Memilih Capres: Mahalnya Harga Sebuah Ketidakpedulian

Author : Motulz | Tuesday, April 08, 2014 09:50 WIB

Saya pernah dengar cerita bagus dari teman saya kang Roby Muhamad tentang bagaimana Barack Obama menganalogikan hubungan presiden yang akan kita pilih dengan masayarakat yang memilih. Bagaimana pentingnya melihat karakter seorang presiden dalam kaitannya dengan situasi zaman pemilihannya? Kita musti cermat!

Saat itu Barack Obama - orang baru, yang banyak dinilai belum pengalaman, tidak terkenal, bahkan dari ras yang tidak common bagi kebanyakan warga Amerika, harus bertarung suara dengan Hillary Clinton. Seorang wanita yang sudah hafal betul seluk beluk Gedung Putih, negosiasi dengan negara-negara dunia, dan tahu betul bagaimana harus menekan “tombol perang” walau dapat telpon dari jenderal perang di tengah malam sekali pun. Dengan kata lain, secara jam terbang Barack Obama tentu akan keok dibanding Hillary. Lantas apa narasi Obama kepada pada pendukungnya? Ini yang menarik…

Ibarat sebuah bis besar - kata Obama, Amerika adalah bis besar yang penuh dengan alat dan fasilitas yang mendukung semua kebutuhan penumpang. Hillary adalah supir yang baik, mampu membawa kalian kemana UU menyuruhnya. Hillary piawai mengendalikan bus di saat banyak sekali rintangan, lubang, hambatan, bahkan perlawanan dari bus-bus lain yang ingin mengganggu penumpangnya. Itulah hebatnya Hillary dan itulah hebatnya warga Amerika. Akan tetapi bagaimana dengan situasi bus Amerika hari ini?

Suka tidak suka, bus Amerika yang megah ini - lanjut Obama. Bus yang besar dan kuat ini, sedang terpuruk, stag di dalam sebuah lumpur. Lumpur yang perlahan-lahan makin membuat cemas setiap penumpang, ragu, bahkan mulai merontokkan kecemasan di dalam hati semua orang. Semua penumpang seolah gamang dan mulai mempertanyakan sistem keamanan bus. Mereka berada dalam titik terendah rasa ketidakpercayaan kepada bus dan supirnya. Barack Obama berdiri dan maju ke depan bus, menyakinkan para penumpang bahwa hari ini Amerika bukan membutuhkan supir yang mahir dan piawai mengendarai bus dengan cepat. Akan tetapi Amerika butuh supir yang berani berdiri, menyapa semua penumpang, dengan tidak arogan, rendah hati, dan tulus. Untuk mengajak semua penumpang ikut berdiri, lalu turun memegang langsung badan bus, dan sama-sama mendorong bus untuk keluar dari kubangan lumpur itu. Barack Obama meyakinkan semua penumpang bahwa dirinya pun tidak akan ragu untuk ikut kotor dengan lumpur bersama mereka.

Inti dari cerita barusan adalah, memilih seorang tokoh, pemimpin, caleg, bahkan presiden, jelas musti memperhitungan situasi hari ini dari negara yang kita pijak. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di masyarakat dan rakyat Indonesia hari ini? Presiden atau pemimpin yang seperti apa yang musti kita dukung dan dorong untuk maju? Apakah presiden yang pandai berteori? presiden yang galak? atau presiden yang cuma bisa menjual omongan? Banyak dari kita, termasuk saya - masih sering berfikir bahwa presiden itu bagaikan seorang pasangan hidup, ya isteri atau suami. Seolah-olah memilih presiden itu hanya sekali seumur hidup. Lantas kita selalu berfikir bahwa memilih presiden itu harus seperti memilih superman, yaitu sosok yang paling ideal dan hebat diantara yang paling ideal dan hebat. Jika itu requirement-nya, maka jangan heran jika tiap tahun makin tinggi kelompok apatis politik bernama GOLPUT. Karena tiap tahun, kehidupan bermasyarkat kita terus maju, sementara kehidupan politik kita terus mundur, bahkan stuck di masa lalu.

Renungkan sebentar, kenapa kita harus memilih seorang presiden? kenapa kita harus memilih seorang legislator? Renungkan lagi, presiden seperti apa yang mampu menolong saya saat ini? Legislator yang seperti apa yang mampu mengusung kebutuhan saya saat ini dan mampu mendorong presiden yang dibutuhkan republik ini? Kalau bukan kita, ya jangan kecewa jika akhirnya kursi dan posisi itu diambil oleh orang-orang dan pihak-pihak yang sudah lama haus bercokol akan kekuasaan dan haus menghisap kekaayaan republik ini termasuk pajak-pajak kita. Semua terjadi hanya karena satu hal, yaitu karena kita tidak mau peduli.

Saya sih percaya, jika teman-teman saya di sini adalah mereka yang masih peduli.. paling tidak dengan caranya mereka masing-masing :)

Harvested from: http://politik.kompasiana.com
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: