http://softskills.16mb.com/2012/10/mengkritisi-peran-kyai-dalam-politik-praktis/
Pondok pesantren atau pesantren sudah lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai lembaga pendidikan keislaman (keagamaan). Pada awal pendiriannya pesantren membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu keagamaan seperti syariah, ushul fiqih, adab, bahasa Arab dan berbagai disiplin terkait dengan kajian keagamaan Pada perkembangan selanjutnya banyak pesantren yang memasukkan pelajaran yang kurang dan bahkan tidak terkait langsung dengan ajaran Islam. Pelajaran bahasa Inggris misalnya merupakan salah satu dari sejumlah pengayaan materi pelajaran yang kini banyak diterapkan lembaga pendidikan Islam semacam di pesantren.
Dinamika Pesantren dan Lingkungan
Memasukkan materi pelajaran bahasa Inggris di pondok pesantren merupakan hasil terjadinya interaksi pesantren dengan dunia luar dan tidak dipungkiri sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang menjadikan peradaban umat manusia dewasa ini berubah. Referensi dan acuan peradaban yang berkembang saat sekarang memang menggunakan bahasa Inggris termasuk pula dominasi bahasa tersebut sebagai alat komunikasi masyarakat internasional. Dalam situasi seperti ini Pesantren akhirnya turut beradaptasi atas perubahan dan perkembangan pesat iptek dan budaya yang tumbuh kembang di belahan dunia dan saling mempengaruhi. Selain bahasa asing pesantren juga memperkaya materi ajarannya dengan ilmu umum atau ilmu “dunia” seperti mengembangkan keterampilan santri dalam bercocok tanam, berkebun bertani, dan terlibat berbagai program lainnya baik yang mandiri maupun yang dicanangkan pemerintah.
Posisi Sentral Kepemimpinan Kyai
Kemashyuran atau keterkenalan pesantren biasanya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dan peran Kyai sebagai orang yang menguasai dan mengajarkan ilmu agama di pesantren kepada para santri. Kepemimpinan Kyai di pesantren diakui cukup efektif untuk meningkatkan citra pesantren tersebut dimata masyarakat luas. Ketenaran pesantren biasanya berbanding lurus dengan nama besar kyai nya terutama kyai pendiri pesantren tersebut. Sosok kyai di pesantren tidak hanya selaku guru yang mengajarkan agama tetapi juga menjadi figur pemimpin yang mampu mengarahkan para santri dan pengikut atau pendukungnya dalam menempuh jalan hidup dan kehidupan mereka sehari – harinya. Kyai merupakan pemimpin sekaligus tokoh masyarakat yang menjadi panutan umat di lingkungan bahkan simptisan dan pendukung kyai bisa menembus batas wilayah pesantren.
Efektivitas kepemimpinan Kyai di pesantren jika ditinjau dari teori kepemimpinan paling tidak memiliki 2 pendekatan yakni (1) power-pengaruh dan (2) pendekatan sifat (trait theory). Yukl dalam Sonhaji (2003) mengungkapkan keefekteifan kepemimpinan berdasarkan pendekatan yang pertama itu ditentukan oleh besarnya power yang dimiliki pemimpin (kyai). Power seorang kyai merupakan kekuatan yang diakui oleh pengikutnya menjadi suatu hal yang dapat mempengaruhi mereka. Power ini dapat berupa kedalaman ilmu sang kyai dalam agama serta otoritas yang dimiliki kyai terhadap pesantrennya. Sedangkan pendekatan sifat sering disebut sebagai pendekatan karismatik yakni atribuit-atribut personal yang dimiliki kyai misalnya sorotan mata kyai, penampilan, ucapan, intonasi suara sang kyai. Kedua pendekatan ini seandainya terkombinasi secara baik akan menjadikan sang kyai tersebut sosok berkarisma atau sering disebut pemimpin yang berkarismatik.
Kyai dan Politik Praktis
Kepemimpinan karismatik kyai ini sudah umum dikenali masyarakat. Pengaruh kyai yang kuat “dimanfaatkan”atau menjadi incaran para politisi untuk mendulang suara. Berbagai taktik dan strategi kampanye politik yang dijalankan partai politik biasanya tidak melupakan akan arti penting peran kyai sebagai “vote getter” terdepan dalam mengumpulkan suara pemilih. Apalagi, semenjak bergulirnya reformasi banyak partai mengusung azas Islam sebagai platform dan landasan ideologis partai. Hal ini tampak sejalan dengan aktivitas kyai yang menyebar-luaskan ajaran Islam. Tentu tidak dapat dihindari terjadi “pemanfaatan” kepemimpinan kyai di pesantren oleh para politisi baik yang mengusung azas Islam maupun nasionalis (pragmatism).
