Menyambut Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2014

Author : Aries Musnandar | Saturday, May 03, 2014 09:35 WIB

(Guru bukanlah Buruh)

Oleh Aries Musnandar*
Sebagaimana biasanya Hari Buruh Nasional yang diperingati setiap tanggal 1 Mei 2014 oleh para buruh Indonesia, para guru dan pemerintah pun besok tanggal 2 Mei 2014 akan memperingati Hari Pendidikan Nasional. Berbicara tentang pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran dan peranan guru. Tanpa guru yang berkualitas tidak mungkin dihasilkan keluaran pendidikan yang diharapkan bangsa ini.

Secara sederhana tetapi cukup mendalam makna guru dapat dipahami dari singkatan kata guru itu sendiri yakni digugu dan ditiru. Ini berarti seorang guru adalah sosok teladan yang patut menjadi contoh bagi orang lain dalam hal ini murid atau peserta didik. Dalam konteks ini sangatlah naif jikalau masih ada pendapat bahwa tugas guru itu sekedar "tukang" yang hanya mentransfer ilmu pengetahuan dari dirinya dan atau buku teks kepada peserta didik. Hal ini dikarenakan konsep guru bagi bangsa Indonesia sangat jelas selalu terkait dengan keteladanan (perilaku atau budi pekerti agung) sebagaimana UU Sistem Pendidikan Nasional (SPN) nomor 20 tahun 2003 memfungsikan pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, , cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Bab 2 pasal 3 UU SPN no 20/2003). Dengan demikian kerja-kerja guru bukan hanya kerja akademik semata yang berfokus pada otak melainkan juga kerja-kerja non akademik yang menumbuhkembangkan watak sebagai sinergitas antara daya akal dan kekuatan hati (qolbu). Jika kita cermati secara seksama ternyata memang UU SPN kita itu memiliki tujuan akhir mulia membangun watak peserta didik. Dalam kajian teori perubahan perilaku peserta didik bisa dibentuk melalui kekuatan otak dan qolbu. Namum persoalan yang muncul di lapangan adalah apa yang telah dilakukan para guru untuk menyiapkan watak peserta didik dalam membangun karakter bangsa (the national character building)?.

Ironisnya, guru acapkali dipandang layaknya pekerja atau buruh. Pandangan keliru ini bahkan dilakukan juga oleh pemangku kebijakan pendidikan yang seharusnya mengenal dengan baik secara ilmu pendidikan tentang hakekat tugas dan fungsi guru. Ambil satu contoh saja tentang kebijakan untuk menambah jam mengajar guru dari 24 jam per minggu menjadi 27,5 jam yang mengindikasikan pemahaman terbatas mereka tentang hakekat tugas guru yang profesional. Kerja guru seolah diidentikkan dengan kerja buruh dan pegawai birokrasi yang wajib berada di kantor 8 jam seharinya.

Perlu diketahui, jenis pekerjaan dan tugas buruh atau mereka yang bekerja di pabrik, kantor atau perusahaan (dunia bisnis dan industri) bersifat 'monoton', rutin dan datar. Sedangkan tugas guru berbeda. Pekerjaan guru bukan hal yang ringan dan mudah dibandingkan dengan kerja buruh atau pegawai kantor meski tentu saja mereka (guru dan buruh) sama-sama harus memiliki keahlian tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya. Sesungguhnya dalam kajian ilmu pendidikan yang benar kegiatan guru sejatinya tidak cukup hanya di sekolah tetapi ia seharusnya melakukan pula aktivitas sebelum dan setelah mengajar. Bukankah seorang guru yang baik akan melakukan sederetan aktivitas sebelum ketika dan sesudah mengajar terkait apa yang diajarkan di kelas? Sebut saja misalnya guru mesti melakukan persiapan khusus dan terencana (RPP) sebelum mengajar? Belum lagi saat mengajar guru dituntut berkreatifitas untuk mengembangkan pengajaran agar lebih "hidup" dan bermakna bagi anak didiknya yang menurut konsep pendidikan mereka memiliki karakteristik unik (individual differences). Guru juga harus memikirkan tugas-tugas untuk anak didik, menguji dan mengoreksi ujian, pekerjaan rumah dan lainnya. Betapa berat sejatinya beban dan tugas guru yang hasil pekerjaannya itu sangat vital dan penting bagi pembangunan bangsa kedepan.

Sayangnya, perhatian pemerintah atas guru masih bersifat normatif dan belum menyentuh aspek mendasar tentang hakekat membenahi profesi guru. Jikalau mereka memang mengerti tentang hal-hal yang dipaparkan diatas maka "memaksa" guru untuk bekerja layaknya buruh dengan menambah jam mengajar semata-mata hanya melihat dari satu sisi bersifat kuantitatif saja tetapi tidak menyorotinya dari aspek kualitatif dalam mengajar. Selama ini memang pemangku kebijakan kerapakali melihat persoalan pendidikan dari kacamata kuantitatif (angka-angka). Mungkin pendekatan ini muncul karena rata-rata pejabat pengambil kebijakan pendidikan terbiasa melakukan kerja penelitian ala ilmu eksakta dan ilmu alam yang aspek kuantatifnya sangat kental. Pemecahan masalah dari sudut pandang kualitatif sudah cukup lama ter"nina bobokan" bahkan terabaikan, padahal ilmu pendidikan adalah disiplin ilmu sosial (non eksakta) yang membutuhkan lebih banyak kajian kualitatif. Manakala pandangan kuantitatif senang berkutat dengan angka-angka (misalnya penambahan jam mengajar) maka kajian kualitatif tidak demikian yakni lebih memerhatikan tingkat kualitas proses mengajar dibandingkan sekedar kuantitas jam mengajar semata. Proses pendidikan seyogyanya mengedepankan kualitas guru dalam menyampaikan materi ajar. Untuk meningkatkan kualitas guru tersebut tugas dan fungsi guru mestinya dianggap/diakui sebagai suatu profesi mapan, penting yang disegani, sebagaimana profesi dokter, akuntan atau pengacara. Tetapi guru beda dengan buruh atau karyawan kantoran yang tugasnya mekanistik dimana kreatifitas dalam melakukan tugas dibatsi dan tidak leluasa. Sedang seorang guru dituntut melakukan kerja-kerja bersifat kreatif dalam upayanya mengembangkan potensi peserta didik. Buruh berada di dunia industri yang bernuansa rigid kaku, steril serta monoton sementara itu guru di dunia pendidikan bersandar pada kerja-kerja inisiatif, kreatif, inovatif dialogis dan variatif yang menguatamakan suasana belajar menyenangkan serta inspiratif.

