Perlindungan Konsumen, Pentingkah?

Author : Daniel Oslanto | Friday, February 20, 2015 11:12 WIB

Dalam dua hari terakhir, ribuan penumpang salah satu maskapai penerbangan Indonesia, Lion Air berbagai tujuan mengamuk di Terminal 1 dan 3 Bandara Soekarno Hatta. Hal ini diakibatkan mereka diterlantarkan hingga belasan jam tanpa kepastian kapan terbang. Situasi semakin menarik karena pihak maskapai sempat tutup mulut mengenai penyebab insiden ini. Meski terkadang mengalami keterlambatan penerbangan Lion Air selama setengah atau satu jam, Lion Air tetap hadir sebagai salah satu maskapai yang digemari oleh banyak orang di Indonesia. Namun kali ini, keterlambatan selama belasan jam ditambah ketidakpastian penerbangan adalah sesuatu yang sulit dipahami. Di satu sisi, pernyataan pihak pemerintah yang menyatakan bahwa Lion Air harus memberikan keterangan terkait insiden ini seolah “lepas tangan” atas permasalahan ini. Kisah lain adalah kasus meninggalnya dua pasien di RS. Siloam Karawaci, Tangerang setelah pemberian anestesi Buvanest Spinal. Obat produksi Kalbe Farma ini diduga bukan berisi bupivacaine (pembiusan), melainkan asam traneksamat yang bekerja mengurangi pendarahan. “Anestesi yang tertukar ini” tentu sebuah kesalahan yang sangat fatal karena telah menghilangkan dua nyawa. Dalam seminggu terakhir, publik disuguhkan kondisi perlindungan konsumen terhadap layanan publik di Indonesia belum optimal. Apakah sebenarnya kasus layanan publik yang melanggar perlindungan konsumen merupakan kasus yang sepele? Perlindungan konsumen, Pentingkah?

 

Mike More dan denda US$ 246 Milyar

Mike More adalah seorang Jaksa Agung Missisippi, Amerika Serikat, yang mengajukan tuntutan pada perusahaan tembakau (Philip Morris Inc., R.J. Reynolds,Brown & Williamson dan Lorilard yang dikenal sebagai pemain utama industri tembakau), yang menolak asumsi rokok mengakibatkan ketergantungan dan masalah kesehatan seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, emfisema, gangguan janin dan sebagainya yang berujung pada dihabiskannya biaya-biaya kesehatan sebagai implikasi dari penggunaan rokok. Berdasarkan investigasi, rokok ternyata mengakibatkan komplikasi permasalahan kesehatan. Sebagai bagian dari perlindungan konsumen, usaha pemerintah Amerika menjatuhkan denda sebesar US$ 246 milyar kepada perusahaan tembakau. Sebuah jumlah yang sangat fantastis untuk sebuah “kesalahan fatal” yang berhubungan dengan perlindungan konsumen. Bagaimana dengan insiden Lion Air? Sesuai dengan UU Nomor 8 Tentang Perlindungan Konsumen Tahun 1999 pasal 8 ayat 1(f) yang berbunyi:

“Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan pada label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang/atau jasa tersebut.”

Lion Air telah melanggar pasal ini, dimana telah memperdagangkan jasa yang tidak sesuai dengan janji (penerbangan) yang sesuai pada tiket. Tidak sekedar melanggar janji, terlantarnya para penumpang di bandara selama belasan jam adalah sebuah tindakan tidak profesional. Setelah telantar belasan jam, pihak Lion Air memberikan keterangan akan mengganti kerugian penumpang sebesar Rp.800.000,- (Rp. 500.000,- untuk hotel dan Rp 300.000,- untuk kompensasi) dengan perubahan jadwal penerbangan. Di satu sisi, Pihak Lion Air telah membiarkan konsumen terlantar tanpa kepastian atau keterangan informasi. Secara intagible, immaterial, konsumen dalam hal ini penumpang Lion Air kehilangan waktu yang sangat berharga (mengingat dua hari terakhir adalah hari liburan), dan mengalami permasalahan psikologis (marah, kecewa, stress). Apakah nilai kompensasi itu sebanding dengan kerugian yang dialami oleh konsumen? Melihat fakta bahwa tidak sedikit yang menolak kompensasi, bisa dianggap bahwa Lion Air tidak mengusahakan kompensasi yang cukup pantas bagi konsumen. Di sisi lain, pihak Kalbe Parma yang memproduksi anestesi lebih “gentle”. Mereka langsung menarik obat dari peredaran, mendatangi keluarga korban di RS. Siloam dan bertanggung jawab atas layanan yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Pihak keluarga korban juga menyatakan mengikhlaskan tragedi ini dan tidak akan menuntut pihak-pihak terkait (RS. Siloam dan Kalbe) mengingat adanya itikad baik dari keduanya untuk bertanggung jawab atas tragedi yang terjadi. Kisah yang “cukup bertolak belakang” yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, masihkan pemerintah tinggal diam?

 

Warisan Terbesar James Burke

James Burke, CEO dari Johnson & Johnson(J&J) pada tahun 1976-1989, menerima Presidential Medal of Freedom pada tahun 2000 dan dinobatkan sebagai satu dari sepuluh CEO terbesar sepanjang sejarah oleh Majalah Fortune pada 2003. Tapi tentunya orang akan mengingat warisan terbesar Burke kepada dunia Industri dalam menangani tragedi Tylenon pada tahun 1982. Tujuh orang meninggal dunia setelah mengomsumsi kapsul ekstra tenaga Tylenol yang dicampur dengan sianida di lima toko yang ada di Chicago. Padahal sebelum kejadian tersebut, Tylenol menguasai sekitar 35% pasar analgesik (obat penahan rasa sakit) dengan nilai pasar US$ 1,2 Milyar. Setelah kejadian tersebut, pangsa pasar J&J turun menjadi 7%.

Dibawah kepemimpinan Burke, perusahaan J&J menghabiskan US$ 100 juta untuk menarik 31 juta botol Tylenol dari peredaran dan memperkenalkan kembali produk Tylenol yang lebih aman dengan kemasan tamper-proof. Burke tidak hanya menyelamatkan reputasi perusahaan, merek dagang perusahaan, namun juga membuktikan sisi kemanusiaan dalam perlindungan konsumen adalah sesuatu hal yang sangat penting dalan kelangsungan bisnis. Setahun kemudian, J&J kembali menguasai 35% pasar analgesik di Amerika.

 

\"James

James Burke, sosok kesuksesan J&J dalam menangani kasus Tylenol (NYtimes)

Di Indonesia cukup banyak perusahaan yang memperlihatkan itikad baik dalam perlindungan konsumen seperti yang dilakukan oleh Pihak Kalbe. Namun tetap tak sedikit yang “mengabaikan” perlindungan konsumen dan bertindak sepihak untuk mendukung kepentingan bisnis semata, dan pemerintah sepertinya lebih tertarik mengurusi permasalahan yang lebih “fundamental” seperti ekonomi dan keamanan. James Burke, J&J sudah memberikan contoh bahwa perlindungan konsumen sangat penting. Jaksa Agung Miker Moore sudah menjatuhkan denda fantastis kepada perusahaan-perusahaan yang mengabaikan perlindungan konsumen. Bagaimana dengan pemerintah? Haruskah kita melihat kembali pengabaian warisan ini?

Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Harvested from: http://ekonomi.kompasiana.com
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: