Euforia pemilu Presiden yang lalu tidak hanya menentukan si ‘jago blusukan’ menjadi orang nomor satu di negeri berpredikat negara maritim ini. Isu kemaritiman yang tenggelam berabad lamanya, seakan terangkat kembali ke permukaan setelah sering disebut oleh Jokowi sebagai wacana pemerintahan barunya.
Usulan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia sudah sering Ia lontarkan, termasuk sebelum dinyatakan menang dalam pertarungan. Kini bukan hanya namanya yang makin tenar, namun jargon “Poros Maritim” yang Ia dengungkan pun semakin santer diperbincangkan.
Oleh sebagian kalangan, usulan tersebut dinilai cukup realistis untuk mengembalikan jati diri bangsa. Dengan catatan, jika memang itu pilihan terbaik untuk memajukan bangsa ini. Hal itu cukup beralasan jika ingin sebutan sebagai negara maritim bukan hanya sekedar predikat, namun dapat secara nyata menghantarkan kejayaan negeri ini.
Kuncinya hanya satu, pemanfaatan potensi dan kekayaan sumber daya laut yang dimiliki secara optimal dan berkelanjutan. Sebagai negara kepulauan yang memiliki laut yang sangat luas menjadi negara maritim itu bukan pilihan, melainkan keniscayaan. Laut kita memiliki sumberdaya yang luar biasa, karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sudah pasti harusberkelanjutan.
Selama ini, potensi maritim Indonesia sering diibaratkan sebagai raksasa yang tertidur. Bayangkan jika potensi bernilai tiga kali APBN itu bisa dikelola dengan maksimal. Hutang luar negeri yang seakan abadi pun jelas dapat dengan cepat tertutupi.
Jokowi telah memulai langkah untuk membangunkan raksasa itu. Namun membuatnya benar-benar terjaga tentu sangatlah tidak mudah. Harapannya, bukan sebatas wacana presiden terpilih semata, namun harus benar-benar diwujudkan pada pemerintahan mendatang. Bukan hanya menjadi PR pemerintah, melainkan perlu dukungan seluruh elemen bangsa untuk bekerja keras dalam merealisasikannya.
Implikasi dari wacana itu, sebagai awalan tim transisi telah mengusulkan pembentukan kelembagaan baru yang menangani langsung sektor kemaritiman. Padahal saat ini telah ada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sudah berdiri 12 tahun, bertanggung jawab mengatur pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia.
Namun, sebagian orang lainnya berpendapat (termasuk saya), sektor kelautan dan perikanan itu sebuah kesatuan yang harusnya tidak terpisahkan . Terdapat benang merah diantara kedua sektor tersebut, terutama dalam menyokong pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Dimana bidang maritim berada di dalamnya, karena hanya mencakup sebagian kecil dari potensi kelautan dan perikanan yang terkandung.
Hanya saja memang perlu di perkuat lagi kelembagaan yang menaungi kedua sektor tersebut. Dalam hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan harusnya lebih diberikan keleluasaan dalam menjalankan kebijakan terkait pengelolaan maritim, termasuk infrastruktur laut serta sektor lainnya yang belum tersentuh. Tidak hanya anggaran yang ditingkatkan, namun kelembagaannya pun harus diperluas bukan malah dikerdilkan.
Selama ini pengembangan kemaritimanmasih dilakukan secara parsial.Masing-masing sektor tumbuh dengan undang-undangnya, seperti kepabeanan, pelayaran,energi dan pertambangan,pertahanan dan keamanan, kehutanan,dan perikanan.Karena itu tidak mengherankan bila terjadi konflik kepentingan dan kewenangan, baik konflik kewenangan secara vertikal (pusat dan daerah), maupun konflik horizontal (antar pelaku usaha atau antar sektor). Diyakini, konflik tersebut hadir karena hingga saat ini tidak ada regulasi yang mengatur mengenai tata kelola laut.
Namun untuk ‘benar-benar ‘ menjadi negara maritim perlu adanya tahapan-tahapan agar kondisi geografis dan potensi yang sangat besar mampu ditransformasikan menjadi suatu kekuatan ekonomi yang nantinya menopang kehidupan masyarakat Indonesia. Lain halnya, jika hanya sekedar ingin mempertegas kembali identitas negara kita sebagai negara maritim.
Jika menilik waktu kebelakang, berabad-abad yang lalu, Indonesia yang disebut nusantara kala itu pernah mencapai puncak kejayaannya dalam bidang kemaritiman. Terlebih bila kita berkaca pada sejarah bahwa Majapahit dan Srwijaya adalah negara maritim yang disegani dunia. Jadi sebetulnya jiwa kemaritiman sudah ada di Indonesia. Maka bukan hal yang mustahil apabila predikat itu kembali dalam genggaman.
Hanya saja, jiwa kemaritiman bangsa ini seiring waktu semakin pudar. Selama ini tertutup oleh kemudahan-kemudahan yang diperoleh dari sektor kontinental, padahal kita belum menengok bahwa kelautan kita itu luar biasa potensinya. Jadi saya rasa membangun budaya maritim membutuhkan waktu lama, tapi tidak akan sampai berabad lamanya. Kalau ekonomi maritimnya maju, dengan sendirinya akan terjadi percepatan untuk menuju budaya maritim.
Sekali lagi saya tegaskan, membangun kebudayaan maritim tidak akan semudah membalikan telapak tangan. Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, perlu adanya keseriusan dari berbagai pihak bukan saja pemerintah tapi juga pemangku kepentingan terkait.
Dengan dukungan segenap elemen bangsa, jargon “Poros Maritim Dunia” yang sering dilontarkan Jokowi tak pelak akan serupa pengaruhnya dengan sumpah palapanya Gajahmada, dalam upaya menyatukan nusantara. Harapannya, negara martim bukan hanya predikat semata, tapi benar-benar menghantarkan kejayaan bangsa ini sebagai bangsa bahari. (DS).