Beberapa hari terakhir hampir semua media memberitakan tentang sekolah internasional (Jakarta International School).
Memang kita ini sepertinya seringkali mengejar atau gumon dengan istilah international. Kita menganggap bahwa kalau sudah Internasional pasti lebih keren dan lebih hebat. Kita mengenal seminar international, jurnal international, sekolah international, ICP/international class program, kerjasama international, universitas kelas international/universitas kelas dunia (WCU) dll.
Seringkali namanya international tetapi kenyataannya hanya sekedar nama. Suatu ketika mengikuti seminar internasional disebuah kampus…, memang pembicaranya dari luar negeri.., tetapi setelah ditanya ternyata pembicaranya orang biasa yang dimanfaatkan oleh kampus tersebut (karena bule tersebut butuh dan pingin mempunyai rekam jejak bahwa pernah ceramah dinegara lain)…, sehingga kadangkala apa yang disampaikan tidak nyambung terkait dengan kepentingan dalam negeri.
Begitu juga dengan jurnal internasional, seringkali para akademisi mengejar untuk bisa publikasi pada jurnal internasional dalam rangka tuntutan kenaikan pangkat, meskipun jurnal internasional itu berimpact factor rendah dan harus bayar mahal…, tetapi yang penting dimuat dijurnal internasional sehingga bisa naik pangkat dan bisa menjadi guru besar.
Kerjasama international juga seringkali berhenti di dokumen MOU, tidak lebih dari 1 persen kerjasama yang benar-benar dilakukan oleh berbagai institusi. Kadangkala yang dipentingkan hanya dokumennya saja, sehingga bisa dianggap keren karena telah bekerjasama dengan pihak dunia internasional walaupun hanya sekedar dalam dokumen.
Kelas Internasional, Sekolah Internasional (sudah dibubarkan) ataupun universitas kelas dunia seringkali hanya digunakan untuk keren-kerenan, sehingga pasarnya bisa lebih luas dan bisa banyak menyerap calon siswa dan bisa menarik spp yang lebih mahal.
Melihat berita tentang apa yang terjadi di JIS…….. semakin terlihat tingginya kesenjangan sekolah sekolah yang ada dinegeri ini. Pendidikan adalah hak warga negara. Dan yang dimaksud pendidikan adalah pendidikan dalam arti sesungguhnya, bukan pendidikan dengan standar minimal atau pendidikan semu. Bukan juga pendidikan yang dilebih-lebihkan dengan tambahan-tambahan yang tak perlu sehingga justru bertentangan dan mengurangi kualitasnya.
Pemerintah bertugas mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang baik untuk semua warga negara, bukan hanya untuk sekelompok orang. Standar nasional pendidikan semestinya adalah standar yang baik dan jika dipenuhi akan menghasilkan orang-orang yang berkualitas baik, cerdas, kompeten serta memberi kontribusi kepada masyarakatnya.
Pemerintah seharusnya mengusahakan kesetaraan pendidikan nasional dalam arti mengusahakan mutu sekolah yang baik untuk sekolah mana pun di Indonesia. Pemerintah semestinya berupaya mencegah terjadinya kesenjangan mutu antara sekolah-sekolah yang ada di Indonesia sesuai dengan tingkatannya masing-masing.
Melihat berita tentang JIS juga terlihat bahwa sekolah dapat membentuk kasta/kelas di masyarakat. Implementasi Sekolah Internasional/ atau internasionalnya dihapus tetapi diembel-embeli menjadi sekolah ungguanl atau sekolah mahal menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan, bukan hanya di antara sekolah-sekolah, melainkan juga antar siswa dalam satu sekolah. Sekolah Internasional atau sekolah dengan embel-embel unggulan seringkali bersifat diskriminatif.
Kadang kala sekolah yang ada embel-embelnya dilapangan juga memberi dampak negatif, baik masalah finansial, diskriminasi, ketidak-siapan sekolah dan guru-gurunya yang mendorong timbulnya kemunafikan, kepura-puraan, sok berkualitas (kualitas palsu). Banyak sekolah atau kampus yang membuka kelas internasional dengan harapan dapat menghasilkan uang banyak karena memang biaya yang harus ditanggung orang tua sangat besar.
Ada kesan, bahwa peningkatan mutu identik dengan penambahan biaya pendidikan, padahal semestinya mutu pendidikan yang baik adalah hak setiap warga negara. Hal ini mengakibatkan adanya kecenderungan membeda-bedakan siswa yang orang tuanya mampu membayar lebih dengan siswa yang orang tuanya tak mampu membayar lebih. Sehingga seringkali masyarakat menganggap bahwa Kualitas pendidikan diidentikkan dengan tinggi-rendahnya biaya pendidikan.(Kapitalisme Pendidikan).
Di masyarakat ada anggapan bahwa apabila orang tua tidak bisa membayar mahal, berarti anaknya akan mendapatkan sekolah yang rendah mutunya/yang penting sekolah. Masyarakat sudah menganggap wajar bahwa ada kesenjangan pendidikan, wajar adanya ketidaksetaraan di masyarakat.
Di masyarat juga ada kecenderungan membeda-bedakan orang berdasarkan kemampuan financial, akibat dari kesenjangan dalam perolehan pendidikan. Dan yang menjadi masalah ketika kecenderungan itu juga melanda siswa. Sehingga dalam diri siswa juga timbul pikiran bahwa “saya berbeda dengan siswa yang sekolahnya disekolah murah”. Saya berbeda dengan siswa yang berada dikelas borju. Yng pada akhirnya siswa mempunyai anggapan dalam dirinya akan adanya kelas-kelas (pengkotakan) dalam masyarakat.
Jadi apa yang harus dilakukan….
Pemerintah harus mengusahakan kesetaraan pendidikan nasional dalam arti mengusahakan mutu sekolah yang baik untuk sekolah mana pun di Indonesia. Dan institusi pendidikan harus berorientasi dan memformulasikan untuk mencerdaskan bangsa dan mengembangkan potensi yang sesuai dengan konteks-sosial masyarakat Indonesia, demi kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Dan kita tidak perlu latah, tidak perlu ikut-ikutan menggunakan istilah internasional, kelas internasional, kelas dunia ataupun WCU.