lustrasi
Oleh: Djoko Subinarto
Kemacetan di Kota Medan harus secepatnya ditangani agar tidak semakin parah dan menimbulkan kerugian ekonomi yang semakin besar.
Seperti juga kota-kota besar lainnya di Indonesia, kemacetan lalu-lintas telah menjadi pemandangan sehari-hari di Kota Medan. Kemacetan ini merupakan salah satu konsekwensi yang harus ditanggung oleh Medan seiring terus bertambahnya jumlah kendaraan bermotor yang menyesaki jalan-jalan di kota ini.
Di samping membuat lingkungan kian tidak sehat, kemacetan juga menimbulkan gangguan terhadap aktivitas bisnis dan ekonomi. Dalam karyanya bertajuk Measuring the Economic Costs of Urban Traffic Congestion to Business, Weisbrod et al (2003) menyebutkan bahwa kemacetan menaikkan biaya perjalanan, menaikkan biaya logistik serta menurunkan produktivitas. Nominal kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu-lintas ternyata tidak sedikit. Kajian yang pernah dilakukan oleh SITRAMP (Study on Integrated Transportation Master Plan), misalnya, menyebut kerugian akibat kemacetan bisa mencapai Rp 12,8 triliun per tahun.
Secara sederhana, kemacetan terjadi lantaran panjang serta lebar jalan tidak seimbang dengan jumlah kendaraan. Logikanya, cara paling gampang untuk mengatasi kemacetan adalah dengan menambah panjang jalan dan lebar jalan yang ada.
Namun, menambah panjang dan lebar jalan tidak selalu bisa dilakukan. Yang paling mungkin adalah membuat jalan baru, seperti dengan membuat jalan tol di dalam kota. Sampai batas tertentu, membangun jalan tol dalam kota memang dapat mengatasi kemacetan lalu-lintas. Akan tetapi, kebijakan seperti ini cuma mengatasi kemacetan untuk sementara waktu jika tidak disertai dengan upaya-upaya lainnya, mulai dari membenahi manajemen transportasi, pengadaan transportasi massal yang murah, nyaman serta aman, pembatasan jumlah kendaraan bermotor hingga ke pendidikan disiplin berlalu-lintas warga kota.
Ambil contoh kasus Kota Jakarta. Meskipun ruas jalan tol dalam kota di ibukota kita itu terus bertambah, toh masalah kemacetan lalu-lintas di Jakarta hingga kini masih belum kunjung terpecahkan lantaran tidak dibarengi dengan upaya-upaya signifikan lainnya yang menunjang.
Menurut Stephen Ison, pakar transportasi asal Universitas Loughborough, Inggris, pembangunan jalan baru, seperti jalan tol dalam kota, sesungguhnya bukan solusi tepat untuk mengatasi kemacetan. Dalam pandangan Ison, pembangunan jalan baru justru membawa dampak negatif dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Jam kerja
Dari segi waktu, kemacetan sering terjadi tatkala para pekerja secara serentak berangkat dan pulang pada jam-jam yang sama. Dengan melakukan manajemen waktu seperti mengatur jam/shift kerja, kemacetan sesungguhnya bisa dikurangi. Contohnya, untuk mengatasi masalah kemacetan ini, tidak sedikit perusahaan di luar negeri kini mulai memberlakukan empat hari kerja bagi para karyawannya. Jumlah 40 jam kerja sepekan dengan lima hari kerja diubah menjadi 40 jam kerja sepekan dengan empat hari kerja. Dengan demikian, durasi kerja yang semula delapan jam kerja per hari berubah menjadi sepuluh jam kerja per hari.
Di samping itu, penerapan pola kerja jarak jauh (telework) dapat pula menjadi pilihan untuk ikut mengatasi kemacetan lalu-lintas. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, saat ini para karyawan kantor/perusahaan bisa saja bekerja dari rumah mereka masing-masing. Mereka tidak perlu rutin pergi ke kantor/perusahaan mereka saban hari. Tugas-tugas kantor dikerjakan di rumah mereka. Di banyak kota di negara-negara maju, sistem kerja jarak jauh ini telah menjadi bagian yang menyatu dengan kebijakan pemerintah kota dalam upaya mengurangi kemacetan lalu-lintas dan pencemaran udara.
Yang tidak kalah penting dalam mengupayakan pemecahan masalah kemacetan seperti yang dialami Kota Medan saat ini adalah bagaimana mengubah gaya hidup masyarakat. Gaya hidup masyarakat harus diarahkan kepada gaya hidup yang bersahaja dan lebih ramah lingkungan.
Lihat saja, masyarakat kita sekarang ini cenderung lebih memilih menggunakan kendaraan bermotor untuk bepergian dari dan ke satu tempat yang nota bene jaraknya tidak terlalu jauh. Padahal, untuk mencapai tujuan yang jaraknya kurang dari dua kilometer, kita bisa tempuh dengan cara berjalan kaki. Sementara untuk tujuan dengan jarak kurang dari duapuluh kilometer, kita dapat tempuh dengan mengayuh sepeda.
Bayangkan, jika saja separuh dari karyawan, separuh dari mahasiswa dan separuh dari pelajar yang ada di seluruh Kota Medan ini mau berjalan kaki dan atau mengayuh sepeda untuk menjangkau tempat-tempat tujuan mereka yang tidak terlalu jauh, niscaya ini akan memberi kontribusi berarti bagi pengurangan tingkat kemacetan dan pencemaran udara di kota ini.
Dalam hal ini, kebijakan pengelola kota yang mampu mendorong warga agar mau menerapkan gaya hidup ramah lingkungan mutlak diperlukan. Di samping menyediakan fasilitas pendukung yang prima bagi para pejalan kaki dan pengguna sepeda serta menyediakan transportasi massal yang benar-benar murah, nyaman dan aman, yang dibarengi dengan aturan pembatasan jumlah kendaraan, pengelola kota dapat pula memberi insentif yang menarik dan memanjakan bagi para warganya yang menerapkan gaya hidup ramah lingkungan. Insentif itu antara lain bisa berupa pemberian keringanan pembayaran pajak, pemberian asuransi kesehatan gratis dan sebagainya.
Pada akhirnya, kemacetan di Kota Medan tidak boleh terus dibiarkan kian parah. Harus ada langkah yang lebih serius untuk mengatasi masalah kemacetan ini, sehingga kerugian lingkungan dan kerugian ekonomi yang ditimbulkannya tidak bertambah besar.