Meski baru menjadi wacana, namun apa yang diungkapkan terkait kemungkinan penerapan pola subsidi listrik, yang akan disatukan secara sistematik melalui instrumen kartu identifikasi penerima bantuan pemerintah tentu bukan kabar yang mengembirakan.
Pembangunan dan kemajuan ekonomi terlihat dari pemenuhan daya listrik. Hal itu dengan mudah dapat terlihat melalui rasio elektrifikasi nasional. Dan nilai rasio secara nasional baru mencapai 84%.
Bahkan untuk beberapa daerah di bagian Indonesia Timur masih terbilang rendah bahkan di bawah 50%. Hal ini secara jelas mengindikasikan bila terdapat senjang kebutuhan, atas pemenuhan yang dapat dilakukan.
Dalam kerangka berpikir demikian, maka listrik telah menjadi kebutuhan hidup dasar karena kita hidup di dunia modern dan bukan lagi di jaman batu tentunya.
Letak Permasalahan
Bila kemudian terdapat permasalahan dalam alokasi subsidi pemerintah, yang terjadi karena biaya produksi listrik tidak sebanding dengan nilai tarif jual listrik, maka hakikat persoalan tentu bukan terletak pada komponen subsidi yang selama ini terjadi.
Kerangka pemecahan masalah harus mulai dari peta awal, melihat celah persoalan untuk merumuskan solusi. Kita mahfum pemerintah berupaya melakukan efisiensi, memastikan subsidi diberikan kepada yang berhak dan tidak diselewengkan.
Tetapi esensi persoalan terletak pada kendala biaya produksi listrik yang tinggi, aspek dominan yang menjadi pangkal masalah adalah mayoritas pembangkit listrik kita berbahan bakar minyak atau bahan bakar fosil lain seperti batubara.
Hal ini tentu akan mengakibatkan posisi bergantung dari nilai harga bahan baku di tingkat internasional. Lebih jauh lagi, basis pembelian bahan baku menggunakan rate konversi valuta asing.
Kemudian menjadi lebih dalam kerugian ongkos produksi terjadi, ketika nilai tukar rupiah mengalami kelongsoran seperti saat ini. Biaya produksi bernominal asing, sementara pendapatan menggunakan rupiah, maka terdapat cash flow yang mismatch.
Alangkah lebih tepat, ketimbang berbicara tentang efisiensi dengan menggunakan pendekatan berbasis tarif, maka problematika di sektor hulu terkait biaya produksi listrik terlebih dahulu diselesaikan.
Melakukan investasi jangka panjang dengan merenovasi sumber pembangkitan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, termasuk memanfaatkan potensi sumber energi panas matahari ataupun panas bumi, layak untuk kemudian dipertimbangkan.
Hal ini tentu semata dikarenakan, kita akan berbicara tentang kestabilan harga energi di masa mendatang, khususnya dalam rentang durasi yang panjang.
Subsidi Terukur
Pada sisi lain, pemerintah perlu dengan jelas melihat proporsi konsumen listrik nasional. Segmen dominan dalam penggunaan listrik adalah rumah tangga dan industri, dengan total mencapai 70% kapasitas nasional, sisanya terbagi untuk sosial, publik dan komersial.
Pada kedua segmen tersebut, baik rumah tangga maupun industri memiliki dampak pengaruh yang langsung secara ekonomi. Ketika beban tarif listrik diterapkan pada industri, kita akan bicara tentang ongkos produksi yang berujung pada daya saing.
Sementara itu, bila mendasarkan tarif bagi rumah tangga, kita perlu selektif melihat lapisan didalam segmentasi ini. Khususnya rumah tangga dengan daya 450 dan 900 va yang ditengarai karena tidak selaras dengan data pada kartu penerima bantuan sosial pemerintah.
Tentu kondisi ini perlu disikapi secara bijak, seperti persoalan data tidak valid adalah masalah klasik, dan titik berat fokusnya sebaiknya diarahkan pada kriteria yang lebih sesuai dengan kondisi saat ini dengan melihat kriteria sosial ekonomi kekinian, seperti fenomena UKM rumahan, keluarga besar dalam satu atap dll..
Sekali lagi pangkal soalnya perlu diselesaikan terkait ongkos produksi listrik, baru setelah itu kita akan bersama merumuskan siapa yang tepat mendapatkan subsidi setelahnya.