Perkembangan politik praktis di Indonesia membawa sejumlah kyai terjun langsung maupun tidak langsung dalam kancah perpolitikan di Tanah Air. Aspirasi politik kyai dimanfaatkan partai politik di tingkat nasional maupun lokal dalam setiap Pemilu. Alhasil, kyai dihadapkan pada dunia politik praktis yang sarat dengan ketidakpastian dan kepentingan. Tidak ada musuh abadi kecuali kepentingan abadi.
Kemajemukan Versus Homogenitas Organisasi
Heterogenitas (kemajemukan) organisasi adalah fenomena di partai politik dan inkonsistensi sering terjadi. Berbeda dengan di pesantren yang tingkat homogenitas kulturalnya tinggi. Sharplin (1985) mengungkap bahwa organisasi yang memiliki tingkat homogenitas tinggi akan sulit terjadinya adaptasi atau perubahan yang cepat. Padahal, dunia politik praktis sangat cepat dalam mengikuti perkembangan, sehingga memiliki kelenturan luar biasa jikalau menginginkan partainya “selamat”. Kondisi perpolitikan Negara yang sangat pragmatis ini membuat simpul-simpul pendulang suara di desa-desa termasuk yang berada di pesantren hanya dijadikan alat kampanye melalui janji-janji “surga” partai. Belakangan kita merasakan betapa reformasi yang digulirkan lebih 13 tahun lalu yang dimotori kaum muda ternyata masih belum membawa perubahan berarti bagi iklim kesejahteraan rakyat. Bahkan disana sini tampak nilai-nilai moral tergerus dan tereduksi atas nama kebebasan berpolitik.
Karut marut pengelolaan kekuasaan karena sistem manajemen kekuasaan terlepas dari nilai-nilai, etika serta peradaban yang menghargai harkat dan martabat kemanusiaan. Penyimpangan yang terjadi dibanyak sektor kehidupan menandakan pemahaman warga bangsa pada nilai, etika dan peradaban masih sebatas jargon verbal belaka, Belum terwujud nyata atau terinternalisasi merata sampai pada tataran perilaku Negara-bangsa sehari-hari. Para elite / politisi masih sebatas memanfaatkan rakyat dan para kyai di pesantren sebagai pijakan, untuk berkuasa. Mereka (rakyat) dijadikan sebagai alat dan bukan tujuan politik. Dalam jeratan kemiskinan dan ketakberdayaan sosial, rakyat cenderung memperlakukan dirinya sendiri floating mass yang dapat digerakkan oleh kekuatan uang dan kekuasaan. Semua fenomena ini membuat tingkat kepercayaaan rakyat terhadap elite pemimpin menjadi rendah. Akibatnya berbagai aksi massa secara brutal dan beringas yang marak kita saksikan menjadi cermin tidak berwibawanya aparat penegak hukum dimata mereka. Lebih tragis lagi aparatur sering terlihat bertindak diluar kendali, tak ubahnya dengan para pelaku anarkis itu. Alhasil, kekerasan jalanan yang merebak di Tanah Air menjadi pemandangan biasa yang di‘legalkan’ hingga mendegradasikan nilai-nilai demokrasi.
Posisi Kyai yang Diharapkan (Kesimpulan)
Sejatinya efektivitas pembumian nilai-nilai, etika dan peradaban yang menghargai martabat manusia disosialisasikan melalui contoh nyata elite pemimpin yang kemudian di turunratakan sampai pada tingkat aparat di lapangan. Contoh nyata elite pemimpin mesti diikuti para aparat penegak hukumnya akan menjadikan pembelajaran sosial yang efektif bagi rakyat demi meningkatkan kepatuhan hukum dan kedisiplinan sosial (Albert Bandura 1977). Akibat semua itu, kekhawatiran yang muncul adalah memudarnya kesakralan atau karismatik kepemimpinan kyai terutama mereka (kyai) yang berpolitik praktis. Apalagi jika kekuasaan (pemerintah) yang diperoleh saat ini dari “hasil upaya kyai”, maka hal-hal negatif yang mencuat dalam menjalankan amanh rakyat bisa jadi berdanpak buruk terhadap citra kyai tersebut.
Dalam kondisi Negara centang perenang, penegakan hukum masih karut marut dan situasi perpolitikan yang masih kacau balau, kental dengan ke-tidak-menentuan, sebaiknya kyai jangan terlibat jauh atau larut dalam politik praktis (low politics). Justeru kepemimpinan dan power politik yang dimiliki kyai diharapkan berupaya mencerahkan masyarakat luas melalui fatwa-fatwa atau nasehat yang dibutuhkan umat. Kyai mesti berada di segala golongan karena keberadaan kyai merupakan lambang moralitas dan akhlak mulia, manusia Indonesia berbudi pekerti luhur yang makin sirna dan langka. Melalui moral force keterpurukan bangsa dapat dicegah tidak malah tambah runyam. Bukankah ini yang disebut high politics atau politik tingkat tinggi sang kyai? Wallahu’alam bishowab.