*)Pemerhati Pendidikan Politik
Sebagai manusia yang berbalut dengan salah dan dosa kita mengerti bahwa semua pasangan Capres Cawapres yang akan bersaing pada Pilpres 2014 mendatang tentulah tidak luput dari kelemahan dan kekurangan. Mereka tetap seorang manusia bukanlah malaikat yang patuh dan hanya taat pada perintah sang Maha Kuasa. Tetapi mereka juga bukan jin iblis yang tugas utama dan satu-satunya hanyalah untuk menjerumuskan manusia ke lembah kenistaan.
Namun sebagai pemilih tentu kita mesti jeli dan mendalami makna dari nilai suatu integritas, kejujuran, kesantunan berperilaku yang menyatu dalam sebuah keagungan akhlak. Dalam bidang apapun termasuk politik semestinya tidak terkecuali keagungan akhlak dimilki para pelakunya. Oleh karena itu wacana merevolusi mental rakyat harus didahului untuk terlebih dahulu merevolusi mental sang calon Presidennya.
Tulisan ini mungkin dianggap tendensius bagi pendukung salah satu Capres Cawapres, tetapi sesungguhnya sebagai pemerhati pendidikan politik saya hanya ingin mengungkap apa adanya dari sisi budi pekerti. Bukankah wacana revolusi mental terkait dengan budi pekerti? Tentu budi pekerti agung itu mesti dimilki terlebih dahulu oelh sang pencetusnya. Jika ada yang tidak sependapat dengan tulisan ini tentu saja dipersilahkan dengan menorehkan tulisan sebanding, sehingga ide dilawan dengan ide, opini lawan opini, biar para pembaca yang menilainya.
Tersebutlah kisah aktual dan nyata yang publik sudah mengetahuinya bahwa Pak Jokowi dan Pak Prabowo dulu berteman dalam politik praktis tepatnya dalam pemenangan pemilihan gubernur DKI Jakarta. Publik juga tahu betapa Pak Prabowo berjuang sedemikian rupa. Singkat cerita Pak Jokowi menjadi Gubernur DKI. Lantas apa yang terjadi kini? Sekarang keduanya bersaing, sama-sama memperebutkan kursi Presiden RI 1. Padahal sang Gubernur itu baru saja menjalankan amanah rakyat dan sempat berucap dan berjanji untuk menyelesaikan tugasnya dalam 5 tahun mendatang. Menarik mengutip pernyataan Prof. Imam Suprayogo bahwa politik adalah pertarungan, yakni perebutan kekuasaan. Perebutan itu bisa jadi dengan siapa saja. Dalam politik ternyata, kawan dan lawan tidak pernah permanen. Sebelumnya, beberapa orang berposisi menjadi teman, tetapi kemudian menjadi lawan atau pesaing, dan begitu pula sebaliknya.
Jika politik dikonotasikan sebagaimana yang diungkap mantan Rektor UIN Malang itu maka politik menjadi tidak mengenal balas budi, tidak ada imbal balik dalam politik. Fenomena seperti ini yang mendegradasikan nilai politik itu sendiri sehingga awam menganggap politik sesuatu yang "kotor" dalam arti tidak didasari keagungan akhlak para pelakunya. Bagi mereka yang terpenting dalam berpolitik adalah memperoleh kekuasaan meski "menyakiti" orang lain yang sebenarnya dulu adalah kawan sejati. Perilaku elite politik seperti ini yang menurunkan nilai suci dari politik itu.
Dalam konteks perebutan kekuasaan yang dilandasi keagungan akhlak saya ingin mengungkap suatu perilaku yang dicontohkan Amien Rais manakala poros tengah sedang memilih calon Presiden di tahun 1999. Amien Rais terlebih dulu menyampaikan secara lisan kepada Gus Dur bahwa ia mendukung Gus Dur maju menjadi Presiden RI menggantikan Habibie. Namun ternyata setelah penyampaian dukungan itu sejumlah tokoh nasional berharap Amien Rais lah yang maju bertarung dari poros tengah. Kemenangan sudah hampir pasti karena Pilpres pada masa itu dilakukan melalui pemungutan suara anggota DPR yang jumlah anggota DPR dari poros tengah melebihi kubu pesaingnya.
Amien Rais meski sempat galau tetapi akhirnya tetap bersikukuh agar Gus Dur yang jadi Presiden. Beliau tidak mau mencabut apa yang diucapkannya meski tidak ada bukti tertulis atau pun rekaman perbincangan, tetapi keputusan Amien ini sangat dalam artinya bagi pengejawantahan nilai-nilai integritas dan kejujuran. Orang boleh saja rajin sholat dan mengaku Muslim tetapi dalam situasi yang dihadapi Amien Rais itu belum tentu orang itu akan rela dan berjiwa besar memberikan kesempatan pada orang lain. Contoh seperti yang diperlihatkan Amien Rais sungguh langkah di negeri ini.
Kembali kepada Pak Jokowi dan Pak Prabowo, bahwa pada Pilkada DKI 2012 lalu semua orang tahu termasuk Pak Jokowi bahwa Pak Prabowo itu akan maju Pilpres 2014, sehingga diharapkan Pak Jokowi nantinya juga dapat berkawan pula dalam Pilpres mendatang. Tetapi yang terjadi kemudian sungguh tidak pantas dan layak untuk dikatakan sebagai pendidikan politik karena akhirnya malah Pak Jokowi "menantang" Pak Prabowo. Selaku pemerhati perilaku dan kelakuan elite bangsa saya hanya bisa mengelus dada dan menggeleng-gelengkan kepala dalam arti menyesalkan perilaku seperti ini muncul dari seorang calon Pemimpin bangsa. Politik akhirnya bisa menjurus pada "menghalalkan" segala cara untuk merebut kekuasaan, sesuatu yang amat sangat menyedihkan bagi wacana revolusi mental yang digaung-gaungkan Pak Jokowi.