Ironisnya, sebagaimana diungkap diatas guru masih dilihat laksana buruh upahan yang memperoleh upah dari berapa banyak jumlah jam mengajarnya ketimbang apa hasil yang dicapainya. Dalam sistem pengupahan guru yang berlaku saat inipun ternyata banyak gaji (honor) guru malah jauh tertinggal dari upah minimum regional (UMR) bagi para buruh yang kini menembus angka tiga jutaan perbulan, sementara gaji guru ada yang hanya puluhan dan ratusan ribu rupiah saja. Disisi lain, memang pemerintah memberlakukan sertifikasi guru sesuai UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang memerhatikan kesejahteraan guru namun tampaknya portofolio guru dalam memperoleh sertifikasi lebih bersifat administratif yang cukup subyektif dan rentan dimanipulasi. Sertifikasi merupakan program hulu dari kegiatan pendidikan nasional, sejatinya program di hilir yakni dalam menyiapkan calon-calon guru perlu diperhatikan secara saksama.

Komitmen pemerintah untuk meningkatkan derajad profesi guru yang sejajar dengan profesi yang sudah dikenal selama ini harus ditingkatkan. Perbaikan mutu pendidikan sebaiknya dimulai dari hilir atau di awal proses saat menerima mahasiswa program pendidikan guru. Sebenarnya keberadaan lembaga guru semacam Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) tepat dan diperlukan, mestinya diperkuat bukan malah dihapuskan. Dengan dihapusnya IKIP seolah-olah urusan pengadaan tenaga pendidikan dan kependidikan boleh dikerjakan oleh institusi non kependidikan, sehingga membuat banyak pihak ikut campur dalam urusan pendidikan karena gemas dengan masalah pendidikan, mereka merasa mampu mengajar. Niat mereka sebenarnya baik yakni ingin membantu persoalan pendidikan yang tampak karut marut ini tetapi apa yang dilakukan mereka sebatas mengajar bukan mendidik karena mereka bukan disiapkan untuk itu.

Oleh karenanya, menurut hemat saya lembaga semacam IKIP perlu dihidupkan kembali bahkan pemerintah wajib untuk menjadikan lembaga ini berkualitas sehingga mampu menghasilkan guru profesional. Seorang yang berprofesi dokter telah melalui jenjang pendidikan yang ketat dan bertahap. Mungkin sistem ini perlu ditiru untuk bagi orang yang ingin berrprofesi sebagai guru yakni melalui jenjang pendidikan yang diakui kualitas dan kredibilitasnya seperti lembaga IKIP tersebut. Apabila sistem pendidikan guru sudah dibenahi dengan menyeleksi calon guru yang berkualitas baik secara soft skills maupun hard skills (akademik), maka niscaya akan diperoleh guru yang mumpuni dibidangnya. Pemerintah memiliki kuasa untuk menjadikan pendidikan guru sebagai lembaga bergengsi yang menjanjikan masa depan baik, sehingga anak bangsa berprestasi tertarik untuk menjadi guru. Apabila pemerintah sadar akan arti pentingnya guru dalam pendidikan sepatutnya lembaga semacam IKIP dibutuhkan. Keberadaan institusi ini seharusnya mendapatkan perhatian penuh oleh pemerintah. Masukan (input) di lembaga ini mesti diisi oleh orang-orang terbaik lalu proses pendidikan juga harus bagus berkualitas agar tagihan keluaran (output) dari lembaga IKIP tersebut dapat sesuai harapan. Lulusan non IKIP tidak diperbolehkan mengajar kecuali setelah mengikuti dan melalui sederetan pendidikan yang kelulusannya hanya boleh diberikan oleh IKIP yang telah terakreditasi dengan baik dan benar.

Perhatian sungguh-sungguh dan profesional dalam koridor ilmu pendidikan yang dilakukan para pemangku kebijakan pendidikan sejatinya akan memupus pandangan-pandangan keliru tentang pendidikan yang salah satunya adalah menganggap pekerjaan guru sama dan sebangun dengan buruh. Sehingga guru diperlakukan bagai buruh atau karyawan kantoran bekerja. Fenomena tersebut diatas disadari atau tidak disadari sekarang ini merebak tidak hanya dikalangan awam tetapi juga mereka yang memiliki palu kebijakan dalam dunia pendidikan. Wallahu a’lam.

*) Penulis, berlatar belakang ilmu pendidikan dan berpengalaman kerja di dunia bisnis (Industri).

Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: