekor ular besar dari negri sebrang. Ular Hijau dan ular putih yang sudah bertapa ribuan tahun itu bertandang ke hutan rimba nusantara raya. Di tengah perjalan di tepi hutan pinggir laut ular hijau dan ular putih bertemu seorang Wali. Dengan kemampuan mencolo putro-mencolo putri (merubah bentuk tubuh dan menyamar), kedua ular sakti itu mampir ke pertapaan sang wali.
“Kanjeng wali, ada apakah di hutan ini kenapa gaduh sekali terdengar hingga jauh keluar nagari?” Tanya si ular putih yang berkulit putih.
“Engkuau sudah tahu, kisanak..jangan berpura-pura” jawab wali
“Sungguh kami belum tahu..” si ular hijau menimpali sambil berusaha menutupi kulitnya yang kuning kehijauan karena belum sempurna ilmunya seperti si ular putih.
“Ketahuilah…” kata kanjeng wali.” Para penghuni rimba nusantara sedang memilih raja.”
“Tapi mengapakah sebegitu ramainya?”
“Disini sedang terjadi perebutan kekuasann menentukan calon raja, antara banteng melawan garuda. Dan suara gaduh yang kau dengar Itu hanya suara beo dan bebek yang mencari pengaruh dengan menjual suara mereka yang tidak merdu. Jangan kau hiraukan” ungkap kanjeng wali
“Tapi bukankah bebek dan beo bukan calon raja, mengapa suara mereka labih keras dari suara banteng dan garuda?”
“Entahlah…bisa jadi memang antara mereka saling ada kepentingan dengan para calon raja, sepertinya justru beo dan bebek ini yang makin memperkeruh dan memusingkan seisi hutan dengan nyanyian mereka yang ngawur itu”
“Begitukah,..sebegitu kisruh dan gemparnya sampai suaranya melintasi kolong langit, sungguh sebuah kehancuran akan terjadi jika para binatang memperbutkan kuasa dengan mengkhalalkan segala cara” serempak ular hijau dan ular putih berkata.
“jangan berkata begitu,…aku tahu kalian juga binatang” sang wali tersenyu.
“Maafkan kami yang rendah ini mencoba mengelabui pandangan mata wali…kami memang binatang, itulah sebabya kami bertapa ribuan tahun untuk merubah diri menjadi manusia..” kedua ular jujur diri uangkapkan jati dirinya.
“menurutku hentikan tapamu…Nanti kau akan menyesal jika terkabul wujudmu menjadi manusia”
“Mengapa wali..?”
“lebih bahagia menjadi binatang”
“benarkah wali?”
“Benar, percayalah”
“Lihatlah kelakukan para manusia. Mereka sekarang bisa berbuat sama seperti binatang, bahkan lebih hina. “
“sebegitu rendahkan mereka dari kami?”
“coba renungkan ..binatang hanya saling bunuh, sedangkan manusia bisa saling fitnah, dan mau mengkhalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Engkau sudah tahu fitnah lebih kejam dari pembunuhan itu sendiri. korban pembunuhan mati seketika dan usai rasa sakitnya, sedang Korban fitnah akan merasakan sakit sepanjang sisa umurnya sampai ajal menjemputnya”
“jadi sebaiknya kami tetap menjadi binatang saja, mohon nasehat wali…”
“menurutku begitu..”
“Bukankah tuhan menjadikan manusia sebagai makhluk paling mulia?”
“memang benar begitu. Manusia bisa menjadi lebih mulia daripada malaikat, jika dia mendekatkan sifat dan perilakunya dengan meniru sifat-sifat tuhan, seperti sifat kasih sayang, santun, lembut atau sejenisnya” kanjeng wali bertutur. “Tapi ingat manusia juga bisa lebih hina dari binatang, jika memperturutkan sifat-sifat buruk, seperti berbohong, memfitnah, menipu,licik atau sejenisnya” lanjut kanjeng wali “ menjadi binatang itu lebih enak dan mudah…tidak di tuntut tanggungjawab dunia sampai akhirat. Segala hasrat kebinatangan bisa di salurkan tanpa beban, hubungan sexual bisa dengan siapa saja. tidak perduli anak atau orang tuanya sendiri. Tidak perduli teman atau tetangga, selagi mau dan bisa, semua mungkin untuk dilakukan. Semua hanya berdasarkan kuasa. Siapa yang kuat itulah sang penguasa. Setelah jadi peguasa melakukan apapun bisa, tanpa harus bertanggungjawab kepada yang maha kuasa, tidak perlu takut neraka.benar bukan?”
“Benar wali…kami baru mengerti. Mohon pamit wali…doakan saja kami tetap jadi binatang, jangan jadi manusia, saya kuatir tidak kuat menjadi manusia”.