Memasyarakatkan Bahasa Daerah

Author : Aries Musnandar | Tuesday, June 03, 2014 11:05 WIB

SEJAK orde baru menggantikan orde lama dimulailah pembukaan kran terhadap berbagai "pengaruh asing" ke negeri ini, termasuk dalam hal penggunaan bahasa.

Kita sekarang menyadari betapa bahasa Inggris demikian mendominasi mempengaruhi cara-cara kita berkomunikasi. Dialek, istilah dan percakapan dengan menggunakan bahasa Inggris tampak sudah memfenomena di negeri ini.

Tidak hanya saat berbicara, tetapi hal-hal yang berbentuk tulisan juga marak kita lihat dan baca menggunakan bahasa asing padahal kita tidak sedang belajar bahasa asing (baca bahasa Inggris).

Kita ambil satu contoh saja betapa papan pengumuman sekolah dan petunjuk-petunjuk di sekolah serta merta diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, walau di sana sini kita tersenyum-senyum membacanya oleh karena diterjemahkan secara keliru. Misalnya, banyak sekolah menerjemahkan kelas 1, kelas 2, kelas 3 dan seterusnya dengan tulisan bahasa Inggris "first class, second class, third claas" dan seterusnya. Terjemahan ini sepertinya  menggunakan istilah "Indonesian English"

Betapa konyolnya kita segala-galanya di "Inggris"kan, apa perlunya sih? Wong orang asing yang datang juga ke sekolah itu hampir dibilang tidak ada. Lagi pula setahu saya tidak semua orang asing bisa berbahasa Inggris.Pengalaman saya berinteraksi dengan orang Eropa (misal Jerman, Perancis, dan lainnya) tidak semuanya suka berbahasa Inggris bahkan banyak yang bangga dengan menggunakan bahasanya sendiri.

Apalagi dengan orang Jepang yang begitu percaya diri dengan jati dirinya. Mereka ini maju justru dengan menunjukkan identitas nasionalnya menggunakan bahasa Jepangnya sebagai bahasa Ilmu pengetahuan. Dahulu setelah perang dunia kedua pemerintah dan masyarakat Jepang dengan cekatan menterjemahkan buku pengetahuan dari bahasa asing ke bahasa Jepang, sehingga buku pengetahuan bahasa Jepang bertebaran disana dan buktinya sekarang mereka menjadi bangsa maju, sederetan dengan bangsa-bangsa maju lainnya.. Di sana informasi ruang-ruang publik memakai bahasa Jepang diutamakan kecuali di wilayah-wilayah wisata atau yang banyak turis asingnya. Demikian juga negara-negara lain yang tidak beraksara latin seperti China, Korea dan Thailand. Tulisan-tulisan khas negara-negara mereka mengiasi ruang-ruang publik disana. Bagaiman dengan di Indonesia? Anda tahu sendirilah!

Tetapi di negeri kita ini hampir-hampir bahasa Indonesia di ruang publik menghilang diganti istilah asing. Padahal kita ini kaya akan bahasa daerah kita punya ratusan bahasa daerah aktif tapi kenapa ini tidak diberdayakan oleh pemerintah dan masyarakat. Kenapa misalnya di pulau Jawa kita tidak mengganti plang nama sekolah yang berbahasa Inggris itu dalam aksara Jawa dan tulisan (bahasa) Sunda untuk Jawa Barat? Dengan memasyarakatkan bahasa daerah, maka anak-anak kita dituntut untuk tetap menjaga bahasa daerahnya agar tidak tergerus dengan bahasa asing.

Bagi daerah yang masih memiliki aksara khusus seharusnya pemerintah setempat menggunakannya untuk informasi di ruang-ruang publik seperti petunjuk jalan, nama jalan atau yang lainnya, tentu saja tanpa meninggalkan bahasa Indonesia. Tetapi bahasa asing tidak perlu kita gunakan jilakau tidak begitu bermanfaat kecuali mungkin di bandara internasional masih tetap diperlukan bahasa Asing (mungkin tidak hanya bahasa Inggris).

Untuk masyarakat di Jawa (Timur) sebaiknya kita galakkan bahasa daerah kita, marilah kita memasyarakatkan bahasa Jawa dan membahasajawakan masyarakat di kampung kita sendiri. Kita harus menjadi tuan rumah di kampung sendiri dan jangan gunakan bahasa asing di ruang publik yang tidak begitu diperlukan. Kemandirian dan kebanggan diri bangsa juga ditandai dengan menghormati dan memelihara serta melestarikan kebudayaan kita sendiri termasuk dalam berbahasa.

Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: