Mendidik anak pada era sekarang ini cukup berat. Pengaruh lingkungan sekitar demikian kuat yang dapat membentuk karakter sang anak. Menurut ajaran Islam manusia pada awalnya lahir dalam keadaan fitrah dalam arti Islam tetapi lingkungan bisa merubah fitrah itu sebagaimana Hadist Nabi: "Tiadalah seorang yang dilahirkan itu kecuali dalam keadaan fitrah, kemudian kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi". Hadist ini menyiratkan betapa lingkungan merupakan faktor penentu perubahan perkembangan karakter dan keyakinan sang anak. Pengaruh lingkungan dalam arti luas tidak hanya berkaitan langsung dengan orang tua, keluarga dan masyarakat sekitar tetapi juga berasal dari interaksi dengan sejumlah program, pesan dan peradaban yang terdapat di berbagai media sosial seperti televisi, sosial media internet sebagai akibat dari perkembangan kemajuan teknologi di masa kini.
Perkembangan teknologi media bisa jadi boomerang bagi pendidikan karakter anak Muslim karena produk teknologi itu ditemu-kembangkan dalam pandangan dunia (worldview) nya sendiri terlepas dari kalimat tauhid yang hanya taat dan patuh pada wahyu Ilahi. Jika kondisi ini tidak diantisipasi secara cermat maka dikhawatirkan perkembangan pertumbuhan anak berada dibawah "skenario" pembuat pesan yang mungkin saja bertentangan dengan nilai-nilai keyakinan agama (Islam). Alhasil, ketika anak tumbuh menjadi orang dewasa nilai-nilai yang dianut bukanlah sejatinya nilai agama tetapi sudah dirasuki dan dipengaruhi paradigma yang sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Islam pada sumber Al Quran dan contoh-contoh dari Nabi Muhammad SAW.
Pengaruh "non Islamic worldview" dewasa ini diakui sangat kuat, kita merasakan dan melihat sendiri pada penyelenggaraan pendidikan umat Islam tidak terlepas dari konsep pendidikan orang-orang yang tidak menganggap Al Quran dan Hadist serta sirah Nabawiyyah sebagai petunjuk hidup dan berkehidupan di dunia. Konsep pendidikan di Indonesia banyak diadopsi dan diadaptasi dari luar Islam yang hanya bersifat duniawi, tidak masuk dalam tataran ukhrowi, sedangkan ajaran Islam kaya dengan penjelasan tentang kehidupan ukhrowi. Ajaran Islam itu amat jelas dalam menata kehidupan bersifat duniawi tetapi juga lugas mengajarkan umat bersiap diri memasuki kehidupan ukhrowi melalui sejumlah amalan sesuai dengan ajaran Al Quran dan Hadist.
Oleh karena itu pendidikan anak usia dini (PAUD) menjadi penting yang telah mulai disadari pemerintah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan terkait dengan pendidikan anak usia dini (PAUD). Namun begitu tampaknya persoalan metodologi pembelajaran masih perlu ditingkatkan agar karakter anak pada usia dini dapat terbentuk dengan baik. Dalam konteks pengenalan agama, metodologi menghafal surat-surat dalam Al Quran mesti juga dibarengi dengan contoh dan keteladanan dalam berperilaku secara konsisten dan konskuen. Kita sering menemukan misalnya tatkala mengajarkan anak didik akan pentingnya kesehatan tetapi ternyata masih ada guru yang terlihat oleh anak didik merokok.
Lalu manakala anak didik diberitahukan pentingnya kebersihan tetapi di lingkungan kelas dan sekolah tidak terdapat tempat sampah yang memadai. Seringkali hal-hal tersebut dianggap sepele, padahal pembentukan karakter anak mesti dimulai dari hal-hal kecil dan sepele tetapi akan berdampak positip bagi pertumbuhan karakter anak pada 7 tahun pertamanya. Ketekunan dan "kecerewetan" guru membimbing anak agar berperilaku pada tempatnya itu niscaya akan meninggalkan kesan mendalam bagi anak didik setelah 7 tahun pertama berlalu. Kesan-kesan positif dalam diri anak itu melekat erat dibawah menjadi karakter saat yang bersangkutan dewasa dan terjun berekiprah di masyarakat.
Oleh karena itu pada anak usia dini pelajaran kejujuran, kebersihan, gotong royong, kasih sayang sesama serta berbagai perilaku baik lain perlu diungkapkan kepada anak didik tidak hanya secara verbal diajarkan oleh Al Quran dan Hadist tetapi juga secara praktek dilaksanakan oleh anak didik atas arahan dan contoh-contoh dari sang guru. Sepanjang yang saya ketahui kelemahan pendidikan anak usia dini kita baik pada lembaga yang berbasis agama atau pun tidak adalah pada praktek dan konsistensi dalam mengajarkan nilai-nilai kebaikan tersebut diatas. Manakala nilai-nilai kejujuran, kebersihan, gotong royong, kasih sayang, tolong menolong tidak dipraktekkan dan belum melekat pada diri anak didik sehari-hari maka dikhawatirkan kesan-kesan positif tidak membekas pada dirinya, sehingga pada usia 7 tahun kedua dan ketiga akan mudah dipengaruhi lingkungan yang negatif.
Jika mengacu pandangan Sayyidina Ali RA, pendidikan karakter paling tidak dapat dilakukan dalam 3 fase atau 3x7 tahun pertama. Pada fase pertama anak mulai dikenalkan dengan hal-hal yang baik dan buruk. Orang tua mendominasi pembelajaran sebagai guru yang menanamkan kerja-kerja kebaikan dan sumber-sumnber yang mengharuskan umat manusia memiliki perilaku baik. Pada 7 tahun kedua orang tua atau guru di sekolah dapat memperlakukan anak sebagai fasilitator yang membimbing dan mengarahkan perilaku anak didik sesuai dengan kaidah agama. Pada fase berikutnya 7 tahun ketiga guru atau orang tua lebih sebagai pendamping yang menemani dan bersahabat dengan anak menjelang dewasa dalam menumbuh-kembangkan pemahaman dan kepribadiannya agar menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama dan lingkungan sejalan dengan nilai-nilai yang diajarkan agama.
Sesungguhnya pendidikan itu membentuk karakter dan karakter itu terkait budi pekerti. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi bahwa beliau diutus kemuka bumi semata-mata adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Budi pekerti yang agung, perilaku positif dan menebarkan kebaikan bagi sesama dan lingkungan merupakan ajaran Islam, sehingga Islam adalah agama praktek atau pemahaman agama diejawantahkan dalam wujud-wujud kebaikan. Landasan kebaikan yang dilakukan tentunya bersumber dari ajaran yang termaktub dalam al Quran dan Hadist. Penjabaran nilai-nilai dari kedua sumber ini yang perlu terus ditingkatkan secara kualiatatif dan kuantitaif karena tampaknya khasanah metodologi pembelajaran agama yang "down to earth" atau menukik kebumi di Indonesia masih perlu diperkaya dengan contoh-contoh nyata. Wallahu a'lam.