Medan, Macet dan Resiko Ekonomi

Author : kolumnis, alumnus Universitas Padjadjaran, Bandung | Thursday, October 13, 2016

lustrasi

Oleh: Djoko Subinarto

Kemacetan di Kota Medan harus se­ce­patnya ditangani agar tidak semakin pa­rah dan menimbulkan kerugian eko­nomi yang semakin besar.

Seperti juga kota-kota besar lainnya di Indonesia, kema­cetan lalu-lintas telah men­jadi pemandangan sehari-hari di Kota Medan. Kemacetan ini merupakan sa­lah satu konsekwen­si yang harus di­tanggung oleh Medan seiring terus ber­tam­bah­nya jumlah kendaraan bermo­tor yang menyesaki jalan-jalan di kota ini.

Di samping membuat lingkungan kian tidak sehat, kema­cetan juga menim­bul­kan gangguan terhadap aktivitas bis­nis dan ekonomi. Dalam karyanya be­r­tajuk Measuring the Economic Costs of Ur­ban Traffic Congestion to Business, Weis­brod et al (2003) menyebutkan bah­wa kemacetan me­naikkan biaya per­ja­lanan, menaikkan biaya logistik serta me­­nurunkan produktivitas. Nomi­nal ke­ru­gian ekonomi akibat kemacetan lalu-lintas ternyata tidak sedikit. Kajian yang per­nah dilakukan oleh SITRAMP (Study on Integrated Transportation Master Plan), misalnya, menyebut kerugian akib­at kemacetan bisa mencapai Rp 12,8 triliun per tahun.

Secara sederhana, kemacetan terjadi lan­taran panjang serta lebar jalan tidak se­imbang dengan jumlah kendaraan. Lo­gika­nya, cara paling gampang untuk me­nga­tasi kemacetan adalah dengan me­nam­­bah panjang jalan dan lebar jalan yang ada.

Namun, menambah panjang dan lebar jalan tidak selalu bisa dilakukan. Yang pa­ling mungkin adalah membuat jalan baru, seperti dengan membuat jalan tol di dalam kota. Sampai batas ter­tentu, membangun jalan tol dalam kota me­mang dapat meng­atasi kemacetan lalu-lintas. Akan tetapi, kebijakan seperti ini cuma mengatasi kemacetan untuk se­mentara waktu jika tidak disertai de­ngan upaya-upaya lainnya, mulai dari membe­nahi manajemen transportasi, pengadaan transportasi massal yang murah, nyaman serta aman, pembatasan jumlah kenda­raan bermotor hingga ke pendidikan disiplin berlalu-lintas war­ga kota.

Ambil contoh kasus Kota Jakarta. Mes­kipun ruas jalan tol dalam kota di ibu­kota kita itu terus bertambah, toh ma­salah ke­macetan lalu-lintas di Jakarta hing­ga kini masih belum kunjung ter­pecahkan lanta­ran tidak dibarengi de­ngan upaya-upaya signifikan lainnya yang menunjang.

Menurut Stephen Ison, pakar trans­por­tasi asal Universitas Loughborough, Ing­­gris, pembangunan jalan baru, seperti ja­l­an tol dalam kota, sesungguhnya bu­kan so­lusi tepat untuk meng­atasi ke­ma­ce­tan. Da­lam pandangan Ison, pem­ba­ngu­nan jalan baru justru membawa dam­pak negatif da­lam kaitannya dengan ke­les­tarian lingku­ngan dan pem­ba­ngu­nan berkelanjutan.

Jam kerja

Dari segi waktu, kemacetan sering terjadi tatkala para peker­ja secara se­ren­tak berangkat dan pulang pada jam-jam yang sama. Dengan melakukan manaje­men waktu seperti mengatur jam/shift kerja, kemacetan sesungguhnya bisa di­ku­rangi. Contoh­nya, untuk me­nga­tasi ma­salah kemacetan ini, tidak se­dikit peru­sa­haan di luar negeri kini mulai mem­ber­lakukan empat hari kerja bagi para ka­ryawannya. Jumlah 40 jam kerja se­pekan de­ngan lima hari kerja diubah men­jadi 40 jam kerja sepekan dengan em­pat hari kerja. Dengan demikian, du­rasi kerja yang semula delapan jam kerja per hari be­ru­bah menjadi sepuluh jam ker­ja per hari.

Di samping itu, penerapan pola kerja ja­rak jauh (telework) dapat pula menjadi pi­lihan untuk ikut mengatasi kemacetan lalu-lintas. Dengan memanfaatkan ke­ma­juan teknologi infor­masi dan komuni­kasi, saat ini para karyawan kantor/peru­sahaan bisa saja bekerja dari rumah mereka masing-masing. Mereka tidak perlu rutin pergi ke kantor/perusahaan mereka saban hari. Tugas-tugas kantor di­kerjakan di rumah mereka. Di banyak kota di negara-negara maju, sistem kerja jarak jauh ini telah menjadi bagian yang me­nyatu dengan kebijakan peme­rintah kota dalam upaya mengurangi kema­ce­tan lalu-lintas dan pencemaran udara.

Yang tidak kalah penting dalam me­ngupayakan pemecahan masalah ke­ma­cetan seperti yang dialami Kota Medan saat ini adalah bagaimana mengubah gaya hidup masyarakat. Gaya hidup ma­syarakat harus diarahkan kepada gaya hi­dup yang ber­sahaja dan lebih ramah ling­kungan.

Lihat saja, masyarakat kita sekarang ini cenderung lebih memilih mengguna­kan kendaraan bermotor untuk bepergian dari dan ke satu tempat yang nota bene ja­raknya tidak terlalu jauh. Padahal, un­tuk mencapai tujuan yang jaraknya ku­rang dari dua kilometer, kita bisa tempuh de­ngan cara berjalan kaki. Sementara un­tuk tujuan dengan jarak kurang dari duapuluh kilometer, kita dapat tempuh dengan mengayuh sepeda.

Bayangkan, jika saja separuh dari karyawan, separuh dari mahasiswa dan separuh dari pelajar yang ada di seluruh Kota Medan ini mau berjalan kaki dan atau mengayuh sepeda untuk menjangkau tempat-tempat tujuan mereka yang tidak terlalu jauh, niscaya ini akan memberi kontribusi berarti bagi pengu­rangan tingkat kemacetan dan pencemaran udara di kota ini.

Dalam hal ini, kebijakan pengelola kota yang mampu men­dorong warga agar mau menerapkan gaya hidup ramah ling­kungan mutlak diperlukan. Di samping menyediakan fasilitas pendukung yang prima bagi para pejalan kaki dan pengguna sepeda serta menyediakan transportasi massal yang benar-benar murah, nyaman dan aman, yang dibarengi dengan aturan pembatasan jumlah kendaraan, penge­lola kota dapat pula memberi insentif yang menarik dan memanjakan bagi para war­ganya yang menerapkan gaya hidup ramah lingkungan. In­sentif itu antara lain bisa berupa pemberian keringanan pem­bayaran pajak, pem­berian asuransi kesehatan gratis dan sebagainya.

Pada akhirnya, kemacetan di Kota Me­dan tidak boleh terus dibiarkan kian pa­rah. Harus ada langkah yang lebih se­rius untuk mengatasi masalah ke­ma­ce­tan ini, sehingga kerugian lingku­ngan dan kerugian ekonomi yang di­tim­bulkannya tidak bertambah be­sar.

Harvested from: http://harian.analisadaily.com/opini/news/medan-macet-dan-resiko-ekonomi/275359/2016/10/13
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: