Pilpres 2014 : Banyak Politisi Menjadi \'Kutu Loncat\'

Author : Devi Kumalasari | Thursday, June 05, 2014 13:34 WIB

Terjadinya perpecahan di antara kader partai politik koalisi pendukung Capres – Cawapres sulit dihindari. Bahkan, tak jarang kemudian terjadi ‘transfer politisi’ menjelang pemilihan presiden (pilpres) pada 9 Juli nanti.

Fenomena ini terlihat di tubuh Partai Golkar, di mana sebagian petinggi partai menyeberang mendukung pasangan Jokowi – JK. Kondisi semacam ini bisa juga terjadi pada partai lain seperti PPP yang sejak awal terdapat perbedaan aspirasi di antara kadernya sebelum partainya berkoalisi mendukung pasangan Prabowo – Hatta. Sebaliknya tidak menutup kemungkinan ada kader parpol koalisi pendukung Jokowi – JK akan mendukung pasangan Prabowo – Hatta.

Berbeda sikap dengan garis parpol, sah – sah saja dilakukan setiap kader karena dalam pilpres menyangkut pemilihan figur, bukan memilih partai.

Sanksi yang didapat  bagi kader yang semacam ini, tentu saja dipecat dari kepengurusan atau tidak lagi diakui sebagai kader oleh parpol yang bersangkutan. Sanksi lain berupa pelanggaran etika politik. Rakyat yang akan menilai terhadap kader yang loncat dari satu parpol ke parpol lain.

Pindah parpol hal yang lumrah dilakukan jelang pemilihan legislatif lalu. Kader yang pindah haluan itupun tidak mempersoalkan dirinya disebut  ‘politisi kutu loncat’. Alasannya, dirinya merasa cocok di parpol yang baru.Lebih bisa berkreativitas dan total dalam memperjuangkan aspirasi. Ada juga yang beralasan partainya sudah melenceng dari visi dan misinya.

Yang menjadi pertanyaan, apakah dengan pindah parpol jelang pilpres, semata demi figur capres atau karena peluang mencari kenyamanan? Hanya pribadi mereka yang tahu, mengingat memberikan suara pada pilpres 9 Juli mendatang adalah pilihan pribadi.

Apakah kompensasi akan didapat bagi petinggi parpol yang beralih dukungan? Tentunya akan tergantung seberapa besar andil yang diberikan dalam memenangkan pilpres. Jika andilnya sangat besar, boleh jadi akan memperoleh kompensasi, meski secara transparan akan dikatakan dukungan tulus tanpa berharap balas jasa dan tidak pantas diberi imbalan.

Yang perlu diantisipasi , jika banyak kader parpol tidak sejalan kemudian mengalihkan dukungan. Gejala ini menandakan partai tidak solid, kepemimpinan rapuh dan pembenahan internal mendesak dilakukan.

Kita tidak memungkiri bursa transfer politisi jelang pilpres, boleh jadi tak sebatas rapuhnya soliditas parpol koalisi, tapi bagian dari sebuah rekayasa untuk pemenangan. Ini sejalan dengan adagium bahwa tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan pribadi.

Harvested from: http://politik.kompasiana.com
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: