B. Persoalan dan Hambatan
Pada tataran filosofis dan praksis pendidikan Islam di Indonesia tak luput dari bermacam persoalan baik yang bersifat akut maupun faktual. Persoalan akut seperti diskursus yang tak kunjnung usai antara ilmu agama dan ilmu umum. Sementara problema faktual lebih terkait pada masalah-masalah teknis implementatif pelaksanaan pendidikan Islam. Peta pendidikan Islam meliputi pertama: pendidikaan keagamaan yakni diniyah, pesantren; kedua: matakuliah/ pelajaran Agama Islam di IAIN/Perguruan Tinggi & TK//SD/SMP/A; serta ketiga: pendidikan umum bercirikan Islam seperti TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs, SMUI/MA/K dan PTAI. Dalam makalah ini pembahasan problematika pendidikan Islam lebih dititik beratkan pada hambatan terjadi di pendidikan umum bercirikan Islam terutama tingkat sekolah dasar hingga menengah yakni Madrasah Ibtidaiyah (SD). Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA).
Berdasarkan data yang dikeluarkan Center for Informatics Data and Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS (Education Management System) Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, jumlah Madrasah Ibtidaiyah/MI, Madrasah Tsanawiyah/MTs dan Madrasah Aliyah/MA sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk diniyah dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang berstatus negeri. Atas dasar itu, madrasah-madrasah swasta yang jumlahnya lebih banyak daripada madrasah negeri yakni 32.523 buah mengalami masalah yang mendasar yaitu berjuang keras untuk mempertahankan hidup atau lâ yamûtu walâ yahya diplesetakan menjadi kurang bermutu dan perlu biaya (agar lebih bermutu dan tidak mati)). Namun demikian, madrasah bagi sebagian masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan dari adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %, sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 saja diperkirakan jumlah siswanya mencapai 5, 5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia .
Berbagai persoalan dan hambatan mencuat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam tak dapat dielakkan sebagai ekses dari implementasi kebijakan pendidikan nasional yang di disain pemerintah. Persoalan di hulu yang berkaitan filosofis pendidikan Islam telah menimbulkan diskursus, demikian pula di hilir pada tataran implementatif pendidikan Islam masih jauh dari kesempurnaan spirit ajaran Islam. Senyata dan sejatinya nilai-nilai Islam sangat universal dan pengejawantahan nilai-nilai Islam akan membawa manfaat bagi semua (rahmatan lil alamin).
1. Hambatan Politis: Internal dan Eksternal
Secara internal hambatan politis terjadi disebabkan terlalu campur tangannya organisasi massa (ormas) Islam yang memayungi sekolah-sekolah berbasis keislaman. Keinginan ormas untuk menunjukkan jati diri politis cukup kental dengan memasukkan sejumlah matapelajaran yang berkaitan dengan asal usul pendirian ormas tersebut. Sebut saja misalnya ada materi kemuhammadiyahan yang diberikan mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Demikian pula materi ahlus sunnah wal jamaah diberikan untuk sekolah yang berbasis ormas Nadhatul Ulama (NU) atau yang di dirikan oleh para tokoh NU. Sekolah atau madrasah yang terkait kedua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu seolah ingin menunjukkan jati diri meraka masing-masing sebagai sekolah yang "paling benar" dalam mengemban misi dan visi keislaman. Alhasil, muatan kurikulum sekolah-sekolah berbasis ormas ini seakan ‘over dosis' karena kelebihan beban. Sekolah-sekolah umum berbasis Islam ini tidak hanya harus mengikuti kebijakan politis ormas yang melahirkannya dengan mengejawantahkan kebijakan tersebut ke dalam kurikulum sekolah. Tetapi juga tentunya harus mengkuti ketentuan dan kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional sebagai Pembina utama sekolah-sekolah tersebut.
Persoalan politis yang berasal dari internal umat Islam ini memang sudah menjadi ciri khas dari kedua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu. Mereka saling berupaya secara sendiri-sendiri ingin menampilkan keunggulannya masing-masing. Konsekuensinya, penyelenggaraan pendidikan Islam yang ada di Indonesia ini berkembang tanpa sinergitas dan perbedaan yang diramu untuk suatu keunggulan yang lebih besar. Masing-masing ormas tetap ingin mempertahankan jati diri dan kekhasannya sendiri-sendiri. Maka, untuk kondisi saat ini masih sulit memimpikan kebersamaan antara kedua ormas tersebut dalam bekerjasama untuk melahirkan sekolah-sekolah Islam yang efektif dan di segani tidak hanya di Indonesia tetapi di kancah internasional.
Dari hambatan politis bersifat internal antar umat Islam (baca: ormas Islam) di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan Islam juga dihadapkan hambatan politis yang bersifat eksternal. Hambatan disebabkan berbagai kebijakan pemerintah yang kurang memerhatikan maksimal terkait dengan penyelenggaraan pendidikan Islam.Walau diakui ada kemajuan tapi masih jauh dari harapan rakyat Indonesia yang mayoritas berpenduduknay beragama Islam.
Secara politis kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diatur melalui UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 diakui memang memuat keberadaan pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren. Namun pencantuman Madrasah dalam UU itu sekedar "pelengkap" komponen utama pendidikan nasional. Kenapa demikian? Karena dalam tataram praksis perhatian penyelenggara Negara tampaknya lebih menaruh perhatian dan fokus pada sekolah-sekolah umum (dibawah pengawasan Kemendiknas) baik dari sis teknis peningkatan mutu persekolahan maupun sisi anggaran yang tersedia. Padahal, menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan). Dengan kenyataan ini seringkali tatkala membahas pengembangan persekolahan, sistem pendidikan Islam (madrasah) tidak ikut dikaji secara baik oleh pemangku kebijakan bahkan cenderung diabaikan "neglected community".
Desentralisasi, demokrasi dan otonomi merupakan isu yang mengemuka sekarang ini sebagai dampak dari implementasi UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang itu menyatakan bahwa desentralisasi adalah azas dan proses pembentukan otonomi daerah dan penyerahan wewenang pemerintah di bidang tertentu oleh Pemerintah Pusat. Otonomi ini meliputi juga sektor pendidikan, sehingga menampakkan kesan dualisme dalam pengelolaan pendidikan antara Pusat dan Daerah. Pada bagian lain pendidikan umum berciirikan Islam (madrasah) ditangani Kementerian Agama sedangkan sekolah umum bercirikan Islam diawasi Kementereian Pendidikan Nasional. Padahal berdasarkan teori sistem yang dikemukakan David Easton dalam HAR Tilaar (2009) manajemen pendidikan memerlukan keterpaduan penggerakan sistem sebagai syarat penting keberhasilan sistem .
Secara sociocultural politis pendidikan Islam berlangsung semenjak masuknya Islam di persada Nusantara. Sejak lama masyarakat menumbuh-kembangkan pendidikan Islam baik di mesijid maupun pesantren dengan cara bergotong royong. Kemandirian adalah cirri utama pemdidikan Islam kala itu. Hanya saja stigma pendidikan Islam merupakan urusan akherat begitu mengental hingga mempengaruhi tumbuh kembang disiplin ilmu selain agama. Padahal, dunia Barat maju seperti sekarang ini tidak terlepas dari hasil kajian cendekiawan Muslim terdahulu. Di Indonesia, dalam konteks sociocultural politics, skenario penjajah yang berciri "devide et impera" sukses memisahkan urusan dunia dan ukhrowi, efeknya terasa hingga kin tatkala muncul kesadaran untuk tidak memisahkan keduanya.