Mengapa Belajar Agama (Islam) ke Barat?

Author : Aries Musnandar | Tuesday, May 20, 2014 10:23 WIB

Islam dengan kitab sucinya Al Quran yang merupakan wahyu Allah sang Maha Kuasa, pencipta alam semesta beserta isinya merupakan agama yang lengkap, menuntun umat manusia ke jalan kebaikan di dunia dan akherat. Hanya saja banyak dari mereka (umat manusia) yang tidak tergerak hatinya untuk memerhatikan dan memelajari al Quran dengan sepenuh hati. Bahkan tidak sedikit umat Islam termasuk kaum terpelajarnya "berguru" banyak hal ke umat lain yang tidak mengakui al Quran sebagai pedoman hidup mereka. Ironisnya, dalam hal agama sejumlah kalangan intelektual Indonesia bahkan belajar ke cendekiawan non Muslim baik yang berada di Amerika, Kanada atau Eropa. Cendekiawan non Islam ini sangat serius mempelajari agama Islam tetapi hanya sekedar sebagai ilmu bukan dijadikan pedoman hidup, sehingga yang bersangkutan tidak mendapatkan petunjuk yang hakiki dari Allah SWT. Padahal, al Quran ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan Sholat, dan menginfakkan sebagian rezekinya, beriman pada Al Quran dan kitab-kitab sebelumnya dan mereka yakin akan adanya akhirat (QS. Al Baqarah 2-4).

Jika kriteria yang disebut dalam ayat 2-4 Surat Al Baqarah itu tidak dijalankan dan sungguh-sungguh diimani oleh cendekiawan yang belajar tentang Islam maka mereka bukanlah golonganyang disebut dalam al Quran tersebut. Jikalau kita tahu mereka bukan orang beriman mengapa mesti kita perlu belajar agama (Islam) dari mereka? Sebagian cendekiawan Muslim yang belajar Islam dari mereka berkilah bahwa belajar agama ke Barat itu belajar pendekatan metodologi ilmu bukan esensi keagamaannya. Padahal kita tahu bahwa basis metodologi Barat hanya mengandalkan aspek-aspek aqliyyah semata dengan berbagai perangkat seperti logika, rasionalitas dan obyektivitas. Dalam pendekatan ini nash-nash agama mesti sejalan dengan "common sense" dan akal sehat manusia, pembuktian empiris menjadi dasar pemahaman mereka, dengan demikian keimanan menjadi terabaikan karena segala sesuatunya menuntut pembuktian empirik mesti berada dalam tataran logika, rasio dan obyektivitas manusia. Dalam konteks ini nash-nash diposisikan untuk mengikuti kemauan/kekuatan akal sang cendekiawan yang menuntut ilmu (Agama).

Worldview cendekiawan Barat non Muslim memang berbeda dengan worldview Islam yang menurut Naquib al Attas manakala Barat berorientasi pada bagaimana sesorang menjadi warga yang baik (being good citizen), sedangkan Islam mengarahkan manusia menjadi orang yang baik (being good man). Kedua istilah itu tidaklah sama, jikalau menjadi warga yang baik berarti melakukan perbuatan baik semata-mata agar terjadinya harmonisasi kehidupan di dunia, sehingga kewajibannya itu didasari oleh keyakinan bhawa dalam berinteraksi sosial dan lingkungan secara baik sangat berguna untuk mencapai kebahagiaan hidup didunia yang semu. Pencapaian kebahagiaan dunia bagi mereka bukan bersandar pada nash-nash agama sehingga pada titik tertentu kekuatan akal mereka akan mengalahkan nash-nash agama, misalnya membolehkan perkawinan sejenis, hidup "kumpul kebo" asal suka sama suka, menjadi kaya dengan mengeksploitasi orang lain atau "win-lose situation" dan berbagai fenomena lain yang sebenarnya kontradiktif dengan nash agama.

Sedangkan being a good man dalam konteks Islam yakni menjadi orang yang taat melaksanakan ibadah madhoh dan muamalah dengan acuan ajaran Islam (al Quran dan Hadist). Interaksi sosial dan lingkungan senantiasa memerhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Quran dan Hadist, sehingga peradaban yang dibentuk sejalan dengan nilai luhur agama. Menjadi orang baik dalam naungan ajaran Islam semestinya menghasilkan unjuk kerja yang terkendali dan selalu memerhatikan keadilan dan mencegah hal--hal yang merusak keseimbangan hidup di dunia. Dunia bagi umat islam ditempatkan sebagai sebuah perjalanan menuju kampung akherat sebagai labuhan terakhir yang kekal, sehingga kehidupan di dunia merupakan bekal-bekal yang mesti diperoleh untuk menuju kehidupan yang lebih hakiki di akherat kelak. Dengan demikian pandangan dunia (worldview) umat Islam amat jelas yakni tidak boleh terlepas dari nilai-nilai agama Islam yang menempatkan al Quran sumber utama inspirasi kehidupan Muslim yang kemudian diikuti dengan mengacu pada Hadist Nabi dan contoh dalam sirah nabawiyyah.

Pandangan dunia Barat tentu berbeda dengan pandangan dunia Muslim seperti yang dipaparkan diatas, oleh karena mereka tidak mengimani al Quran dan Hadist sebagai petunjuk hidup yang mesti dilaksanakan secara kaafah dalam kehidupan sehari-hari. Konsep-konsep peradaban Barat dilandasi kekuatan aqliyyah sementara dalil naqliyyah yang terdapat dalam nash agama hanya sebatas media pembelajaran semata yang tisak sampai diejawantahkan dalam bentuk ketaatan dalam menjalankan perintah dan larangan Nya. Disinilalah letak beda Barat dan Islam. Pandangan dunia Barat dan pandangan-pandangan lain yang non Islam seperti hindu, budha dan sebagainya berbeda dengan pandangan dunia Islam karena azas being a good man tidak bisa hanya didasarkan menjadi warga yang baik ditengah-tengah masyarakat belaka, tetapi mesti menyeluruh dia juga mesti mengikuti perintah agama seperti melaksanakan ibadah madhoh, dan hal ini harus didahului dengan ketulusan dalam meyakini Keesaan Allah (ketauhidan). Hal ini memang wajar diwujudkan karena Islam merupakan ajaran lengkap yang memuat dan mengatur kehidupan manusia di dunia ini.

Itu makanya masuk Islam tidak boleh sepotong-potong atau mematuhi sebgaian sedangkan sebagian lain dijauhi. Allah sangat membenci orang-orang yang berlaku seperti itu. Disinilah letak beda antara being a good man sebagai muslim dan being good citizen dalam konsep Barat. Spiritualitas Barat bukanlah spirituali yang hakiki karena lahir dari pergumulan kekuatan aqliyyah dan batiniyah yang tidak dibimbing wahyu Allah. Bisa dikatakan spritualitas Barat adalah spiritualitas tanpa agama. Oleh karena itu spiritualitas mereka sangat kering, relatif dan berubah-rubah sesuai dengan dinamika yang berkembang, sementara spiritualitas Islam bersifat tetap dan pasti sebagaimana umat Islam diperintahkan melaksanakan ibadah madhoh seperti sholat, puasa, zakat dan ibadah haji yang sangat jelas, sakral dan menyejukkan. Semakin khusyuk seorang beriman melaksanakan ibadah maka semakin terasa nikmat beragama bagi dirinya yang telah 'meng-agama'. Kepuasan seorang muslim, misalnya dalam melaksanakan sholat tahajud ditengah malam dan perbuatan baik kaum Muslim yang didasarkan keimanan kepada Allah swt tentu memiliki nilai yang berbeda dengan orang Barat yang berbuat baik kepada sesama tetapi hanya didasari oleh kekuatan aqliyyahnya semata. Perintah dan larangan agama yang telah diwahyukan dibarengi pula janji-janji Allah kepada kaum beriman untuk memperoleh kebahagiaan di akherat kelak yang diwahyukan di dalam al Quran dan disabdakan Nabi SAW dalam hadist. Janji-janji Allah itu pasti dan terang benderang tanda-tandanya bagi kaum yang beriman dan berilmu sesuai tuntunan agama.

Oleh karena itu belajar agama kepada mereka yang tidak memeroleh hidayah ilahiyah patut dipertanyakan kegunaannya karena Allah telah amat jelas membedakan antara mereka yang beriman dan tidak beriman sebagaimana awal surat al Baqarah dan sejumlah ayat dalam berbagai surat lainnya telah amat jelas memapaparkannya. Sesuatu yang haq tentu tidak bisa disamakan dengan yang batil dan tidak boleh dicampur adukkan. Oleh karena itu, dalam persoalan agama cukup kita merujuk wahyu Allah yang menegaskan "bagimu agamamu dan bagiku agama ku (QS al Kafirun 109: 6).

Meski demikian manakala kita ingin belajar tentang persoalan dunia misalnya terkait pemanfaatan tumbuh-tumbuhan bagi umat manusia, maka tidak ada salahnya kita belajar dari siapaun asal saja ilmu yang kita pelajari sejalan dengan nilai-nilai yang diajarkan agama. Dalam konteks persoalan dunia ini saya teringat akan hadist Nabi berikut ini antum a'lamu bi umuri dunyakum, artinya kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian. Asal muasal munculnya Hadist ini tatkala Nabi dimintai pendapat mengenai penyerbukan kurma yang pada akhir cerita lalu Nabi menyampaikan Hadist tersebut. Ini menunjukan dalam segala urusan dunia yang tidak berkaitan dengan hukum syariat hendaknya manusia melakukan berbagai eksperimen, riset dan percobaan. Disinilah makna tanda-tanda kekuasaan Allah dapat diyakini karena Islam mengaanjurkan melaksanakan ayat-ayat Qawliyyah yang merupakan kajian-kian penelitian, pengamatan dan penyelidikan terhadap ilmu pengetahuan sama halnya seorang Muslim juga mesti memahami ayat-ayat Kauniyaah yang terdapat dalam nash agama. Kedua jenis ayat-ayat Allah ini merupakan satu kesatuan tak terpisahkan yang bagi seorang Muslim sejati sebagai wakil Allah dimuka bumi, 'khalifatullah fil ardh', mesti dipahami dan diyakni secara baik guna mencapai tingkat kebahagiaan umat sebagaimana yang diuraikan dalam agama Islam sebagai kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akherat

Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: